Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Subak, Kini Dimuseumkan

Dalam peresmian museum subak di Tabanan, Bali, gubernur IB Mantra mencoba memperagakan berbagai alat yang digunakan petani subak. Sebuah museum yang permanen sedang dalam perencanaan.

7 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BALI secara resmi memiliki Museum Subak. Alat-alat pertanian lama, diselamatkan atau diganti dengan yang baru. Walaupun bangunan museum itu masih menumpang, di sana sudah terkumpul sekitar 650 buah alat pertanian--baru dan yang kuno. Misalnya kentungan, alat untuk menumbuk padi tradisional. Tapi karena tidak mungkin ditemui lagi, alat itu diganti dengan mesin huller. Begitu juga pengganjing alat kuno yang dipakai petani Bali zaman dulu untuk meigukur tinggi rendahnya sawah, diganti dengan alat modern yang dikenal dengan nama water pass. Museum yang diresmikan gubernur Bali pekan lalu di Tabanan, mencoba memperagakan berbagai alat yang digunakan petani subak mulai dari mengolah sawah sampai memetik hasilnya. Diperlihatkan pula berbagai cara memelihara tanaman menurut kepercayaan Hindu agama yang dianut sebagian besar penduduk Bali. Di satu ruang berukuran 10 X 15 m terlihat sanggah, sebuah tempat pemujaan dari bambu. Biasanya, di sanggah itulah petani-petani yang tergabung dalam subak melakukan pemujaan pada hari-hari tertentu untuk keselamatan tanaman mereka. Museum itu baru bersifat sementara, sebelum yang permanen berdiri di Tabanan. "Museum mi perlu ada, sebab jika warisan budaya yang sudah dikenal dunia ini lenyap, berarti lenyap pula kepribadian bangsa di masa lampau," kata Gubernur Bali Ida Bagus Mantra ketika meresmikan museum itu. Perlu Pura? Subak adalah organisasi petani pemakai air yang secara turun-temurun mengikat para petani Bali secara berkelompok. Organisasi ini secara gotong-royong membuat saluran-saluran air untuk sawah-sawah petani. Organisasi ini pula yang mengatur pembagian air untuk sawah-sawah itu, sehingga tidak ada istilah rebutan air. Sebab dengan begitu semua sawah anggota akan mendapat air dengan adil. Jika ada saluran air yang rusak, subak menggerakkan anggota untuk bergotong-royong memperbaikinya. Aturanaturan yang ditetapkan oleh organisasi ini dipatuhi semua anggotanya, sehingga peranan organisasi ini amat menonjol di masyarakat. Upacara-upacara keagamaan yang berhubungan dengan pertanian juga diselenggarakan subak, agar tanaman mendatangkan hasil yang diharapkan. Semua tata cara dan peralatan itu ingin dirangkum dalam museum subak yang permanen nanti. Museum itu kelak akan terdiri dari dua bagian, yaitu museum tertutup dan terbuka. Di museum tertutup disajikan berbagai alat pertanian yang masih asli dan digunakan petani zaman dulu, berikut berbagai kepustakaan mengenai subak. Di sana juga akan ada diorama-diorama untuk memvisualkan kegiatan subak. "Pokoknya sepertiyang ada di Monas," ujar Cok Raka Dherana. Di bagian museum yang terbuka akan diperlihatkan subak mini. Di tempat ini turis-turis dan pengunjung bisa melihat mekanisme pembagian air dari sawah terhulu sampai sawah terakhir. Bentuk-bentuk rumah petani, dan jenis-jenis padi yang dihasilkan juga akan ditampilkan. "Untuk itu, akan dibebaskan 7 hektar tanah petani di sekitar Desa Sanggulan ini," tambah Cok Raka Dherana. Untuk mewujudkan museum permanen itu "kami membutuhkan bantuan Presiden, Departemen PU dan Departemen P&K," ungkap Cok Raka Dherana. Artinya Pemda Bali merasa tak mungkin mewujudkan museum itu dengan biaya dari kantungnya sendiri. Semua tampaknya akan berjalan lancar--kecuali sedikit ganjelan yang dirasakan kalau museum sebenarnya telah terwujud. Gusti Ketut Kaler pensiunan Kepala Bimas Hindu Bali, misalnya mempersoalkan, "perlunya sebuah pura di samping museum itu kelak." Sebab, katanya, tanpa pura, orang tidak akan mengetahui apa itu subak yang sebenarnya. Tapi diakuinya pula, "kalau ada pura, siapa yang akan menyungsung (bersembahyang) di sana?" Rumitnya, dalam kepercayaan Hindu: penempatan pura tidak bisa hanya sekedar untuk dekorasi saja. Artidya harus juga ada umat menjadi jamaah di sana dan mengadakan upacara-upacara keagamaan secara teratur. Pihak panitia belum memutuskan persoalan ini. "Itu kan jangka panjang, masih ada waktu untuk memikirkannya," kata seorang anggota panitia yang tidak mau disebutkan namanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus