BALI secara resmi memiliki Museum Subak. Alat-alat pertanian
lama, diselamatkan atau diganti dengan yang baru. Walaupun
bangunan museum itu masih menumpang, di sana sudah terkumpul
sekitar 650 buah alat pertanian--baru dan yang kuno. Misalnya
kentungan, alat untuk menumbuk padi tradisional. Tapi karena
tidak mungkin ditemui lagi, alat itu diganti dengan mesin
huller. Begitu juga pengganjing alat kuno yang dipakai petani
Bali zaman dulu untuk meigukur tinggi rendahnya sawah, diganti
dengan alat modern yang dikenal dengan nama water pass.
Museum yang diresmikan gubernur Bali pekan lalu di Tabanan,
mencoba memperagakan berbagai alat yang digunakan petani subak
mulai dari mengolah sawah sampai memetik hasilnya. Diperlihatkan
pula berbagai cara memelihara tanaman menurut kepercayaan Hindu
agama yang dianut sebagian besar penduduk Bali.
Di satu ruang berukuran 10 X 15 m terlihat sanggah, sebuah
tempat pemujaan dari bambu. Biasanya, di sanggah itulah
petani-petani yang tergabung dalam subak melakukan pemujaan pada
hari-hari tertentu untuk keselamatan tanaman mereka.
Museum itu baru bersifat sementara, sebelum yang permanen
berdiri di Tabanan. "Museum mi perlu ada, sebab jika warisan
budaya yang sudah dikenal dunia ini lenyap, berarti lenyap pula
kepribadian bangsa di masa lampau," kata Gubernur Bali Ida Bagus
Mantra ketika meresmikan museum itu.
Perlu Pura?
Subak adalah organisasi petani pemakai air yang secara
turun-temurun mengikat para petani Bali secara berkelompok.
Organisasi ini secara gotong-royong membuat saluran-saluran air
untuk sawah-sawah petani. Organisasi ini pula yang mengatur
pembagian air untuk sawah-sawah itu, sehingga tidak ada istilah
rebutan air. Sebab dengan begitu semua sawah anggota akan
mendapat air dengan adil.
Jika ada saluran air yang rusak, subak menggerakkan anggota
untuk bergotong-royong memperbaikinya. Aturanaturan yang
ditetapkan oleh organisasi ini dipatuhi semua anggotanya,
sehingga peranan organisasi ini amat menonjol di masyarakat.
Upacara-upacara keagamaan yang berhubungan dengan pertanian juga
diselenggarakan subak, agar tanaman mendatangkan hasil yang
diharapkan.
Semua tata cara dan peralatan itu ingin dirangkum dalam museum
subak yang permanen nanti. Museum itu kelak akan terdiri dari
dua bagian, yaitu museum tertutup dan terbuka. Di museum
tertutup disajikan berbagai alat pertanian yang masih asli dan
digunakan petani zaman dulu, berikut berbagai kepustakaan
mengenai subak. Di sana juga akan ada diorama-diorama untuk
memvisualkan kegiatan subak. "Pokoknya sepertiyang ada di
Monas," ujar Cok Raka Dherana.
Di bagian museum yang terbuka akan diperlihatkan subak mini. Di
tempat ini turis-turis dan pengunjung bisa melihat mekanisme
pembagian air dari sawah terhulu sampai sawah terakhir.
Bentuk-bentuk rumah petani, dan jenis-jenis padi yang dihasilkan
juga akan ditampilkan. "Untuk itu, akan dibebaskan 7 hektar
tanah petani di sekitar Desa Sanggulan ini," tambah Cok Raka
Dherana.
Untuk mewujudkan museum permanen itu "kami membutuhkan bantuan
Presiden, Departemen PU dan Departemen P&K," ungkap Cok Raka
Dherana. Artinya Pemda Bali merasa tak mungkin mewujudkan museum
itu dengan biaya dari kantungnya sendiri.
Semua tampaknya akan berjalan lancar--kecuali sedikit ganjelan
yang dirasakan kalau museum sebenarnya telah terwujud. Gusti
Ketut Kaler pensiunan Kepala Bimas Hindu Bali, misalnya
mempersoalkan, "perlunya sebuah pura di samping museum itu
kelak." Sebab, katanya, tanpa pura, orang tidak akan mengetahui
apa itu subak yang sebenarnya. Tapi diakuinya pula, "kalau ada
pura, siapa yang akan menyungsung (bersembahyang) di sana?"
Rumitnya, dalam kepercayaan Hindu: penempatan pura tidak bisa
hanya sekedar untuk dekorasi saja. Artidya harus juga ada umat
menjadi jamaah di sana dan mengadakan upacara-upacara keagamaan
secara teratur. Pihak panitia belum memutuskan persoalan ini.
"Itu kan jangka panjang, masih ada waktu untuk memikirkannya,"
kata seorang anggota panitia yang tidak mau disebutkan namanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini