Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Subak: untuk petani atau pariwisata

Subak sistem pengairan di bali ikut menunjang pari wisata. dikhawatirkan keutuhan organisasi subak punah karena adanya perkembangan industri dan sistem pertanian. untuk itu didirikan museum subak. (ils)

5 Juni 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENYEBUT kata subak tentu dengan cepatnya membayangkan wajah pulau Bali. Organisasi pengairan yang tak ada duanya di dunia itu begitu terkenalnya, sempat memjadi bahan penelitian yang tak habis-habisnya dari berbagai kalangan. Dari buku agenda penerimaan tamu di Pemda Kabupaten Badung misalnya jelas terlihat dalam setiap bulan sekitar 3 rombongan dari luar Bali yang ingin minta penjelasan tentang subak ini. Dan konon, di luar Bali terutama daerah Jawa Tengah sistim pengairan yang mencontoh subak dan mereka namakan Dharmu Tirta, sedang dikembangkan. Tentu secara tidak langsung subak telah menjadi bahan promosi yang sejak dulu ampuh buat Bali, dan subak telah ikut memberi tamu buat kamar-kamar hotel kecil dan menengah di kota Denpasar. Artinya subak sejak lama berpartisipasi di bidang pariwisata. Bagaimana halnya kalau subak itu dilihat dari dalam? Kepala Dinas Pertanian Daerah Tk.I Bali, ir. Sukaca, memang tak mengatakan secara tegas, bahwa mutiara Bali itu sedang "sakit". Tetapi ketika masalah subak ini diseret ke dalam gelanggang loka karya pertengahan Maret lalu, ir. Sukaca ada berucap: "gejala melemahnya partisipasi Krama (anggota) Subak saat ini nampak sekali, terutama pada subak-subak sekitar kota". Diberikan contoh seperti merajalelanya sistim tulak sumur, yaitu sistim penanaman padi yang tidak seragam dan tidak teratur. Contoh lain adanya bangunan subak terutama saluran ke sawah-sawah yang terlantar karena di sana-sini dibangun perumahan. Lalu, berbagai macam sengketa yang cukup merumitkan. Tentang tulak sumur jelas akibat lemahnya kesadaran krama subak dan tentu saja lemahnya awig-awig subak (hukum dalam subak). Jelas dalam peran Iran subak-- tertulis atau tidak--sistim penanaman padi harus mengikuti kcrta masa, artinya saat menanam padi ditentukan batas waktunya. Biasanya dalam cat hal lamanya batas waktu tak lebih dari seminggu -- disebut awuku -- sebelum dan sesudah batas waktu itu dikenakan denda dan sanksi yang cukup berat. Tetapi didobraknya ketentuan ini tak sepenuhnya kesalahan petani. Di pinggiran kota, atau pada jalur pariwisata di mana pekerjaan lain menanti, sawah menjadi "pekerjaan sambilan". Sedang petani ini mengejar tugas lain seperti berburuh, berdagang, jadi kusir dokar dan lain-lain. Dan karena pekerjaan di luar bertani ini tak ada ketentuan waktu, pekerjaan di sawah pun menjadi tidak tentu, tergantung sepinya pasaran kerja di kota. Akibatnya jelas sekali, sistim tulak sumur sukar untuk diberantas. Di pinggir barat Kota Denpasar terjadi pula kasus tentang saluran subak yang lama terkatung-katung dan tak terpecahkan.Ini menyangkut pula perkembangan kota Denpasar yang kesohor semerautnya. Sebidang tanah sawah dijual. Seorang pengusaha -- kebetulan saja WNI Cina--membelinya dan membangun pabrik di situ. Celakanya, di tengah sawah ada saluran air yang mengairi Subak Semila. Bagaimana mengatasinya? Subak Semila memang telah cukup payah untuk memperjuangkan saluran airnya yang tersumbat di tengah-tengah, melalui Pekaseh (Ketua Subak), melalui Kepala Desa, Camat sampai ke Bupati. Tetapi toh sang pengusaha bertahan diri sambil memperlihatkan sertifikat hak milik, sementara yang punya lahan sawah itu dulu tidak ikut pusing-pusing, karena ia bukan anggota subak semila. Masalah yang terkatung-katung sampai saat ini, sempat pula singgah di forum loka karya tempo hari. Loka Karya merumuskan dalam sebuah saran, bunyi lengkapnya "dalam mutasi tanah sawah, haruslah ditekankan bahwa jual beli tidak termasuk prasarana yang ada, baik sebagai saluran pembawa maupun saluran pembuangan". Saran ini memang logis dan terkandung niat menyelamatkan subak. Kalau saluran pembawanya tersumbat -- seperti Subak Semila -- bagaimana krama Subak di hilir memperoleh air? Atau kalau saluran pembuangan ditutup, air akan tergenang dan bisa-bisa menyebabkan banjir. Tetapi rumusan loka karya subak itu baru saran. 18 Mulut Sistim pengairan subak sudah dikenal mulai abad pertama tahun Caka. Sejarah perkembangannya tertulis dalam prasasti-prasasti di zaman kerajaan. Ia tak bisa dipisahkan dengan kehidupan yang penuh dengan upacara-upacara keagamaan. Menurut ir. Putu Djapa Winaya M.Sc. dari fakultas Pertanian UNUD subak tak lain adalah "organisasi para petani sawah yang memperoleh air dari satu sumber". Data tahun 1971 menunjukkan luas Bali seluruhnya 5.620 km2 atau 562.000 ha. Dari luas ini 21,8 prosen adalah sawah, artinya sebanyak 122.316 hektar. Kalaupun dari tahun itu sampai sekarang ada ladang yang disulap jadi sawah, namun angka jumlah sawah itu naiknya praktis tak seberapa, karena ada pula--dan bahkan banyak--sawah dijadikan pabrik, art shop, lapangan tennis, perumahan dan lainnya. Sedang penduduk Bali sekarang katakanlah 2,15 juta jiwa. Maka setiap satu hektar tanah sawah hidup 18 orang . Kalau kita ambil target minimum kebutuhan beras tiap kepala per tahun 120 kg, maka setiap hektar sawah paling sedikit harus berproduksi sebesar 2.160 kg tiap tahun agar bisa mengisi mulut yang 18 itu. Kalau dihitung secara populer saat ini dengan perhitungan gabah maka didapat angka 4.320 kg. "Jelas dari data itu kalau saia para petani masih bercocok tanam secara tradisionil target produksi itu mustahil akan dapat dicapai, ujar ir. Putu Djapa Winaya. Ientusaja data di atas dimaksudkan beras yang masuk mulut, belum lagi yang dipakai untuk upacara keaamanan yang setiap saat perlu beras mengisi sesajen. Seperti diketahui Subak boleh dihilang "kebudayaan tradisionil" seperli pula rekannya kesenian Bali lainya. Kalau kesenian Bali sudah diseret ke gelanggang loka karya, seminar, lalu terakhir perlombaan, maka subak akan mengikuti jalur itu. Subak sudah diseminarkan, maka nayris tak ada jalan lain kecuali dilombakan saja. "Kami tidak menganjurkan perlombaan subak. karena kami maklum suatu perlombaan yang diadakan pada subak yang pembinaannya belum mantap mungkin sekedar merupakan kejutan sementara yang tidak banyak dapat diambil manfaatnya untuk jangka panjang". Ini kata-kata Jelantik Sushila dari Dinas PU Propinsi Bali. Barangkali ini betul. Membuat sesuatu lebih baik, tak mesti dengan jalan berlomba. Yang diperlukan adalah meningkatkan pembinaan dengan lebih berencana dan mantap. Tetapi masalahnya-- untuk di Bali-- terlanjur percaya, bahwa jalan pembinaan terbaik justru perlombaan. Sementara Jelantik Sushila yang tidak menganjurkan bukan pula berarti tidak setuju perlombaan. Maka begitulah, subak pun diperlombakan dengan berbagai batasan dan katagori yang berbeda penilaiannya di tiap-tiap kabupaten agar tidak begitu over acting. Maklum kekayaan subak di tiap kabupaten tidaklah sama. Ir. Sukaca mengusulkan agar lomba subak dititik beratkan pada pembangunan pertanian, pemberantasan sistim tulak sumur serta penanggulangan hama. Kriteria yang dinilai misalnya intensifikasi Bimas dan Inmas, paket pupuk, effisiensi penggunaan tanah, kelengkapan subak seperti adanya awig-awig yang tertulis, kas, lumbung bibit, regu pemberantas hama, kelompok pemuda-pemudi tani, penggunaan bibit jenis unggul dan tak lupa sistim pemberantasan hama. Ir. Putu Djapa Winaya sarannya tentu saja sama, dengan tambahan produksi tertinggi per hektar, keberhasilan pembagian air, dan besar kecilnya jumlah sengketa. Jengkal Tangan Organisasi subak tidak ada hubungannya dengan desa, baik desa adat maupun desa dinas . Ia berdiri sendiri dengan anggota para petani yang sawahnya mempunyai air dari satu sumber. Karena itu I Gst Ketut Kaler, seorang tokoh agama Hindu mengingatkan agar otonomi subak dilindungi. Bukan iu saja, kalau memang perlu baik juga dibentuk Badan Pembina Subak, diambilkan dari tokoh-tokoh petani membantu pekerjaan Pekaseh. Semacam LSD untuk desa. Namun yang paling penting menurut Ketut Kaler adalah perhatian pemerintah terhadap subak, merawat dan membangun dam, bendungan, saluran induk tak mungkin dipikul krama subak tanpa bantuan dana pemerintah. Tentang timbulnya sengketa, Kepala Binmas Hindu dan dan Budha Departemen Agama Propinsi Bali ini menganjurkan agar bangunan-bangunan pembagian air mulai dipermoderen sesuai dengan perkembangan. Sampai saat ini dipakai dasar tek-tek (memakai jengkal tangan, untuk mengetahui berapa jumlah air yang diberikan kepada sawah setelah dihitung luasnya). Pada saluran pembagi -- terbuat dari kayu atau bambu -- sering tidak dapat selalu dikontrol oleh Pekaseh. Petani yang nakal, di bawah kayu pembagian air menuju, sawahnya dilubangi, agar air nyerocos lebih banyak. Di musim kering inilah sumber sengketa. Sampai terjadi pembunuhan. Pencatatan dan pengaturan air ini jika dilakukan secara "ilmu sekarang" sedikitnya masalah sengketa sesama anggota subak menjadi berkurang. Lalu masalah Pekaseh yang kerjanya tidak ringan sementara tak dapat imbalan sudah dianjurkan oleh loka karya subak pertengahan Maret itu untuk diperhatikan nasibnya. Entah sampai di mana subak mentaati loka karya. Subak, seperti halnya nasib kesenian Bali lainnya, tidak bisa diramalkan secara pasti, apakah tetap ada atau berkembang atau sirna? Sekarang memang ada suara-suara yang menganjurkan agar di Bali didirikan "Museum Subak" di mana ada sebidang sawah dengan perlengkapan subaknya yang komplit, seperti zaman kerajaan tempo dulu. Subah"yang komplit" memang saat ini tidak ada lagi, seperti lumbung bibit dan "lumbung kekayaan bersama" menghilang. Bibit bisa dibeli di BUUD, kekayaan bisa diganti dengan iuran dan uangnya ditaruh di bank. Namun agaknya "Museum Subak" bukan pertanda akan tergusurnya mutiara Bali yang kesohor ini, tetapi cuma konsumsi pariwisata.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus