50 buah lukisan Taiwan koleksi Museum Sejarah Taipeh, dipamerkan
di ruang pameran TIM 12-18 Mei -- tanpa maksud dijual
Lukisan-lukisan itu mengikuti penampilan tradisionil, banyak
menyuguhkan ruang-ruang kosong yang menyebabkan selalu ada kesan
puitis. Tergantung berjuntai di dinding seperti lamak Bali
dengan warna-warna tidak begitu menyolok, pada mulanya ada kesan
monotun -- toh dengan sedikit kesabaran terasa akhirnya berbagai
perbedaam Menarik untuk menemukan sebuah lukisan yang
menggambarkan dua orang sedang meluku sawah (Kemakmuran Liang
Ching-Ming), sementara karya-karya lainnya lebih banyak
melukiskan keheningan, kecantikan dan kedamaian alam. Juga
menarik sebutlah lukisan berjudul Teratai (Chang Da-Chien)
agaknya berasal dari tangan seorang yang begitu terhormat dalam
jurusannya, sehingga pulasan bidangnya yang lebar dan spontan
dengan tak ragu-ragu melaksanakan penumpukan warna sambil
memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan sugesti irama
garis--menjadi unik dan meyakinkan. Dibanding spontanitas garis
dan bidang pada lukisan-lukisan lain, yang begitu disiplin dan
kadangkala terbelenggu oleh semacam kungkungan untuk m1enutup
diri (sesuai dengan apa yang dikatakan jiwa ketimuran), Teratai
tampak menonjol karena kebebasannya yang tidak kehilangan puisi
dan kontemplasi.
Tembok Besar
Simbol perdamaian yang dengan mudah tertangkap dari kerapnya
muncul sepasang burung di atas kayu asosiasi pada kehidupan
yang penuh upacara dan optimis dari kuntum-kuntum bunga yang
mekar dengan sempurna suasana mitologi dari sosok dewa dan
dewi, serta perasaan kebangsaan yang dalam dari rumah-rumah di
atas kabut, dan Tembok Besar (Li Yu-Kwang) yang menjalar di atas
bukit, semuanya hampir menunjukkan bahwa senilukis dalam ruangan
itu memang bertolak dari alam. Manusia untuk sementara hanya
menjadi peran pembantu, justru untuk menunjukkan keheningan yang
lebih hebat di sebuah tempat di lepitan bukit misalnya. Tidak
sedikit juga artinya huruf-huruf kanji yang barangkali juga
mengucapkan sajak atau kata-kata bijak yang selalu ada dalam
setiap lukisan.
Di samping lukisan-lukisan yang memainkan bidang kosong, ada
juga yang berusaha mengisi kanvas dengan penuh dan menjadi
ornamentik kesannya. Garis-garis yang lembut kadangkala menjadi
agresif dan kasar seperti pada Cemara dan Bangau dan Cemara (Wu
Ping dan Shen Yao-Cho) Juga lukisan-lukisan yang sama sekali
tidak berpangkal dari alam Dongeng Su Tung-Fo, Dewi layangan,
Doa Para Dewa, Persembahan Dewa, Berteduh, Umur Panjang dan
sebagainya) di mana sosok-sosok manusia tampil. Toh, di balik
sosok itu, terasa bahwa yang hendak dikemukakan kebesaran alam
juga: sosok-sosok pengisi hanya menjadi bagian kecil saja dari
proses maha ibu yang penuh misteri. Dalam Umur Panjang misalnya.
kita berhadapan dengan seorang tua berjanggut putih dengan buah
berwarna merah sebagai latar depannya. Buah tersebut sedemikian
menyolok--mungkin sebagai ibarat nafsu hidup yang tetap besar
atau sebagai lambang tunas pengganti yang tua. Lukisan ini penuh
dengan ibarat kehidupan, seperti semacam fatwa moral.
Kalau saja kita tahu arti setiap tulisan kanji dalam lukisan
itu, mungkin pameran ini akan lebih banyak maknanya. Tapi untuk
sementara, harus diakui bahwa hampir satu minggu ruang pameran
terasa menjadi tenang, bersuasana damai dan santai. Apalagi
kursi-kursi yang penah disingkirkan sudah hadir lagi. Sehingga
setiap peminat dapat merenungi lukisan-lukisan itu, yang makin
dipandang terasa makin membukakan diri untuk mengutarakan
sesuatu yang kadangkala memang halus sekali.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini