Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hak Jawab Marzuki Alie
Tulisan majalah Tempo edisi 20-26 Januari 2014 di halaman 33-36 berjudul "Konferensi Gagal Ketua Dewan" menyebutkan, "Grup Permai diduga mengalirkan Rp 2 miliar ke Marzuki Alie dalam pengurusan proyek Hambalang. Dianggap mampu mengegolkan pendongkrakan anggaran".
Saya menyatakan pemberitaan tersebut tendensius serta merusak dan membunuh karakter saya. Tempo tidak meminta konfirmasi saya mengenai kebenarannya. Berikut ini beberapa penjelasan saya.
1. Ihwal pernyataan Rosa yang dikutip majalah Tempo bahwa proyek Hambalang tidak benar dan tidak sesuai dengan mekanisme kerja pembahasan anggaran yang diatur dalam Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat. Perlu saya tegaskan bahwa saya selaku Ketua DPR sama sekali tidak dapat mengatur, mengondisikan, dan mengintervensi proses pembahasan anggaran yang dilakukan Komisi dan Badan Anggaran DPR.
2. Juki adalah nama panggilan saya waktu kecil. Dulu panggilan saya Marzuki Alie atau Pak MA. Nama Juki muncul setelah konvensi Demokrat.
3. Soal kutipan wawancara dengan saya pada kalimat, "Dulu ya. Sekarang tidak. Dulu, orang terima kasih, saya terima. Sekarang, kalau mau terima kasih, saya enggak terima. Itu kan buat nambah sedekah saja." Pada kalimat ini perlu saya luruskan, sebenarnya yang dimaksud "dulu" adalah sebelum saya menjadi anggota DPR, saat tidak ada larangan menerima hadiah diteruskan kepada yang berhak.
Dr H Marzuki Alie, SE, MM
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat
Semua bantahan Anda telah kami muat dalam wawancara di edisi yang sama. -Redaksi
Surat Terbuka kepada Akademi Jakarta
Saya tergelitik membuat surat terbuka ini setelah membaca berita majalah Tempo edisi 20-26 Januari 2014 yang berjudul "Menganulir Martin" dan dengan subjudul: "Penghargaan Akademi Jakarta 2013 batal diberikan kepada Martin Aleida. Diwarnai pengunduran dewan juri dan isu politis".
Penghargaan Akademi Jakarta (AJ) melibatkan dewan juri yang terdiri atas saya, Astari Rasjid sebagai ketua juri, Leila S. Chudori, Ardjuna Hutagalung, dan Jamal D. Rahman. Dewan juri memang telah mengundurkan diri.
Sikap itu kami ambil karena akhirnya AJ hanya memenangkan seniman musik tradisional Bali, I Gusti Kompiang Raka, dan menganulir kemenangan sastrawan Martin Aleida. Keputusan final itu ditetapkan dalam rapat AJ yang dihadiri Taufik Abdullah (Ketua AJ), bersama Ajip Rosidi, A.D. Pirous, Saini K.M., beserta N.H. Dini. Padahal dewan juri telah menyorongkan dua seniman tersebut sebagai pemenang.
Menurut berita Tempo, Taufik menyatakan kewenangan juri hanya memberi masukan kepada AJ. Pernyataan Taufik itu sungguh perlu dikaji. Sebab, dalam pembukaan rapat pertama dewan juri, Abuhasan Asy'ari, selaku Sekretaris AJ, telah menjelaskan bahwa peran dewan juri adalah menentukan pemenang penghargaan AJ. Mengapa pendapat Ketua dan Sekretaris AJ bertentangan?
Oleh AJ, Kompiang dinilai pantas menerima penghargaan karena pencapaian prestasi hidupnya (life achievement). Dalam surat balasan AJ kepada dewan juri juga ditegaskan bahwa Kompiang telah 45 tahun berkarya dan Martin belum menandingi Kompiang. Dalam pembicaraan saya dengan Martin, sebenarnya Martin (kini 70 tahun) telah berkarya sejak 1962. Maka, kalau dihitung-hitung, Martin sudah berkarier selama 51 tahun. Fakta yang tak terbantahkan bahwa dia sebenarnya mengungguli life achievement-nya Kompiang.
Saya teringat, pada 2009, saya juga berkesempatan menjadi dewan juri penghargaan AJ. Ditemani Misbach Yusa Biran, Wakil Ketua AJ, kami memutuskan pemenangnya adalah aktor Slamet Rahardjo. Patut dicatat, waktu itu Slamet baru berusia 60 tahun dan telah meniti karier selama 36 tahun, terhitung sejak ia pertama kali bermain dalam film Cinta Pertama (1973). Jadi bagaimanakah konsistensi AJ dalam menerapkan kriteria kesetiaan profesi seorang seniman?
Kalaupun Martin pernah dipenjarakan di zaman Orde Baru atas keterlibatannya di Lekra, harap diketahui dewan juri berfokus pada karya-karya sastranya dan tidak mengedepankan pembelaan politis. Dewan juri menuliskan konsiderans mengapa Martin layak dimenangkan: "Membaca Martin adalah membaca kesedihan. Membacanya adalah juga sekaligus menyaksikan sejarah hitam dalam setiap huruf-hurufnya. Tapi kata-kata yang dibangun menjadi ceritanya juga menerbitkan harapan yang tak lazim."
Surat terbuka ini saya tulis dengan niat "naik banding" kepada lembaga AJ. Pertama, sebagian anggota AJ telah semena-mena dalam menerapkan kriteria kesetiaan profesi sebagai ukuran utama bagi calon pemenang penghargaan. Kedua, AJ tidak membuka dialog dengan dewan juri terutama dalam penetapan pemenang penghargaan. Ketiga, lagi-lagi kalau harus dikaitkan dengan soal politis, betapa Indonesia dewasa ini perlu suatu rekonsiliasi nasional atas tragedi 1965 dan itu membutuhkan niat baik semua pihak, terutama dari para penguasa, cendekiawan, dan budayawan. Pertanyaannya: apakah penyelenggaraan penghargaan AJ harus seperti ini? Perombakan macam apa yang harus dilakukan AJ agar tetap menjadi lembaga yang terpandang di masa depan? Salam.
Marselli Sumarno
Anggota Dewan Kesenian Jakarta
Bhatoegana dan Seragam
SEHUBUNGAN dengan tulisan majalah Tempo edisi 3-9 Februari 2014, di halaman sampul depan berjudul "Ngeri-ngeri Suap: Sutan Bhatoegana dituduh menerima dan membagikan uang rasuah SKK Migas", halaman 18 (kartun: "Ngeri-ngeri Sedaaap"), dan halaman 29 (Opini: "Suap Energi dan Politikus Kotor").
Setelah kami cermati isi seluruh berita terkait, kami menyimpulkan penggunaan atribut dalam gambar tersebut telah keluar dari konteks berita. Pemilihan gambar juga kontradiktif dengan isi berita Laporan Utama (halaman 33-38) alinea 21-22. Pada bagian itu, Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan, dan pengacara Rudi Alfonso, secara tegas membantah aliran dana dari Pertamina kepada Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat.
Menurut kami, pemilihan gambar-gambar tersebut merupakan upaya Tempo menciptakan sensasi dan cenderung memaksakan opini yang dampaknya merugikan citra PT Pertamina. Cara-cara tersebut kami pertanyakan karena tidak sejalan dengan Kode Etik Jurnalistik, yakni Pasal 1, 3, dan 8. Sesuai dengan Peraturan Dewan Pers tentang Pedoman Hak Jawab Pasal 13 butir f, kami meminta Tempo meminta maaf karena telah merusak nama baik Pertamina.
Ali Mundakir
Corporate Secretary VP Corporate Communication
Tampilan di sampul dan kartun tersebut merupakan wilayah kreativitas redaksi. Konteksnya merujuk pada Laporan Utama terkait, tapi penggarapannya selalu merujuk persis pada fakta. -Redaksi
Pelurusan Berita di Tempo
IHWAL pemberitaan majalah berita mingguan Tempo edisi 13-19 Januari 2014 di halaman Tempo Jawa Timur tertulis: "Jejak peradaban manusia purba di Gua Song Gentong tergerus penambangan marmer. Sesuai dengan keterangan Puryoto, karyawan PT Industri Marmer Indonesia Tulungagung (PT IMIT), hampir seluruh bukit itu menjadi wilayah eksploitasi PT IMIT. Pencantuman foto pabrik PT IMIT."
Kami ingin meluruskan: keberadaan Gua Song Gentong sama sekali tidak ada kaitannya dengan penambangan batu marmer PT IMIT mengingat operasional perusahaan sesuai dengan izin yang dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Gua Song Gentong terletak di bukit tersendiri yang dipisahkan dengan patahan perbukitan batu berupa lembah dan sungai yang sama sekali tidak termasuk wilayah eksploitasi penambangan batu marmer perusahaan. Karyawan PT IMIT tidak ada yang bernama Puryoto.
Widayaka, SH
Juru bicara PT IMIT Tulungagung
Terima kasih atas penjelasan dan koreksi Anda. -Redaksi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo