Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banyak cara dilakukan politikus untuk menaikkan popularitas dan citra di mata pemilih. Salah satu yang paling umum melalui rilis survei popularitas, seperti yang marak terjadi hari-hari ini menjelang pemilihan umum 9 April nanti. Masalahnya, para politikus itu kerap meminta lembaga survei mengutak-atik hasilnya.
Sewaktu memimpin Indonesia Research Center, Agus Sudibyo pernah diminta seorang pengusaha yang sudah mendeklarasikan diri menjadi calon wakil presiden untuk mempublikasikan data yang belum rampung dianalisis. Ketika itu, data baru terkumpul separuh dan menunjukkan popularitas pengusaha ini paling tinggi dibanding calon lain. "Saya tak mau karena datanya belum final," ujar Agus pekan lalu.
Lembaga Agus melakukan dua kali survei untuk menguji tingkat popularitas sang calon. Karena survei itu pesanan, dalam perjanjian awal disebutkan apa pun hasilnya tak akan diumumkan. Namun, karena perolehan sementara itu hasilnya bagus, pemesan berubah pikiran dan meminta hasilnya dipublikasikan segera. Agus menolak hingga ia keluar dari Indonesia Research.
Dalam etika survei politik, kata Agus, lembaga survei harus mempublikasikan pemodalnya ketika merilis survei pesanan. Sebab, dia melanjutkan, semestinya survei pesanan tidak untuk dipublikasikan karena jenis pertanyaan dan metodenya dirancang buat mengukur popularitas politikus atau partai pemesan. "Media kurang kritis ketika mempublikasikan hasil sebuah survei," ujar anggota Dewan Pers periode 2010-2013 ini.
Lembaga-lembaga survei kadang tak mempublikasikan data dan konteks dari hasil yang dirilisnya. Misalnya tak menyebutkan jumlah responden yang belum menyatakan pilihan. Lembaga-lembaga itu hanya menyebutkan tingkat popularitas dan elektabilitas tiap calon yang dijaringnya. "Jika nama A mendapat 35 persen, sementara jumlah undecided voters 75 persen, hasil survei tak mencerminkan suara populasi sampel," kata Dodi Ambardi, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia.
Soalnya, ada kepercayaan yang berkembang di kalangan politikus bahwa survei bisa menaikkan elektabilitas seseorang saat pemilihan. Maka, dengan menunjukkan tingkat popularitasnya, mereka berharap akan semakin banyak orang terpengaruh oleh pilihan orang lain ketika mencoblos di bilik suara kelak. "Ini mitos karena tak ada penelitian yang menunjukkan hal seperti itu," ucap Dodi.
Bagaimanapun, kata Dodi, hasil sebuah survei mencerminkan keadaan pada saat penelitian. Karena itu, menyebutkan jumlah responden yang menyatakan belum memilih calon yang muncul dalam sigi tersebut menjadi penting untuk mengukur pilihan responden yang dianggap sebagai wakil semua pemilik suara. Kesalahan semua lembaga survei dalam memprediksi pemenang pemilihan Gubernur Jakarta dua tahun lalu menjadi contoh yang pas.
Waktu itu semua lembaga survei memprediksi Fauzi Bowo akan menang dalam satu putaran. Nyatanya, jangankan memenangi pilihan putaran pertama, perolehan suaranya kalah dibanding perolehan pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama. Menurut Dodi, ketika itu banyak responden kelas menengah ke atas menolak diwawancarai dan lembaga survei tak menambah jumlah respondennya. "Pemilih Jokowi rupanya datang dari kelas yang tak mau diwawancarai itu," ujarnya.
Akurasi sampel dan pemilihan responden tecermin dalam margin of error. Menurut Agus, tingkat kesalahan paling akurat jika angkanya di bawah empat persen sehingga respondennya minimal 1.200. Semakin sempit selisih akan semakin akurat hasilnya. Dalam kasus pemilihan Gubernur Jakarta, tingkat kesalahan semua lembaga survei di atas lima persen.
Namanya prediksi, kata Agus, tak ada yang pasti dalam perolehan suara tiap orang yang disigi. Misalnya perolehan suara Jokowi sesungguhnya 21-31 persen, bukan 26 persen, ketika tingkat kesalahannya 5 persen. "Untuk survei nasional, jumlah respondennya minimal 2.000 untuk mencapai tingkat kesalahan 2,7 persen," ujar Agus merujuk pada jumlah pemilih Indonesia sebanyak 190 juta.
Meski survei hanya prediksi dan untuk mengetes popularitas seseorang, jasa lembaga survei tetap diminati. Menurut Dodi, selain karena kesalahan persepsi dengan termakan mitos tadi, survei yang independen sesungguhnya bisa dipakai politikus membuat strategi menggarap dukungan di daerah yang bukan basis pemilihnya.
Bagja Hidayat, Kartika Candra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo