Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Almamang

Chaerul Umam peletak dasar film dan sinetron islami. Melalui karya-karyanya, masyarakat diingatkan pada pencapaian tertentu pembaca cerpen ulung yang pernah bercita-cita menjadi polisi ini.

7 Oktober 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seperti biasanya, berita duka lewat pesan pendek dikirim oleh Jajang C. Noer—bahkan sejak masuk rumah sakit. Seytantono Iman Chaerul Umam, atau Mamang, berpulang pada usia 70 tahun. Lebih dikenal sebagai sutradara, karya-karyanya bernapaskan Islam. Dan jelas rumusannya. "Kalau adegan-adegannya dan solusinya Islam, tak apa-apa. Sedangkan kalau adegannya islami, solusinya jahil, jangan dibilang karya religi," demikian Mamang pernah berkomentar. Ia mengkritik, dengan keras dan pedas, film atau sinetron yang dilabeli­ religi tapi justru tidak mencerminkan nilai-nilai islami.

Dalam hal ini, posisi dan sikap Mamang jelas. Itu dibuktikan dalam penyutradaraan Titian Serambut Dibelah Tujuh, Al Kautsar, sampai Ketika Cinta Bertasbih serta judul lain, seperti Kejarlah Daku Kau Kutangkap dan Gadis Maraton, yang juga laris manis. Bagi Mamang, semua yang dilakukan adalah untuk "keagungan Allah SWT", dan apa yang diraihnya merupakan kehendak-Nya semata. Mamang kecil, yang sering mengikuti ibunya berdakwah, meneteskan air mata ketika melihat Ka'bah.

Keberadaannya di dunia film adalah perjalanan yang panjang. Anak ketiga dari empat bersaudara yang lahir di Tegal ini merantau ke Yogya dan masuk perangkap dunia teater. Mamang membuat grup sendiri, antara lain Teater Cuwiri dan Teater HMI; masuk Bengkel Teater Rendra; kemudian ke Jakarta pun tak jauh-jauh, masuk Teater Kecil, pimpinan Arifin C. Noer. Bersama Amak Baldjun (almarhum), ia mewarnai dunia teater dan menemukan bentuk pementasan yang berbeda dengan grup lain. Mamang memang sering bercanda, meskipun serius dalam melatih.

Jajang masih ingat ketika dia dan teman-temannya dianggap slebor dan dihukum Mamang menghadap tembok sambil menghafalkan dialog. Kalau tak salah ingat, di situlah Mamang bertemu dengan Nunuk, yang kemudian diperistrinya. Hubungan akrab ini hanya ada dalam pergaulan teater. Ketika Arifin bercerai, bahkan ia mondok sementara di rumah Mamang. Pergumulan teater yang mendewasakan sekaligus menemukan persahabatan yang sesungguhnya. Dunia teater adalah keutuhan seorang Mamang, yang dikenal sebagai pembaca cerpen yang memukau.

Mamang kemudian masuk ke dunia film. Ia mula-mula menjadi pengisi suara. "Honornya lebih tinggi dari saya main teater yang berlatih berbulan-bulan," katanya. Ia menanjak menjadi asisten sutradara, lalu sutradara, termasuk menyutradarai film-film dengan bintang Bing Slamet-Ateng-Iskak, juga seri Warkop DKI. Saya pernah menanyakan tumben mau mengerjakan jenis itu, dia jawab kurang-lebih, "Asalkan skenarionya baik dan misinya jelas, akan saya kerjakan."

Saya pernah agak dekat dengan Mamang dalam artian sering bertemu dan berdebat, karena saat itu masih ada Gramedia Film. Saya kadang nonton syuting filmnya, diajak melihat saat editing, juga preview awal. Komentar saya: komedi romantis yang lucu, haru, dan memperlihatkan "keliaran" seorang Mamang. Mamang, seperti biasa, tak puas dengan pujian.

Apa kurangnya Mamang? Saya bilang: kurang baik nasibnya. Sebab, kalau ukurannya Festival Film Indonesia, pada 1986 yang menang adalah film Ibunda karya Teguh Karya. Mamang tertawa dan ganti meledek, lantaran saya ikut main di Ibunda berperan sebagai sutradara. Padahal jatah itu sebenarnya untuk Arifin C. Noer, yang sayangnya jatuh sakit, dan untuk Mamang, yang tengah sibuk menjadi sutradara bener­an, bukan dalam peran.

Guyonan semacam itu, menurut saya, ter­asah dalam pergaulan dunia teater, yang tidak hanya memberi kesempatan secara pribadi memainkan seni peran, tapi juga bagaimana bekerja sama dalam menyukseskan sebuah pertunjukan, bagaimana saling menghargai profesi yang berbeda, bagaimana berkompromi dalam kreativitas, yang semuanya pada akhirnya mendewasakan diri—ketika terjun ke dunia film, televisi, atau pentas lain. Gemblengan seperti inilah yang, mungkin sekali, membedakannya dengan generasi pemain sekarang, yang baru membaca naskah ketika datang ke tempat syuting.

Almamang meletakkan dasar-dasar itu, yang diwujudkan dalam karyanya. Sebuah pencapaian yang akan jadi pengingat seberapa jauh para sineas menjauh atau mendekat.

Arswendo Atmowiloto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus