Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai mahasiswa kriminologi Universitas Indonesia pada 1980-an, nama dr Abdul Mun'im Idries, SpF, sangat akrab di telinga saya. Ia memimpin Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia. Ruang kerjanya di kamar bedah mayat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, hampir setiap hari "dikunjungi" mayat bertato korban petrus (penembakan misterius) 1983.
Tapi saya baru pertama kali bertemu dengannya saat Jakarta digemparkan oleh penemuan mayat perempuan terpotong tujuh dalam sebuah karung beras oleh seorang pemulung sampah, di depan kampus IKIP Rawamangun, Jakarta Timur, 8 April 1989. Saya saat itu menjadi wartawan.
"Si pembunuh berwawasan luas. Buktinya, dia dengan sengaja menghilangkan segala identitas korban, termasuk sidik jari, karena pergelangan tangan korban dipotong," begitu penjelasannya.
Semula banyak media yang memberitakan bahwa mayat itu adalah seorang perempuan dari Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur, yang dibunuh anak kandungnya sendiri. Nyatanya berita itu salah. Perempuan itu kemudian ditemukan dalam keadaan segar bugar. Mun'im dalam analisisnya menduga mayat tersebut adalah mayat perempuan yang dinyatakan hilang oleh keluarganya. Sang suami telah datang ke Mun'im untuk menyerahkan pas foto istrinya.
Tak dinyana, pada 20 April 1989, ditemukan potongan badan seorang perempuan di Dermaga Kolinlamil Tanjung Priok, Jakarta Utara. Seluruh isi perutnya habis. Rekan Mun'im, dr Agus Purwadianto dari Lembaga Kriminologi UI, menduga potongan itu adalah bagian dari mayat terpotong tujuh tersebut. Sebab, ketika potongan paha dilekatkan ke badan, ternyata pas. Golongan darahnya juga sama.
"Kami segera menyusun rekonstruksi wajah, mulai dari tahi lalat dekat bibir," kata Mun'im. Ia lalu mencocokkan rekonstruksi wajah itu dengan foto perempuan hilang yang pernah diberikan kepadanya. Ternyata wajahnya sama. Terkuaklah bahwa mayat itu adalah mayat seorang guru TK. Pembunuhnya adalah suaminya sendiri, seorang kepala sekolah di bilangan Jakarta Pusat, yang pernah datang menemui Mun'im. "Kalau suaminya tidak menyerahkan pas foto, kemungkinan besar kasusnya tetap menjadi misteri," ujar Mun'im.
Mun'im seorang yang berani. Dia mengabaikan peringatan teman-temannya ketika ia menjadi saksi ahli kasus aktivis buruh Marsinah. "Kamu gila, nekat, ngelawan arus. Hati-hati, nyawa bisa melayang!" Di antara kasus besar yang "mendunia" adalah pembunuhan Martadinata Haryono, aktivis pendamping korban pemerkosaan kerusuhan Mei 1998 (1998). Juga pembunuhan Munir (2004), pengeboman Hotel JW Marriott (2003), pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen yang melibatkan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar (2009), dan tewasnya teroris Noor Din M. Top (2009).
"Saya sempat terpukul saat 'diinterogasi' oleh orang yang pernah jadi murid saya karena saya ungkap hal-hal yang ternyata kurang disukai dalam kasus pembunuhan yang menyeret Antasari," katanya.
Tiga bulan lalu, Juni 2013, ia meluncurkan buku Indonesia X-Files. Buku ini mengingatkan saya bahwa dulu ia kerap tak mau mengungkap semua yang diketahuinya. Alasannya: terbatas untuk konsumsi penyidik. Saat tragedi Trisakti, Mun'im mengatakan, apabila semua fakta dia ungkap ke media, si pelaku akan dengan mudah membuat alibi.
Mun'im benar. Dan lewat karya terakhirnya itu, ia berikan kepada kita "kode penting". Mun'im menulis bahwa ia menemukan luka tembak yang mematikan di tubuh keempat mahasiswa Trisakti. Kalau Hamami Nata, Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya saat itu, menyatakan anak buahnya hanya dibekali peluru karet, lalu siapa yang menggunakan peluru tajam yang menembus tubuh anak-anak muda tersebut?
Dalam kasus kematian Marsinah, ia juga menemukan sejumlah "kejanggalan". Dengan tegas Mun'im menyimpulkan, kerusakan sadistis pada kemaluan Marsinah adalah akibat luka tembak! Begitu juga dalam kasus tewasnya Munir. Bagi Mun'im, kasus itu menjadi sebuah lakon yang sebenarnya belum tuntas tapi dipaksakan tuntas.
Kini kita tak akan lagi mendengar penjelasan Mun'im. Jumat dua pekan lalu, ia menghadap Sang Ilahi. Satu kalimat dia yang tak pernah pergi dari benak saya: "Memang benar, seseorang yang sudah wafat tak lagi bisa dihidupkan kembali. Tapi dia masih punya hak untuk memperoleh keadilan!"
Maman Suherman, alumnus Kriminologi UI, jurnalis, penulis buku
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo