KERJA reporter tak ubahnya seorang pemburu. Ia harus mengejar buruannya sampai ke rimba mana pun jua. Dan kebetulan "buruan" itu ada di Afrika Selatan, yang penuh salak senapan dan ceceran darah. Itulah yang dilakukan wartawan kami Yuli Ismartono sejak tiga pekan lalu. Ia diberi tugas memburu berita di negeri multiras yang akan menyelenggarakan pemilunya yang pertama, 27-28 April ini. Selama di Afrika Selatan, tentu Yuli bukan cuma mewawancarai berbagai sumber di Johannesburg, Pretoria, atau daerah lainnya. Ia juga mesti penuh perhitungan menjaga keselamatan. Sebab, begitu ia mendarat, suara senapan, pekik demonstrasi, perkelahian antarkelompok, ceceran darah, dan mayat terkapar di pinggir jalan langsung menyambutnya. "Boleh dibilang, tak jelas siapa lawan dan kawan," kata Yuli melukiskan kesemrawutan konflik antarkelompok ketika masih panas. Hasil liputannya, termasuk wawancara khusus dengan Wakil Presiden ANC Walter Sisulu (orang kedua setelah Nelson Mandela di partai itu), kami turunkan sebagai Laporan Khusus pekan ini. Memang, Yuli merasa lebih siap melaksanakan tugas jurnalistiknya setelah mendapat penjelasan - tentu tak termasuk bakal terjadinya pertumpahan darah - dari pihak kedutaan Afrika Selatan di Singapura yang berkunjung ke TEMPO bulan lalu. "Dan secara pribadi, penugasan ke Afrika Selatan ini merupakan suatu perjalanan nostalgia," kata Yuli. Sebab, ketika masih bocah, 42 tahun lalu, ia ikut orang tuanya yang ditugaskan Departemen Luar Negeri ke Brasilia. Tentu, jalur yang ditempuh lewat laut. Ketika itu, Yuli sempat singgah dan jalan-jalan di tiga kota pelabuhan Durban, Port Elisabeth, dan Cape Town. Yang menarik, mungkin karena ayahnya berpaspor diplomatik, ia diperlakukan seperti warga kulit putih, bukan sebagai orang kulit berwarna. "Ketika naik trem, kami dipersilakan duduk di bangku for whites only," cerita Yuli. Kini, kata Yuli, walau ketentuan perbedaan warna kulit itu sudah dicabut, kebiasaan yang sudah mengendap puluhan tahun itu belum pula terkikis. "Ketika saya masuk restoran di ibu kota Pretoria, saya dipelototi tamu lain," katanya. Rupanya, Yuli yang berkulit sawo matang itu satu-satunya pengunjung yang bukan berkulit putih. Tentu masalah yang dihadapinya bukan cuma warna kulit. Bahaya maut dan perampokan siap menghadang setiap saat. Misalnya, dua wartawan foto, satu dari Prancis dan satu lagi dari Inggris, belum lama ini dihadang pemuda kulit hitam di tengah Kota Johannesburg. Kameranya dirampas di siang hari bolong. Sampai ada imbauan agar para wartawan mengenakan rompi tahan pelor (flak jacket) yang bisa dibeli 12.250 rand (Rp 750.000) bila mau meliput kampanye atau demo di permukiman kulit hitam. Tapi itu toh bukan jaminan selamat. Pekan lalu, satu wartawan foto tewas, dua lainnya luka kena tembak ketika meliput pertempuran kecil antara pendukung partai Inkhata dan aparat keamanan Afrika Selatan. "Bagaimanapun bahayanya, saya anggap penugasan ini yang paling menarik," kata Yuli. Memang, Yuli termasuk wartawan kami yang banyak "menyerempet bahaya" dalam tugas. Ketika masih bermarkas di Bangkok, kawasan perang Kamboja dan wilayah konflik Tamil-Sinhala di Sri Lanka merupakan "ladang buruannya". Dan tak jarang pula wanita kelahiran Yogyakarta yang kini Koordinator Liputan Luar Negeri di TEMPO ini pernah meliput medan berbahaya seperti Perang Teluk, Afganistan, sampai sarang raja opium Khun-Sa di tapal batas Myanmar-Thailand.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini