AWAL tahun anggaran baru bukan hanya menyibukkan anggota DPR, pengamat ekonomi, atau pengusaha, tapi juga kami di majalah TEMPO. Kami harus ikut memeras otak, membaca, dan menganalisa RAPBN (rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara) yang disampaikan Presiden Soeharto kepada DPR, pekan lalu. Gambaran RAPBN itu -- melalui lobi -- memang telah kami peroleh sehari setelah sidang kabinet yang membahas masalah ini, 30 Desember 1993. Tapi membaca dan menganalisa angka-angka yang tertera di sana -- untuk kemudian disuguhkan pada pembaca - memang bukan pekerjaan mudah. Oleh karena itu, seperti tahun-tahun sebelumnya, kami selalu mengundang para pakar untuk mendiskusikan soal ini. Biasanya, dengan demikian pekerjaan tadi akan lebih mudah, dan, seperti biasa, dapat kami hidangkan dalam bentuk tulisan yang akan dikonsumsi oleh pembaca yang datang dari berbagai kalangan yang berbeda. Tulisan mengenai nota keuangan RAPBN yang dapat Anda baca dalam TEMPO nomor ini, antara lain, direkam dari hasil diskusi kami dengan para pakar tadi. Diskusi itu kami laksanakan di Ambon Room Borobudur Intercontinental Hotel Jakarta, dua hari menjelang Presiden Soeharto menyampaikan nota RAPBN itu, di depan sidang paripurna DPR. Dalam diskusi itu, hadir Profesor Dr. Mohammad Arsjad Anwar, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, dan Dr. Mari Pangestu, seorang pengamat ekonomi CSIS. Merekalah yang kami harapkan membantu kami menghadapi angka-angka RAPBN tadi. Lalu diskusi yang dipandu oleh pengamat ekonomi Dr. Syahrir itu diikuti oleh jajaran redaksi TEMPO, dan para rekan dari bagian lain, baik dari TEMPO maupun perusahaan lain dalam jajaran grup TEMPO. Diskusi itu dibuka oleh Redaktur Pelaksana Isma Sawitri, pemimpin proyek ini. Maka, acara ini pun berlangsung cukup menarik dan menghabiskan waktu sekitar tiga jam, sejak pukul 19.30 WIB. Banyak hal yang dapat kami serap dari diskusi ini: antara lain dapat Anda baca dalam Laporan Khusus kali ini. Ini cukup penting karena RAPBN ini merupakan bujet tahun pertama untuk PJP II (pembangunan jangka panjang II). Karena itulah, semula banyak orang yang menduga akan ada perubahan suasana di RAPBN ini dibanding RAPBN pada PJP I. Ternyata dugaan itu meleset. RPBN 1994/1995 tidak banyak berbeda dibanding RAPBN sebelumnya. Misalnya, RAPBN sekarang ini tetap bersifat kontraktif: dana yang disedot dari pajak lebih besar daripada dana yang akan dikucurkan di dalam negeri. Itu karena cicilan utang luar negeri yang begitu besar. Dari hasil diskusi ini, tim Ekonomi dan Bisnis TEMPO yang dikoordinasi Isma Sawitri merancang sebuah tulisan yang cukup panjang. Untuk itu, bahan yang diperlukan tentu bukan hanya hasil diskusi tadi. Kami berusaha menjaring buah pikiran dari para ahli yang lain, para pelaku ekonomi, dan para pejabat pemerintah yang relevan. Itu dilakukan anggota tim Isma tadi: Max Wangkar, Budi Kusumah, dan Bambang Adji Setiady. Selain itu, Biro Jakarta yang dikomandani Toriq Hadad menerjunkan sejumlah reporter, untuk menguber sumber-sumber berita yang telah direncanakan tadi. Lalu, untuk memperkuat tulisan ini, sejumlah pakar kami minta menuliskan kolomnya. Semoga deretan angka di dalam RAPBN itu tidak membuat Anda ruwet saat membaca laporan ini. Itulah harapan kami.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini