PLASTIK membantu kita, tapi juga mengancam hidup kita. Kantong plastik yang cantik sering diperoleh dari toko tempat berbelanja betapa menyenangkan. Tetapi kemudian kita buang kantong itu ke onggokan sampah betapa berbahayanya. Sebab, plastik pembungkus itu berbeda dengan daun pisang yang dulu dipakai nenek dan ibu kita. Sampah daun pisang akan larut ke tanah secara alamiah, bahkan ikut menyuburkan bumi. Plastik tidak. Ia akan bertahan di sana, tersembunyi, dan pelan-pelan merusak. Kalimat di atas adalah intro dari sebuah gagasan: apa yang bisa kita lakukan dengan sampah plastik? Jawabnya adalah begini bunyi gagasan itu mengurangi plastik yang terserak-serak dan memanfaatkan sampah plastik itu untuk hal yang berguna melalui proses pengolahan kembali. Teguh Ostenrik, seorang pelukis di Jakarta, punya ide membangun sebuah piramida yang bahannya dari bata yang diproses dari sampah plastik. Proses pembuatan bata itu telah ditemukan tekniknya dan telah diuji keandalannya. Piramida itu sendiri, menurut rencana, didirikan di Desa Munduk, sebuah desa yang ''terpencil'' dari ingar-bingar wisatawan, di lereng bukit Bali Utara. Piramida itu nantinya juga berfungsi sebagai tempat pertemuan warga desa dan pentas kesenian, mirip sebuah bale banjar bagi masyarakat Bali. Lantas, apa hubungannya dengan TEMPO? Bagi kami, ide yang baik dan gagasan yang bagus patut didukung. Tapi, karena ini adalah proyek yang menyelamatkan lingkungan yang sangat luas piramida di Bali itu hanya sebuah simbol dari perang besar melawan plastik kami tentu tak mungkin mendukungnya sendirian. Kami perlu teman. Maka, mula-mula yang kami tarik untuk bergabung mendukung Piramida Sampah Plastik adalah rekan-rekan pers: The Jakarta Post, Kompas, Republika, dan Suara Pembaruan. Bersama teman-teman dari media massa ini dan tentu juga bersama panitia pengarah proyek Piramida Sampah Plastik akhirnya digelar acara presentasi di gedung Indonesia Petroleum Club, Jakarta, Kamis dua pekan lalu. Acara itu dihadiri Menteri Negara Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja. Juga hadir sejumlah pengusaha yang punya kepedulian pada masalah lingkungan, antara lain Usman Admadjaja dari Bank Danamon dan Ray Williams dari SGS Indonesia. Di situ, Menteri Sarwono mengimbau para pengusaha agar membantu proyek kesadaran lingkungan ini. Fikri Jufri, Wakil Pemimpin Redaksi TEMPO ia berbicara mewakili pihak sponsor secara bergurau berkata, ''Ada apa sih, di saat orang-orang berbicara soal kondominium, kok TEMPO berbicara soal sampah plastik?'' Pertanyaan itu ia jawab sendiri: ''Kami ini memang mengurusi hal-hal yang kurang diurusi orang lain.'' Ia tak sekadar bercanda. Ada benarnya. Awal tahun ini, misalnya, kami bersama harian Kompas mensponsori Suita 93, yakni pergelaran musik komtemporer yang ''kurang diurusi pihak lain''. Juga berbagai kegiatan kesenian lainnya. Keterlibatan kami dalam Piramida Sampah Plastik ini tak cuma dalam hal bantuan dana dan ''menodong'' pengusaha agar ramai- ramai membantu, tapi juga hal-hal yang teknis. Misalnya, di bagian desain visual kami, diolah poster-poster yang nantinya untuk kampanye, baik disebar di masyarakat maupun sebagai iklan layanan masyarakat. Pemimpin Redaksi TEMPO Goenawan Mohamad, yang sejak awal ikut dalam gagasan ini, termasuk yang ikut pula merancang teks poster. Pembaca, plastik bukan sembarang sampah. Plastik memang penting tapi genting.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini