Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Klarifikasi Joyce Josephine
PADA halaman 50 artikel Laporan Utama Tempo edisi 25-31 Januari 2021 berjudul “Paket Merah Partai Merah”, terdapat kalimat: “Seorang penegak hukum mengatakan pegawai PT Pertani yang ikut aktif melobi Adi Wahono dan Matheus Joko bernama Joyce Josephine. Dimintai tanggapan, Joyce memilih bungkam. ‘Saya tak berwenang memberi komentar,’ kata Joyce.”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya hendak memberikan klarifikasi dan bantahan bahwa berita tersebut tidak benar dan tidak sesuai dengan fakta serta kebenaran. Alasannya:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
1. Saya bukan atau tidak benar menjadi pegawai PT Pertani (Persero) seperti diberitakan Tempo.
2. Saya tidak pernah dan/atau tidak benar ikut aktif melobi Adi Wahono dan Matheus Joko untuk urusan atau kepentingan PT Pertani (Persero) seperti diberitakan Tempo.
Atas pernyataan tersebut, saya meminta Tempo memberikan klarifikasi atau pernyataan tertulis sebagai koreksi paling lambat pada edisi mendatang.
Joyce Josephine
Jakarta
Terima kasih atas klarifikasi Anda. Seperti tertera dalam artikel, kami mendapat informasi tentang status kepegawaian Anda di PT Pertani dari penegak hukum. Untuk memperoleh klarifikasi atas informasi tersebut, kami mencoba menghubungi Anda.
Keadilan Restoratif dalam Undang-Undang ITE
HUKUM memiliki tiga tujuan: keadilan, kepastian, dan kemanfaatan atau 3K. Beberapa waktu belakangan, perbincangan tiga tujuan ini mengemuka dalam rencana pemerintah merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Bandul yang menimbang tiga tujuan itu kembali diperdebatkan dalam kasus-kasus jeratan pidana dengan dasar Undang-Undang ITE.
Salah satu pandangan menyebutkan pertimbangan manfaat harus dikedepankan, kasus tidak serta-merta berujung pidana. Tanpa kehati-hatian itu, Undang-Undang ITE amat rentan terhadap politisasi hukum penguasa yang antikritik. Hal ini tentu merupakan langkah mundur demokrasi. Apalagi semangat demokrasi digital justru semarak melalui media sosial.
Selain itu, dalam perspektif keadilan, banyak pelaku kasus minor yang seharusnya dapat diselesaikan dengan jalan damai serta-merta dihukum lebih berat daripada maling uang negara. Prosesnya pun tidak fair karena bukti di media sosial dianggap sudah cukup untuk membawa kasus-kasus itu diproses lebih cepat daripada penyidikan kejahatan “kerah putih”.
Konsep keadilan restoratif merupakan terobosan pemikiran dalam sistem pemidanaan yang sudah lama diliputi keresahan akan efektivitas tujuan pemidanaan. Pada kenyataannya, sanksi fisik tidak serta-merta dapat mengubah perilaku dan mengatasi guncangan sosial. Dalam banyak kasus, kondisi justru lebih buruk dari semula. Karena itu, konsep ini menawarkan tiga komponen utama keadilan, yakni restitusi, koreksi, dan redistribusi.
Di banyak negara, restorative justice sudah dijalankan. Selain negara pasca-otoritarian seperti Afrika Selatan, negara maju seperti Kanada dan Inggris menggunakan konsep ini. Pada 2008, Inggris melaporkan restorative justice mengurangi angka kasus residivis mereka hingga 27 persen.
Di Indonesia, kasus residivis masih tinggi. Sayangnya, jumlah terpidana baru terus membengkak. Undang-Undang ITE turut berkontribusi. Saat ini baru penanganan tindak pidana anak yang secara perlahan menggunakan konsep keadilan restoratif.
Dalam kasus-kasus ITE, penggunaan pasal-pasal “longgar” antara kepastian dan kemanfaatan atau kepastian dan keadilan kerap menjadi perdebatan. Misalnya, penggunaan pasal kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan acap menjadi pertarungan untuk menerapkan Pasal 28 Undang-Undang ITE demi kepastian versus manfaat bagi hak korban.
Karena itu, terkait dengan usul revisi Undang-Undang ITE, menurut saya, kubu pro dan kubu kontra dapat disatukan. Namun ada beberapa kriteria pembuktian yang perlu mempertimbangkan dimensi 3K.
Pertama, secara prosedural berkaitan dengan kehendak dan pernyataan kehendak. Penelusuran jejak digital seharusnya dapat menjadi informasi bagi penegak hukum apakah yang bersangkutan secara konsisten menunjukkan niat sengaja menyerang dengan kebencian atau mencemarkan nama. Sementara itu, pernyataan kehendak harus diperiksa kembali derajat korelasinya dengan kategori kebencian dan pencemaran nama. Karena itu, kriteria kebencian dan pencemaran nama harus diatur ketat agar tidak ditafsirkan secara elastis.
Kedua, secara substantif, ketentuan kebencian dan pencemaran nama dalam Undang-Undang ITE tidak terkait langsung dengan kerugian materiel. Kejahatan kategori itu lebih melayani konsep sosial tentang “harga diri” yang terkait dengan perasaan orang/kelompok/golongan tertentu. Solusinya seharusnya bukan pidana, melainkan pemulihan sosial dengan jalan damai untuk menyembuhkan luka hati dan sosial.
Yulianus Soni Kurniawan
Depok, Jawa Barat
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo