Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

5 Desember 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tanggapan Bank DKI

SEHUBUNGAN dengan dimuatnya pemberitaan mengenai PT Bank DKI di majalah Tempo edisi 24 November-4 Desember 2016 yang berjudul "Kusut Sengketa Lelang Agunan", bersama ini kami sampaikan hal sebagai berikut.

PT Tucan Pumpco Service Indonesia (PT TPSI) memiliki utang kepada PT Bank DKI (bank milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta) yang sampai saat ini tidak diselesaikan (kredit macet). Sehubungan dengan hal tersebut, PT Bank DKI mengambil langkah penyelesaian utang dengan melakukan eksekusi agunan sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku.

Penyelesaian dengan eksekusi agunan dilakukan atas nama institusi PT Bank DKI. Perlu kami tegaskan bahwa agunan dimaksud adalah agunan atas dasar perjanjian kredit yang telah ditandatangani secara sah dan telah diikat sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku. Sekali lagi kami tegaskan bahwa ini adalah utang yang tidak diselesaikan sampai saat ini oleh PT TPSI sesuai dengan yang diperjanjikan. Ini terkait dengan utang-piutang dan, apabila dibayar lunas seluruhnya, akan selesai dengan sendirinya.

Zulfarshah
Corporate Secretary PT Bank DKI

Terima kasih atas tambahan penjelasan Anda.


Suap Handang Soekarno dan Penerimaan Negara

KOMISI Pemberantasan Korupsi menangkap Handang Soekarno, Kepala Subdirektorat Bukti Permulaan Direktorat Penegakan Hukum pada Direktorat Jenderal Pajak, yang diduga menerima suap Rp 1,9 miliar. Kasus penangkapan ini tentu mencoreng Kementerian Keuangan, apalagi yang melakukan adalah pejabat pada direktorat yang tugas pokok dan fungsinya melaksanakan penyiapan bahan penelaahan, penyusunan, pemantauan, pengendalian, bimbingan, dan evaluasi pelaksanaan kebijakan teknis operasional pengumpulan serta penelaahan bukti permulaan tentang adanya tindak pidana di bidang perpajakan.

Subdirektorat Bukti Permulaan Direktorat Penegakan Hukum satu di antara tiga direktorat unit eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang baru terbentuk pada 22 Desember 2015, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 234/PMK.01/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan. Dua direktorat baru lainnya adalah Direktorat Perpajakan Internasional dan Direktorat Intelijen Perpajakan. Direktorat Intelijen Perpajakan dan Direktorat Penegakan Hukum sebelumnya merupakan satu direktorat bernama Direktorat Intelijen dan Penyidikan.

Dengan terbentuknya Direktorat Penegakan Hukum, diharapkan Direktorat Jenderal Pajak dapat meningkatkan kinerjanya melalui penegakan hukum dengan adil dan profesional untuk merealisasi target penerimaan pajak. Sepertinya tujuan pembentukan direktorat ini justru dicoreng sendiri oleh pejabatnya. Kasus ini membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani sangat kecewa, sebagaimana tertuang dalam sebuah surat untuk para pegawai negeri sipil di bawah Kementerian Keuangan.

Langkah Menteri Keuangan

Sangat sulit menghitung dampak kasus suap Handang Soekarno terhadap penerimaan pajak. Seperti beberapa kasus sebelumnya, misalnya kasus Gayus Tambunan. Pada waktu itu (2010) banyak yang memperkirakan, akibat kasus ini, penerimaan negara diprediksi hanya mencapai 99,5-99,7 persen dari target penerimaan. Tentu pencapaian seperti ini sangat tinggi. Kalaupun hanya berkurang 0,3-0,5 persen, ini lebih banyak dipengaruhi kondisi ekonomi, baik global maupun domestik, bukan karena kasus Gayus.

Memang harus diwaspadai kemungkinan adanya berbagai kasus yang melilit Direktorat Jenderal Pajak akan berdampak pada persepsi wajib pajak dalam membayar pajak. Mereka merasa khawatir pajak yang mereka bayar dikorupsi oleh oknum-oknum Direktorat Jenderal Pajak. Persepsi yang salah seperti ini sebenarnya dapat dilawan dengan mensosialisasi kepada masyarakat bahwa Direktorat Jenderal Pajak hanya melakukan kegiatan administrasi terhadap uang yang dibayar wajib pajak di bank. Pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak langsung ditransfer ke bank dan masuk ke kas negara. Jadi tidak mungkin dikorupsi oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak.

Terlepas dari dampak negatif kasus di bidang perpajakan, justru yang perlu diwaspadai adalah kinerja pegawai pada Direktorat Jenderal Pajak terhadap pencapaian target penerimaan pajak. Perlu diketahui, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 37 Tahun 2015, sistem remunerasi pegawai pajak jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan pada umumnya. Namun anehnya, sejak remunerasi  dinaikkan, target penerimaan pajak tidak pernah tercapai. Pada 2015, realisasi penerimaan pajak hanya mencapai 84,7 persen dari target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan2015. Begitu halnya dengan pencapaian target penerimaan tahun 2016. Meskipun Direktorat Jenderal Pajak sukses dengan program tax amnesty, target penerimaan pajak hingga November belum menembus 90 persen.

Langkah Menteri Keuangan membentuk Tim Reformasi setelah adanya kasus suap Handang Soekarno sangat tepat. Tim ini akan menyasar lima hal, yakni sumber daya manusia, sistem informasi dan basis data, proses bisnis, struktur kelembagaan, serta regulasi di bidang perpajakan. Yang tak kalah penting, dalam konteks Tim Reformasi, selain melibatkan KPK, Kementerian Keuangan harus melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Untuk memberikan efek jera terhadap pegawai pada Direktorat Jenderal Pajak, sebaiknya aliran dana semua pegawai, terutama pejabat, pada direktorat yang terkait dengan penerimaan negara, baik pajak, cukai, maupun penerimaan negara bukan pajak, terus dipantau oleh PPATK. Di sinilah pentingnya pelibatan PPATK dalam Tim Reformasi. Semoga, dengan adanya pemantauan aliran keuangan, para pejabat akan berpikir dua kali apabila melakukan pelanggaran.

Makmun Syadullah
Peneliti Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan


RALAT

  1. Dalam Laporan Utama "Kicau Kacau di Atas Jakarta", edisi 28 November-4 Desember 2016, di halaman 36 terdapat kesalahan warna garis pada infografis. Di akun Twitter @kangdede78 tampak garis merah yang menandakan sentimen negatif mengarah ke Ahok & Djarot dan garis hijau menunjukkan sentimen positif ke arah Anies & Sandi. Seharusnya garis merah mengarah ke Anies & Sandi dan garis hijau ke arah Ahok & Djarot.
  2. Dalam rubrik Lingkungan edisi 21-27 November 2016 di halaman 70, yang berjudul "Pagarsih dan Kambing Hitam Situ Aksan", terdapat kesalahan predikat Titi Bachtiar. Di alinea ketujuh tertulis "dosen geografi Institut Teknologi Bandung", seharusnya "mengajar di Universitas Islam Nusantara, Bandung".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus