Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

6 Maret 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Terbuka Bahaya Tembakau

KAMI dari Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak ingin menyampaikan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo tentang bahaya rokok dan usul rekomendasi yang bisa dilakukan pemerintah. Produk tembakau (rokok) mengandung zat adiktif yang sifatnya beracun, mutagenik, dan karsinogenik. Zat ini membahayakan kesehatan dan masa depan generasi muda. Dalam berbagai literatur dan penelitian, konsumsi rokok dapat menyebabkan stunting, keguguran, kematian mendadak pada bayi, serta bayi berat lahir rendah.

Data 2013 menunjukkan jumlah perokok laki-laki di Indonesia mencapai 66 persen dan perokok perempuan sebesar 6,7 persen atau meningkat lima kali lipat dibandingkan dengan data pada 1995 yang hanya 1,7 persen (Tobacco Atlas, 2015). Jumlah perokok remaja usia 15-19 tahun sangat tinggi, yaitu 18,3 persen. Lalu lebih dari 60 persen perokok mulai merokok di bawah usia 19 tahun. Pada 2011, Global Adult Tobacco Survey merilis bahwa 133 juta orang Indonesia terpapar asap rokok di rumah dan lebih dari 11 juta anak usia 0-4 tahun terpapar asap rokok.

Bila Rancangan Undang-Undang Pertembakauan disahkan, akan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Keputusan Mahkamah Agung Nomor 16 P/HUM/2016 yang isinya membatalkan Peta Jalan Industri Hasil Tembakau, yang menargetkan 542 miliar batang produksi rokok pada 2020.

Kami memandang tujuan utama RUU Pertembakauan merupakan upaya memproteksi industri rokok dan memperlemah pengendalian konsumsi rokok. RUU ini akan meningkatkan produksi rokok (pasal 3), memperbolehkan penjualan rokok melalui mesin layan diri (pasal 47), dan mengembalikan peringatan kesehatan bergambar menjadi teks (pasal 50). Lalu mewajibkan penyediaan kawasan merokok (pasal 53-55) dan menyatakan semua pengaturan di undang-undang lain harus mengikuti Undang-Undang Tembakau saat disahkan (pasal 70). Hal ini bertentangan dengan upaya perlindungan kesehatan.

Kami mengingatkan bahwa Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia yang belum mengakses Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Pemerintah harus segera mengakses FCTC sebagai bentuk komitmen atas perlindungan kesehatan masyarakat.

Atas dasar tersebut, kami memohon Presiden Joko Widodo agar mengambil langkah-langkah berikut:

1. Meminta agar pembahasan RUU Pertembakauan tidak dilanjutkan karena substansinya bertentangan dengan pengendalian konsumsi rokok serta sebagian isinya sudah termuat dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

2. Memastikan RUU Pertembakauan tidak bersinggungan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012. Kami juga meminta agar Pasal 3 huruf a, Pasal 47, Pasal 50, Pasal 53-55, Pasal 70, serta pasal-pasal terkait dengan kesehatan dan upaya penekanan prevalensi perokok dalam RUU Pertembakauan dihilangkan.

3. Pemerintah segera mengakses FCTC untuk memperkuat perlindungan negara terhadap kesehatan masyarakat.

Semoga Presiden Joko Widodo mempertimbangkan dan memenuhi harapan di atas sebagai upaya melindungi ibu dan anak serta kepentingan kesehatan masyarakat. Demikian pandangan kami. Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.

Supriyatiningsih
Koordinator Presidium Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak


Rumahku Istanaku

"RUMAHKU istanaku". Semua orang percaya dan mendambakan hal itu. Pada Selasa, 23 Februari 2017, istana yang kami tempati lebih dari 48 tahun di Kompleks Cijantung II, Jakarta Timur, "diambil paksa". Ketika kami terusir, saat bersamaan dibangun rumah mewah di lokasi yang sama.

Kami, putra-putri yatim piatu dari anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, tidak melanggar hukum, tidak mengganggu ketertiban umum, selalu merawat rumah dan lingkungan, serta taat membayar pajak, pajak bumi dan bangunan, tagihan PLN, dan iuran PAM. Lingkungan Cijantung II tidak seperti harapan kami pada 1960-an ketika kami mulai menetap di sini. Saat ini Cijantung II berubah menjadi "real estate" yang membuat kami dipaksa pergi seperti binatang liar.

Kami mohon kepada Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Ibu Megawati Soekarnoputri, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Komisi Pemberantasan Korupsi, serta lembaga tinggi negara lainnya agar melihat secara langsung Kompleks Cijantung II. Kami juga meminta agar hak kami sebagai warga negara atas tanah dan rumah di kompleks tersebut dikembalikan. Semoga keadilan bisa berpihak kepada kami sebagai masyarakat kecil.

W. Trimartini
Warga Cijantung II, Jakarta Timur


Banjir di Pangkalan Kota Baru dan Galian C Liar

BANJIR besar melanda sebagian wilayah Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat, sejak Kamis pekan lalu. Kondisi paling parah terjadi di Kecamatan Pangkalan Kota Baru. Rumah-rumah penduduk, sekolah, dan kantor kepolisian sektor terendam hingga dua meter, yang membuat ratusan orang mengungsi ke tenda darurat. Bukan hanya itu, sejumlah titik jalan lintas menuju Riau terendam air dan tanah longsor serta tidak bisa dilalui kendaraan.

Banjir besar serupa terjadi pada Maret-April tahun lalu. Menurut penduduk setempat, dua kejadian ini merupakan peristiwa banjir terbesar dalam 25 tahun terakhir. Sebab, pada tahun-tahun sebelum saat musim hujan, banjir hanya menggenangi sejumlah wilayah tertentu dan tidak parah.

Sebagai orang yang berkampung di sana, menurut saya, penyebab utama banjir besar ini adalah maraknya kegiatan penambangan galian C (pasir dan batu) di sejumlah sungai di Kecamatan Pangkalan Kota Baru. Kegiatan ilegal yang terjadi sejak 2014 itu secara kasatmata bisa dilihat dengan rusaknya sejumlah aliran sungai.

Namun praktek kotor itu seperti kebal hukum dan tidak pernah ditindak kepolisian. Sejumlah warga, tokoh masyarakat, dan perantau Pangkalan Kota Baru di Riau pernah membuat laporan ke Kepolisian Resor 50 Kota pada Juni 2016. Beberapa video dan foto kerusakan akibat galian C ikut disertakan dalam laporan itu. Bukan hanya itu, surat dari Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno, yang menyatakan tidak pernah memberi izin galian C di Pangkalan Kota Baru, dan rekomendasi Ombudsman Sumatera Barat, yang menyebutkan terjadi maladministrasi dalam pemberian izin oleh Bupati 50 Kota, dikesampingkan polisi. Langkah abai Polres 50 Kota ini amat disayangkan dan meresahkan.

Saat ini, ketika banjir besar berturut-turut datang dalam dua tahun terakhir, semestinya menjadi momentum bagi Kepolisian Daerah Sumatera Barat untuk membuka lagi kasus tersebut. Siapa saja pejabat di Kabupaten 50 Kota yang memberikan restu kepada pengusaha galian C mesti dimintai tanggung jawab. Semua yang bersalah mesti ditindak tegas. Ini mungkin bisa menjadi pelipur lara ratusan penduduk yang menderita karena ulah mereka merusak aliran sungai.

Yusra Hayati
Perantau asal Pangkalan Kota Baru, Sumatera Barat; menetap di Bekasi, Jawa Barat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus