Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEDIRI - Jalan panjang Pemerintah Kabupaten Lima Puluh Kota dan keluarga Ibrahim Datuk Tan Malaka untuk memulangkan leluhurnya ke kampung halaman akhirnya rampung. Selasa, 21 Februari lalu, menjadi hari pemulangan jasad pahlawan kemerdekaan nasional itu, bertepatan dengan hari kematiannya 68 tahun silam akibat ditembak tentara dengan tuduhan berkhianat.
Sejak kematiannya pada 21 Februari 1949 di lereng Gunung Wilis tersiar, pencarian jasad Tan Malaka mulai dilakukan oleh keluarga dan tokoh adat dari Kabupaten Lima Puluh Kota. Berbekal informasi dan modal seadanya, mereka melacak makam Tan Malaka untuk dikebumikan di tanah kelahirannya.
Pencarian ini dilakukan mengingat status Ibrahim sebagai pucuk pimpinan adat di Kelarasan Bungo Setangkai yang membawahkan 142 niniak mamak atau penghulu/kepala kaum di wilayah tiga nagari dari Kecamatan Suliki dan Gunung Omeh di Kabupaten Lima Puluh Kota. Gelar sebagai Datuk Tan Malaka IV itu pula yang membuatnya sangat dihormati sebagai raja dari ratusan kepala kaum di kampungnya. "Karena kehabisan biaya dan metode pencarian, akhirnya pencarian itu dihentikan," kata Wakil Bupati Lima Puluh Kota Ferizal Ridwan. Ia menginisiasi pemulangan jasad Tan Malaka.
Kepergian Ibrahim untuk merantau meninggalkan tanah kelahiran membuat pucuk pimpinan Kelarasan Bungo Setangkai kosong. Demi kelangsungan kaum, para sesepuh adat mendelegasikan gelar Datuk Tan Malaka kepada keponakan ataupun kerabat Ibrahim dari garis keturunan ibu sesuai dengan adat Minang. Keputusan ini diambil lantaran sang Tan Malaka tak beristri atau berketurunan yang mewarisi gelar.
Tahun 2007 menjadi babak baru pencarian jejak Tan Malaka yang nyaris gelap. Harry A. Poeze, sejarawan asal Belanda yang menghabiskan 30 tahun lebih usianya untuk mencari jejak Tan Malaka, mengumumkan lokasi kematian sang pahlawan di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Tempatnya di pemakaman umum yang menjorok ke dasar lembah di tepian kampung menuju hutan.
Temuan Harry A. Poeze diyakini keluarga Tan Malaka. Dua tahun setelah penemuan itu diumumkan, sejumlah kerabat Tan Malaka yang dimotori Zulfikar Kamarudin serta relawan pencinta Tan Malaka melakukan uji deoxyribose-nucleic acid (DNA) di makam itu. Ahli forensik dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Djaja Surya Atmadja, menjadi ketua tim penggalian makam pada 12 September 2009.
Menurut Ferizal Ridwan, uji DNA mengalami kendala karena telah rusaknya sebagian besar jasad Tan Malaka. Dari penggalian itu, tim hanya bisa mengambil struktur gen dan tulang saja. Sedangkan struktur gigi sama sekali tak ditemukan. Ini membuat hasil penelitian tak lengkap. Dari 14 item yang disyaratkan, 9 item yang memenuhi kecocokan. "Karena sudah lebih dari 50 persen, kami meyakini itu benar jasad datuk kami," kata Ferizal Ridwan.
Titik terang inilah yang belakangan menguatkan keinginan keluarga dan masyarakat Kabupaten Lima Puluh Kota untuk membawa pulang sang Tan Malaka. Pemulangan jasad Tan Malaka ini didukung Yayasan Peduli Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, dan Tan Malaka Institute.
Pemulangan jasad ini memiliki arti penting bagi kelangsungan kaum di Kabupaten Lima Puluh Kota yang telah lama ditinggal pemimpinnya. Sesuai dengan ketentuan adat, penyerahan gelar Datuk Tan Malaka kepada penerusnya hanya bisa dilakukan melalui dua cara. Pertama, ketika Tan Malaka masih hidup diberikan kepada penerus dari garis keturunan ibu yang disepakati dewan adat. Kedua, ketika Datuk telah wafat, penyerahan gelar berlangsung di depan pusara. "Ini demi menjaga kelangsungan Datuk Tan Malaka," kata Hengki Novaro Arsil. Ia pemegang gelar Datuk Tan Malaka VII yang merupakan keponakan Ibrahim dari garis ibu.
Hengki, yang ditunjuk dewan adat untuk meneruskan gelar, berkewajiban memboyong pulang jasad leluhurnya. Dia berharap jasad itu bersanding dengan jasad leluhur lain di Pandam Gadang agar bisa diperlakukan dengan hormat. Sedangkan di Desa Selopanggung, makam Tan Malaka telantar di pemakaman desa tanpa pengakuan.
Kepala Dinas Sosial Kabupaten Kediri, Sugeng Waluyo, menyatakan tak mengakui makam itu karena hasil uji DNA tidak diumumkan. "Sebelum hasil DNA resmi diumumkan, kami melarang pemindahan makam dari Kediri," katanya.
Keluarga dan tokoh adat Lima Puluh Kota pun menempuh jalan kultural. Alih-alih memboyong jasad, mereka meminta izin mengambil segenggam tanah dari kuburan Tan Malaka. HARI TRI WASONO
Dari Suliki Berakhir di Selopanggung
Tan Malaka meninggalkan kampung halaman untuk merantau. Kepergian ini mengakibatkan kekosongan kursi Datuk Tan Malaka IV yang disandangnya. Dia merupakan pucuk pimpinan adat di Kelarasan Bungo Setangkai, yang membawahkan 142 niniak mamak atau penghulu/kepala kaum di wilayah tiga nagari dari Kecamatan Suliki dan Gunung Omeh di Kabupaten Lima Puluh Kota.
21 Februari 1949
Pemerintahan Sukarno mengumumkan kematian Tan Malaka. Penelusuran sejarawan Harry Poeze menyebutkan Tan Malaka dieksekusi Letnan Sukoco dan Letnan Sukaji Hendrotomo akibat beda pendapat dengan petinggi militer Jawa Timur.
1949
Keluarga dan tokoh adat Minang mencari jasad Tan Malaka, namun kandas.
2007
Harry A. Poeze menyatakan menemukan makam Tan Malaka di Selopanggung, Kediri.
12 September 2009
Pembongkaran makam di Selopanggung untuk uji DNA Tan Malaka.
September 2016
Wakil Bupati Lima Puluh Kota Ferizal Ridwan bersama aktivis Tan Malaka Institute mendatangi makam Tan Malaka dan berniat memindahkan jasadnya ke kampung halaman.
Desember 2016-Februari 2017
Pemerintah Kabupaten Lima Puluh Kota membentuk panitia penjemputan jasad Tan Malaka.
21 Februari 2017
Panitia penjemputan Kabupaten Lima Puluh Kota mengambil tanah kuburan sebagai simbol jasad Tan Malaka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo