Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Pemburu Rente Dalam Divestasi Freeport

6 Maret 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMANGAT pemerintah menguasai 51 persen saham PT Free¡©port Indonesia patut dihargai meski mengandung jebakan berbahaya. Alih-alih diambil alih negara, saham Freeport bisa jatuh ke tangan para pencari rente. Indonesia punya pengalaman pahit dalam divestasi PT Kaltim Prima Coal (KPC) dan PT Newmont Nusa Tenggara.

Ancaman serupa harus diantisipasi. Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Pandjaitan mengatakan perusahaan swasta nasional dimungkinkan membeli saham Free¡©port jika pemerintah tak punya dana. Pernyataan ini secara tersirat membuka peluang terulangnya kembali praktek pemburuan rente.

Dalam perkara KPC dan Newmont, kelompok usaha Bakrielah yang menguasai saham dua perusahaan tambang itu pada 2003 dan 2010. Rencana pemerintah melibatkan badan usaha daerah dalam pemilikan Newmont, misalnya, gagal justru karena Bakrie yang berada di belakang perusahaan daerah tersebut. Dalam kasus KPC, Bakrie membeli saham perusahaan batu bara itu langsung dari pemilik dengan harga lebih rendah dari harga awal. Belakangan, kedua perusahaan beralih kepemilikan dan sang "pengusaha swasta nasional" memperoleh keuntungan dari praktek jual-beli saham. Kita tidak ingin kedua kasus itu terulang dalam divestasi Freeport.

Sejauh ini Freeport-McMoRan-pengendali saham Freeport Indonesia di Amerika Serikat-hanya bersedia melepas total 30 persen saham karena mengacu kepada aturan tahun 2014 tentang kontrak karya. Pemerintah berkeras ingin menjadi pemilik mayoritas-setelah menguasai 9,36 persen saham Freeport-lewat perubahan kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).

Presiden Joko Widodo menerbitkan aturan baru itu pada pertengahan Januari lalu ketika izin Freeport mengekspor konsentrat telah habis. Lampu hijau ekspor konsentrat akan diberikan kembali jika Freeport setuju mekanisme IUPK yang mensyaratkan divestasi sekurang-kurangnya 51 persen saham dan membangun tempat pemurnian tambang (smelter). Jika kedua pihak bersikeras, kisruh ini akan diselesaikan di pengadilan arbitrase. Pemerintah menyatakan siap meladeni tantangan itu.

Konflik yang diselesaikan lewat arbitrase tentu tak keliru, meski membutuhkan perhitungan jeli dan kerja yang spartan. Sidang arbitrase akan menjadi sorotan. Dunia akan melihat komitmen pemerintah pada investor asing lewat kasus Freeport. Jika tak pandai-pandai bermanuver, citra pemerintah di mata dunia bisa rusak dan kepercayaan pebisnis kepada Indonesia akan melorot.

Pemerintah punya pengalaman menang di pengadilan ketika bersengketa dalam divestasi 17 persen saham Newmont pada 2009. Hakim menerima dalih pemerintah tentang pentingnya penguasaan saham Newmont untuk kemakmuran rakyat Indonesia-sebagaimana diatur dalam konstitusi. Pemerintah memang punya hak mengatur kontrak yang menitikberatkan kepentingan nasional dan manfaat bagi keuangan negara.

Dalih ini kembali bisa dipakai dalam arbitrase Freeport kelak. Tentu saja dengan syarat pemerintah konsisten bahwa divestasi Freeport benar-benar ditujukan untuk kemakmuran seluruh rakyat.

Persoalannya, divestasi itu membutuhkan modal yang tak kecil. Jika dinominalkan, nilai 32,28 persen saham Freeport setara dengan Rp 24,8 triliun-berdasarkan harga taksiran pemerintah. Pemerintah menyebut PT Inalum dan PT Aneka Tambang-dua perusahaan negara bidang pertambangan-bisa membayar kewajiban itu. Faktanya, nilai kedua perusahaan itu belum cukup untuk bisa mengajukan kredit sebesar nilai saham Freeport. Cara lain, pemerintah membentuk induk perusahaan dengan menggabungkan aset Inalum, Antam, PT Timah, dan PT Bukit Asam. Aset gabungan keempat perusahaan diperkirakan bernilai Rp 22,7 triliun-lebih dari cukup untuk mencari kredit sebesar Rp 24,8 triliun.

Cara lain yang bisa dipakai pemerintah adalah mengundang publik luas lewat instrumen reksa dana. Pelbagai perusahaan pengelola dana pensiun, misalnya, bisa dipersilakan terlibat. Ini memungkinkan pemerintah melindungi kepentingan nasional dari sergapan para pencari rente. Rakyat Indonesia punya kesempatan menikmati secara langsung pengelolaan sumber daya alam.

Sebagai pagar, pemerintah pun dapat menerapkan aturan pembatasan nilai investasi untuk individu dan instansi, memberi insentif untuk mendorong pengelola dana abadi masuk pasar ini, juga memberikan pembatasan terhadap penjualan saham kembali.

Dengan cara ini, rakyat Indonesia dapat menjadi pemilik mayoritas saham, sesuai dengan tujuan divestasi. Para pemilik saham ini sekaligus sebagai pengendali jika pemerintah tak becus mengelolanya. Sudah saatnya manfaat pengelolaan sumber daya alam dirasakan langsung oleh orang kebanyakan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus