Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

30 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Protes Yayasan Jantung Indonesia

Kami, Keluarga Besar Yayasan Jantung Indonesia, ingin menyampaikan protes keras dan kekecewaan mendalam kepada Panitia Hari AIDS Sedunia, yang terdiri atas Yayasan AIDS Indonesia serta Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Adapun kepanitiaan itu diketuai Menteri Tenaga Kerja Muhaimin Iskandar.

Kekecewaan kami bermula dari penyelenggaraan peringatan ulang tahun ke-30 Yayasan Jantung Indonesia, yang kebetulan bersamaan dengan perayaan Hari AIDS Sedunia, pada 27 November 2011. Sejak jauh hari kami sudah mengajukan izin kepada Wali Kota Jakarta Pusat dan pengelola Monumen Nasional (Monas) untuk meminjam lokasi di Silang Monas Barat dan Silang Monas Selatan. Peringatan ulang tahun Yayasan Jantung Indonesia sendiri akan dihadiri lebih dari 7.000 peserta.

Tapi apa mau dikata. Dua hari sebelum penyelenggaraan, ketika panitia tengah bersiap mendirikan tenda dan peralatan lain, lokasi kami diserobot begitu saja oleh Panitia Hari AIDS Sedunia. Mereka mendahului mendirikan tenda dan perlengkapan lain serta menolak pindah dari Silang Monas Barat. Dengan arogan, Panitia Hari AIDS meminta kami pindah ke lokasi lain karena acara mereka akan dihadiri Wakil Presiden Boediono.

Surat izin dan kelengkapan administrasi lain yang kami miliki untuk menggunakan area itu dianggap angin lalu. Bahkan upaya Wali Kota Jakarta Pusat, Wakil Wali Kota, dan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Jakarta Pusat untuk menjelaskan bahwa lokasi itu sudah dipinjam Yayasan Jantung Indonesia tak digubris.

Karena waktu persiapan yang semakin mepet, kami terpaksa mengalah dan mengadakan acara kami di lokasi lain. Tapi pengalaman ini membuat kami amat kecewa. Kami adalah organisasi swadaya masyarakat yang sudah tiga dekade bekerja menyehatkan bangsa. Tak sepantasnya instansi pemerintah seperti Kementerian Tenaga Kerja dan lembaga swadaya masyarakat seperti Yayasan AIDS Indonesia berlaku macam itu. Kami harap insiden memalukan ini tak menimpa kelompok masyarakat lain.

dr Dewi Andang Joesoef
Laksmiati Hanafiah
Yayasan Jantung Indonesia


Keluhan Mantan Karyawan Texmaco

SAYA adalah mantan karyawan di perusahaan tekstil PT Texmaco. Saya bekerja di sana sejak 1997 sampai perusahaan itu tutup pada 2003. Ketika perusahaan ditutup, semua karyawan dipecat tanpa penjelasan yang memadai. Besaran hak pesangon kami lalu dihitung berdasarkan aturan Kementerian Tenaga Kerja.

Sayangnya, pesangon itu tidak dibayarkan penuh, melainkan dicicil. Jumlahnya Rp 300-500 ribu per bulan. Pembayaran cicilan pesangon hanya lancar setahun. Setelah 2004, pembayaran pesangon kami mulai tersendat. Tidak pernah ada kepastian kapan seluruh pesangon kami akan dilunasi. Ini jelas amat merugikan mantan staf Texmaco seperti saya. Sekarang pun, meski sudah lewat 8 tahun, tidak ada bunga atau kompensasi atas keterlambatan pembayaran pesangon kami.

Saya tidak tahu berapa sisa pesangon saya yang belum dibayarkan, karena tidak pernah ada penjelasan dari manajemen PT Texmaco ataupun staf yang diminta mengurus pembayaran pesangon untuk mantan karyawan perusahaan itu. Kondisi yang saya hadapi ini tentu ironis dengan kabar bahwa saat ini para mantan pemilik Texmaco sudah bangkit dari krisis keuangan dan membangun pabrik baru.

Rendro Sucahyo
Jakarta


Sulit Membuka Apotek di Yogyakarta

Saya sudah lama berencana membuka sebuah apotek di Yogyakarta. Sayangnya, rencana itu tak pernah terwujud, terhambat oleh tidak adanya rekomendasi dari Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). Rekomendasi IAI memang amat sulit diperoleh. Proses pengurusannya berlarut-larut karena sering muncul berbagai persyaratan yang tak masuk akal, bahkan kadang tak tertulis.

Misalnya ada syarat rekomendasi hanya diberikan bagi apoteker yang sudah punya SP. Mereka yang belum memiliki STRA, karena masih dalam proses di Kementerian Kesehatan, tidak akan mendapat rekomendasi. Ini aneh. Setahu saya, sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 889/Menkes/Per/V/2011, Pasal 34 ayat 1, jelas disebutkan bahwa apoteker yang memiliki SP dianggap telah memiliki STRA. Tapi aturan itu diabaikan begitu saja di Yogyakarta.

Keharusan memiliki STRA sebelum mendapat rekomendasi IAI untuk membuka apotek membuat aplikasi kami terkatung-katung. Ini tentu saja sama dengan membuat kami tidak bisa bekerja dan tidak bisa memperoleh penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Ada persyaratan lain yang tak kalah berat, yakni kami harus melampirkan bukti tertulis bahwa sejawat apoteker tidak keberatan dengan rencana pendirian apotek kami. Sebagai sesama pelaku usaha, tidak mudah bagi mereka yang sudah lebih dulu menjalani profesi ini untuk menyatakan tidak keberatan terhadap kehadiran kompetitor baru. Ini syarat yang sungguh sulit dipenuhi.

Yang lebih gawat, sering rekomendasi yang sudah susah payah diperoleh bisa dicabut begitu saja tanpa klarifikasi. Saya prihatin menyaksikan bagaimana perilaku organisasi profesi ini terhadap rekan sejawatnya yang ingin bekerja mengabdikan diri kepada masyarakat. Seharusnya organisasi profesi apoteker tidak seperti itu.

Nama dan alamat ada pada Redaksi


Kecewa Dealer Mobil

SAYA pemilik mobil Toyota Innova diesel tahun 2005. Pada Oktober 2011, saya berencana menjual mobil itu kepada seorang kawan. Kebetulan cicilan untuk kredit saya ketika membeli mobil itu di perusahaan leasing Darmatama Megah Finance, cabang Cirebon, Jawa Barat, belum lunas. Saya pun menghubungi pihak Darmatama untuk melunasi sisa cicilan.

Alangkah kagetnya saya ketika petugas Darmatama memberi tahu saya bahwa akibat keterlambatan pembayaran cicilan, saya harus membayar denda nyaris Rp 2 juta per bulan. Padahal cicilan untuk Innova itu rata-rata hanya Rp 5,3 juta per bulan. Sisa cicilan saya pun membengkak.

Saya dan calon pembeli mobil saya sepakat mencari jalan tengah. Si pembeli kemudian mengaku bisa mengurus keringanan denda di Darmatama. Awal Januari lalu, tanpa setahu saya, pembeli mobil saya langsung datang ke Darmatama untuk melunasi utang cicilan kredit mobil saya. Yang membuat saya kecewa, dealer Darmatama langsung menyerahkan buku pemilik kendaraan bermotor (BPKB) mobil itu kepada si pembeli.

Saya sungguh kecewa terhadap pelayanan dealer mobil ini. Tanpa setahu saya, dokumen kepemilikan mobil saya berpindah tangan. Saya berharap lain kali dealer mobil bisa bertindak lebih hati-hati.

Holid Azhari
Perum Griya Caraka Blok C2
Nomor 43, Kalikoa
Kedawung, Cirebon

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus