Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

27 September 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jakarta Krisis Tanah dan Air

AMBLESNYA Jalan R.E. Martadinata, Jakarta Utara, merupakan tanda awal bencana alam di masa mendatang. Tragedi itu mudah-mudahan tidak terjadi tidak lepas dari dampak krisis penurunan permukaan tanah dan abrasi air laut yang berlebihan. Amburadulnya konsep pembangunan kawasan pantai di Jakarta Utara tanpa diimbangi analisis mengenai dampak lingkungan yang memadai, diperparah lagi oleh banyaknya sumur air tanah, mempercepat penurunan permukaan tanah dari tahun ke tahun.

Hasil penelitian menunjukkan sudah terjadi penurunan permukaan air tanah (land subsidence) hingga 40 meter. Maka, dalam beberapa tahun ke depan, Jakarta dikhawatirkan mengalami krisis air tanah. Selain itu, faktor intrusi air laut ke wilayah daratan akan membahayakan kondisi air tanah di Jakarta karena tidak layak minum. Apabila krisis air bersih benar-benar terjadi, warga kelas menengah ke bawah akan menjadi korban pertama.

Bukan hal aneh apabila Jakarta dalam kurun 20 tahun ke depan akan teng­gelam. Selain itu, terjadi banjir di musim hujan akibat rendahnya permukaan tanah dan krisis air bersih di mu­sim kemarau. Maka kepedulian terhadap tanah Jakarta adalah tanggung jawab semua pihak. Perlu dibenahi juga konsep pembangunan kawasan pantai bahwa selama pengambilan air tanah tak terkendali, laju penurunan permukaan tanah Jakarta kian mengkhawatirkan.

Lee Cheng Swee
Jalan Bungur Raya, Jakarta Pusat [email protected]


Penjelasan Nestlé

PADA majalah Tempo edisi 6-12 September 2010, halaman 71, terdapat artikel berjudul ”Menangkal Rayuan Susu Formula”. Dalam artikel itu terdapat kalimat sebagai berikut: ”Sejarah keberadaan susu formula bermula pada 1867. Saat itu Henri Nestlé berniat menolong bayi agar lebih sehat.”

Kami perlu menyampaikan klarifikasi. Sebenarnya yang berhasil diracik Henri Nestlé seorang pengusaha, ahli kimia, dan juga wiraswasta—adalah makanan bayi berupa bubur (sereal) berbasis susu bukan susu formula bayi yang diberi nama Farine Lactée. Pada September 1867, makanan sereal itu mampu menyelamatkan seorang bayi yang lahir prematur karena ibu­nya sakit keras.

Berkat sereal itu, sang bayi tumbuh dari kondisi lemah menjadi kuat dan mampu berdiri tegak di tempat tidurnya pada usia tujuh bulan. Kisah sukses ini menyebar dari mulut ke mulut sehingga sereal tersebut dicari orang walaupun tidak diiklankan.

Nestlé sejalan dengan artikel Tempo tersebut. Kami selalu mematuhi dan mendukung Kode Etik Internasional tentang Pemasaran Pengganti Air Susu Ibu (ASI) ataupun resolusi World Health Assembly terkait, yang bertujuan melindungi dan mempromosikan pemberian ASI, serta memastikan penggunaan pengganti ASI secara benar dan hanya bila memang dibutuhkan.

BRATA T. HARDJOSUBROTO
Head of Public Relations
PT Nestlé Indonesia


Peraturan Bersama Masih Diperlukan

INDONESIA masih memerlukan instrumen hukum untuk menciptakan kerukunan antarumat beragama. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9/2006 dan Nomor 8/2006 sebagai revisi Surat Keputusan Bersama Nomor 1/1969 tentang pembangunan rumah ibadah—adalah alat untuk menghindari konflik antarumat beragama.

Revisi itu bertujuan memberdayakan masyarakat dalam memelihara kerukunan beragama. Sebab, aturan ini menjadi pedoman gubernur, bupati, camat, dan kepala desa dalam pemeliharaan kerukunan beragama dan peng­aturan rumah ibadah. Menurut saya, masalah akan semakin rumit jika tak ada pengaturan tentang rumah ibadah. Hanya pelaksanaan di lapangan yang kerap menjadi masalah.

Toleransi beragama di Tanah Air akhir-akhir ini seakan mencapai titik nadir setelah terjadinya pro-kontra seputar Ahmadiyah ataupun keluhan umat agama minoritas yang merasa dipersulit untuk mendirikan rumah ibadah. Karena itu, kemungkinan peraturan dua menteri tersebut direvisi perlu direnungkan lebih dalam.

REZA SANUBARI
Jalan Bukit Duri Selatan Nomor 21
Tebet, Jakarta Selatan


Terjerat Kartu Kredit Bank Danamon

PADA Agustus 2008, saya ditawari kartu kredit oleh seorang marketing freelancer kantor Bank Danamon Cabang Bandar Lampung. Karena tertarik pada logo gambar klub sepak bola ternama di Liga Inggris dan bebas iur­an tahunan, saya terima tawaran itu. Bahkan saya membuatkan kartu tambahan untuk istri saya.

Setahun berjalan, semua pembayaran tagihan kartu kredit tidak pernah ada masalah. Saya hampir tidak pernah memanfaatkan promo cicilan dan lain-lain. Semuanya dibayar melalui auto debit rekening bank. Justru masalah mulai muncul dari pihak Danamon Card. Sebelum tiga bulan jatuh tempo periode satu tahun pemakaian kartu, saya menerima lembar tagihan yang mencantumkan membership fee untuk empat buah kartu masing-masing Rp 500 ribu.

Sebelumnya, tidak ada penjelasan apa pun, termasuk konfirmasi kartu akan diperpanjang. Apakah bank bisa dengan sepihak dan sesukanya menetapkan kebijakan seperti itu tanpa menghormati hak-hak seorang nasabah? Un­tuk menyampaikan keberatan, saya juga harus menyisihkan banyak waktu karena telepon di call center sangat sulit tersambung untuk berkomunikasi.

Pada akhirnya saya bisa berbicara dengan bagian penutupan kartu, yakni Ibu Nurli. Setelah melewati negosiasi panjang, disepakati saya hanya menutup dua kartu tambahan atas nama istri saya. Tapi saya tetap melanjutkan member dua kartu utama saya sendiri dengan catatan mendebit rekening tagihan nomor seluler saya.

Sekitar awal April 2010, sebelum kartu jatuh tempo untuk tahun kedua, saya berinisiatif menutup kartu yang bernomor 5522xxxxxxxx0001 dan 5523xxxxxxxx8007 setelah melunasi seluruh tagihan disertai pengembalian kartu. Proses ini saya jalani sesuai dengan saran dari staf pelayanan pelanggan call center yang saya hubungi beberapa kali dan diterima oleh Dhea, Bella, Ajeng, dan Bapaka Upi.

Tapi anehnya, lembar tagihan tetap saja dikirim dari Mei sampai surat pembaca ini ditulis dan masih tertulis iuran fee Rp 1 juta. Bahkan saya ditagih dengan cara diteror dengan kata-kata kasar dan tak sopan via telepon. Belum cukup penderitaan ini, terakhir saya mendapat informasi bahwa nama saya ada dalam catatan kolektibilitas Bank Indonesia tahap tiga. Semudah itukah Bank Indonesia menerima laporan sepihak dari sebuah bank tanpa menyelidiki dan mempelajari kronologi yang sebenarnya? Mohon perhatian.

ANTOMES
Kedamaian Indah Blok DD 12A, Kelurahan Kedamaian
Kota Bandar Lampung


Tanggapan Bank Danamon

SEHUBUNGAN dengan surat pembaca Bapak Antomes kepada majalah Tempo, bersama ini kami sampaikan bahwa kami telah menghubungi Bapak Antomes secara langsung untuk memberikan klarifikasi terkait dengan kartu kredit Danamon milik beliau.

Bapak Antomes dapat menerima pen­jelasan yang kami berikan. Terima kasih.

RITA ROMPAS
Customer Service Management Head
Danamon Card Center
PT Bank Danamon Indonesia Tbk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus