Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanggapan Sabam Siagian
TEMPO edisi khusus 100 Tahun Sutan Sjahrir sungguh merupakan prestasi jurnalistik yang mengagumkan. Edisi ini pasti disimpan para guru sejarah Indonesia untuk dimanfaatkan sebagai sumber bahan pelajaran yang up to date. Namun, ada beberapa hal yang mengganggu.
Pada halaman 33 disebut Air Catalina. Mestinya Catalina. Ini jenis pesawat amfibi produksi Amerika Serikat. Hatta dan Sjahrir dijemput pesawat ini pada akhir Januari 1942 dari Banda Neira. Halaman 34 menyebut Sastra seorang komunis. Sebutan ini tak akurat. Dia teman seperjuangan Sjahrir dan Hatta dalam kegiatan Pendidikan Nasional Indonesia di awal dekade 1930-an. Halaman 35 tertulis pada Juli 1944 Sjahrir minta Tan Malaka yang mengucil di Banten Selatan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, tapi tokoh komunis itu juga menolak. Apakah info itu sudah di-double check?
Halaman 44 keterangan foto kurang lengkap. Orang yang duduk di samping Sjahrir itu adalah Ir Schermerhorn (ketua delegasi Belanda dalam perundingan Linggarjati) di Istana Rijswijk, Jakarta, pada 1947. Bagian lain tertulis: pukul delapan pagi, Kamis, 16 Agustus 1945, dwitunggal itu tiba di Jakarta (dari Rengasdengklok). Waktunya tidak akurat, mereka tiba pada 16 Agustus malam hari.
Rupanya Tempo telah mengikuti ma-zhab sejarawan yang berkonklusi bahwa sejumlah pejabat militer Jepang secara aktif ikut menyusun teks proklamasi. Banyak alasan untuk meragukan hal tersebut.
Pada halaman 53 disebut: Sjahrir sebagai bekas aktivis gerakan sosialis di Belanda ternyata telah mengenal Schermerhorn yang berasal dari Partai Buruh. Keterangan ini tidak akurat. Mereka belum saling kenal. Ketika Sjahrir berada di negeri Belanda awal dekade 1930-an, Willem Schermerhorn belum aktif berpolitik.
Halaman 59:...mosi tidak percaya akhirnya tetap menjatuhkan Sjahrir pada 2 Oktober 1946. Amir naik menjadi perdana menteri dan seterusnya. Keterangan ini tidak akurat. Sjahrir mengembalikan mandatnya sebagai kepala pemerintahan/perdana menteri kepada Presiden Soekarno pada 27 Juni 1947. Setelah dikritik habis-habisan oleh rekan-rekan separtainya (Tan Ling Djie, Abdul Madjid, juga Amir Sjarifoeddin) karena dianggap memberikan konsesi berlebihan kepada Belanda. Amir Sjarifoeddin ditugaskan Presiden Soekarno membentuk kabinet. Kabinet Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin diumumkan pada 3 Juli 1947.
Pada halaman 60 disebut markas PBB di New York, padahal masih di Lake Success. Halaman 62 tertulis: jumlah suara itu hanya cukup mengantar lima kader PSI menuju Bandung, tempat wakil rakyat berkantor. Ada kekhilafan di sini dengan pemilihan anggota Konstituante, 15 Desember 1955, yang memang berkantor di Bandung. Tapi Dewan Perwakilan Rakyat tetap di Jakarta. Halaman 71 menyebut Soekarno dibuang ke Palembang, padahal Bengkulu. Palembang hanya persinggahan dari perjalanan Bengkulu-Bukittinggi-Jawa.
Ucapan Sjahrir kepada Soekarno dalam bahasa Belanda: Hous je mond (tutup mulutmu), mestinya Houd je mond. Tempo juga menyebut paru kiri Jenderal Sudirman sudah mati ketika disambut Sjahrir di Jakarta pada 1946. Paru kiri Sudirman tak berfungsi pada 1948.
Koreksi tersebut tidaklah prinsipiil sifatnya, kecuali di halaman 41 tentang partisipasi para pejabat militer Jepang dalam perumusan naskah proklamasi. Koreksi ini tidak mengurangi prestasi jurnalistik Tempo yang dengan berhasil menerbitkan edisi Sutan Sjahrir yang lengkap dan menarik.
SABAM SIAGIAN
Redaktur Senior The Jakarta Post
Terima kasih atas tanggapan Anda. Soal pertemuan Tan dan Sjahrir di Banten tertuang dalam dua buku: karangan A.B. Loebis dan biografi lengkap Tan Malaka yang disusun sejarawan Belanda, Harry A. Poeze.
Imbauan untuk KPU
SAYA telah mengirim imbauan dan saran kepada Bapak Abdul Hafiz Anshary, Ketua Komisi Pemilihan Umum, soal pendaftaran pemilih. Dalam stelsel aktif sekarang, banyak pemilih terlambat menyadari bahwa mereka belum terdaftar. Namun waktu mendaftar, ternyata mereka sudah tidak diterima. Tapi menurut laporan, ada yang bisa didaftar, yaitu kalau ada orang kuat di belakangnya. Saya mengimbau KPU agar ada kebijakan nasional untuk memberi kesempatan mendaftar bagi yang berhak sampai batas ketika sedekat mungkin dengan hari pemilihan pada 9 April 2009.
JAKOB TOBING
Anggota KPU 1999-2002
Mari Pantau Pemilu
SAYA sudah lama khawatir dengan pemilihan umum. Kekhawatiran saya itu karena: banyaknya partai yang menimbulkan semacam kebingungan di kalangan rakyat jelata; sikap apatis dan fenomena golput semakin meluas; pengalaman dan fakta pilkada; perilaku para wakil rakyat, pembesar parpol dan para petinggi negara yang jauh lebih mementingkan bagaimana agar bisa menang dan atau terpilih kembali; ada kecenderungan di sebagian kalangan rakyat untuk anarkis, lepas dari apa pun sebabnya; berita tentang kesiapan KPU dalam penyelenggaraan Pemilu 2009.
Karena itu saya mengajak seluruh rakyat Indonesia mengawasi dan menyukseskan pemilu yang bebas, jujur, dan adil.
K. BUKARY
Yogyakarta
Soal Dana Partai
PARTAI-partai akhirnya berguguran karena tak menyertakan daftar penyumbang. Hanya 34 yang menyerahkan aliran dana, itu pun tak jelas siapa yang menyumbang. Tapi ini juga karena kebijakan komisi pemilihan di daerah yang tak seragam. Saya kira aturan harus diperjelas dan dipertegas. Ini di luar transparansi partai sendiri, dan di luar upaya partai mengelabui dan main akal-akalan dengan pengawas pemilihan. Ketegasan sikap ini perlu agar pemilihan umum tak terganjal dan sesuai dengan rencana kita semua.
GERRY SETIAWAN
Condet, Jakarta Timur
Perlunya Terobosan bagi Partai Politik
SAYA bukan simpatisan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tapi salut atas kreativitas partai ini yang sudah membuat kontrak politik. Ketika partai lain masih sibuk menebar janji dan harapan, PDI Perjuangan membuat kon-trak politik dengan target dan sanksi yang terukur. Jika target tidak tercapai, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari PDI Perjuangan dilarang mencalonkan diri kembali pada Pemilu 2014. Kontrak politik itu ditandatangani oleh ratusan calon legislatif di depan ketua umumnya.
Namun, kepada PDI Perjuangan langkah yang baru ditempuh ini jangan hanya berhenti sebagai jargon. Tapi, harus bisa diwujudkan secara nyata, sehingga benar-benar bisa dirasakan langsung oleh masyarakat. PDI Perjuangan ke depan harus bisa membuktikan realisasi dari kontrak politiknya. Dan langkah tersebut tentunya ditunggu-tunggu oleh masyarakat.
Kreativitas PDI Perjuangan ini bisa ditiru oleh parpol lain. Setidaknya dengan terobosan yang cerdas dan positif, partai politik tidak perlu menggunakan money politics atau intimidasi dan mobilisasi represif untuk menarik pemilih dalam pemilu.
T. DAUD YUSUF
Tebet, Jakarta Selatan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo