Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

25 Agustus 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salut Edisi Kemerdekaan

Membaca Tempo edisi khusus Hari Kemerdekaan tentang Tan Malaka bagi saya seperti melahap semangkuk kolak pada saat berbuka puasa. Edisi itu menya­jikan artikel-artikel yang lengkap, informatif. Dengan pemaparan yang baik dan menarik, edisi ini mampu mengisi gap dalam hal sejarah Indonesia yang selama ini kabur atau bahkan tidak ada dalam buku-buku pelajaran di sekolah.

Edisi ini bagi saya telah menjadi semangkuk kolak yang memuaskan rasa haus dan lapar akan pengetahuan sejarah Indonesia. Edisi ini (dan ulasan-ulasan lain sejenis) sangat laik menjadi referensi bagi para pendidik (khususnya guru sejarah) untuk memperkaya pengetahuan murid, menumbuhkan minat pada sejarah nasional Indonesia, dan yang paling hebat adalah untuk menumbuhkan kecintaan mereka terhadap bangsanya sendiri.

Saya bukan pelanggan Tempo, tapi pem­baca setia Tempo. Saya meminjam dari kan­­tor tempat saya mengajar bahasa Indo­nesia untuk orang asing, yaitu Realia, yang berada di Yogyakarta. Tempo edisi khu­sus Hari Kemerdekaan telah sangat me­­nyenangkan hati saya. Saking senangnya, saya tidak bisa menahan diri untuk tidak bercerita kepada murid-murid saya—orang asing—tentang Tan Malaka.

Salut untuk Tempo. Teruskan perjuang­an hebat untuk mendidik anak bangsa ini!

Sitta Zumala Adham
Yogyakarta
Kami terharu dengan cerita Anda. Terima kasih. — Redaksi


Koreksi Keluarga Kolonel Soerachmad

KAMI minta Tempo meluruskan ihwal Kolonel Soerachmad dalam edisi khusus kemerdekaan tentang Tan Malaka. Tidak benar Letnan Kolonel Soerachmad diberhentikan Wakil Presiden Mohammad Hatta karena peristiwa dibunuhnya Tan Malaka oleh pasukan Brigade Soe­rachmad. Soerachmad mengundurkan diri atau pensiun atas permintaannya sendiri. Ini sesuai dengan Surat Keputus­an Presiden Republik Indonesia Serikat yang diteken Hatta. Tan Malaka pernah memproklamasikan Negara Republik Rakyat Indonesia setelah Soekarno-Hatta ditawan Belanda di Yogyakarta, 19 Desember 1948. Tan Malaka lalu mengangkat dirinya sendiri sebagai presiden. Ini tindakan berbahaya dan pengkhia­natan terhadap Republik. Pengangkatannya sebagai pahlawan nasional mesti dica­but. Brigade Soerachmad lalu dengan cepat menumpasnya.

IR SOEJOEDI SOERACHMAD
Kebon Jeruk, Jakarta Barat

Terima kasih atas koreksi Anda. Me­ngenai status Tan Malaka, biarlah sejarah dan para sejarawan yang meng­ujinya. — Redaksi


Koreksi Direktorat Pajak

ADA narasi yang perlu diluruskan dalam wawancara Direktur Jenderal Pajak yang dimuat di Tempo edisi 18-24 Agustus 2008. Pada halaman 101 tertulis, ”Tiga dari enam perusahaan penunggak royalti ternyata juga menunggak pajak penjualan Rp 2,5 triliun dan kurun 2004-2006.” Kalimat tersebut terkesan keluar dari Direktur Jenderal Pajak.

Jika yang dimaksud Tempo adalah tunggakan pajak yang disebabkan oleh koreksi pembayaran pajak terhadap beberapa perusahaan batu bara sebesar Rp 2,5 triliun, bisa dimengerti. Namun, bila dihubungkan dengan pajak penjualan, kalimat itu kurang tepat karena tidak ada hubungannya dengan pajak penjualan.

DJOKO SLAMET SURJOPUTRO
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat

Maksud kalimat itu koreksi pembayaran. Terima kasih atas penjelasan Anda. — Redaksi


Tanggung Jawab Moral Tempo

Majalah Tempo dalam beberapa­ edisinya menampilkan rubrik Inforial. Menurut pemahaman saya, rubrik ini adalah rubrik iklan, ruangannya dise­dia­kan bagi pihak yang memerlukan pu­blikasi dengan cara membayar. Yang agak mengusik saya adalah ada­nya beberapa lembaga pemerintah, seperti Kantor Menteri Pemuda dan Olahraga­ serta Kementerian Komunikasi dan ­In­formatika, yang memanfaatkan rubrik­ ini sebagai sarana hubungan masya­rakat.

Sampai tingkat tertentu, hal ini tidak perlu dipermasalahkan. Saya tahu bahwa lembaga pemerintah mempunyai anggaran hubungan masyarakat. Saya duga biaya untuk keperluan ini diambil dari anggaran tersebut. Namun, dalam beberapa edisi, rubrik ini tak diguna­kan untuk memberitakan aktivitas lembaga, tapi cenderung memberitakan pejabat di instansi tersebut. Beberapa malah secara vulgar memuji-muji pejabat tersebut.

Perlu kita ingat bahwa menteri adalah jabatan politik. Seorang menteri hampir identik dengan politikus. Mengguna­kan uang negara, dalam hal ini anggaran kementerian, untuk keperluan kampanye politik pribadi seorang menteri rasa­nya sangat tidak wajar dalam semangat membangun pemerintah yang bersih.

Hal ini boleh jadi dianggap wilayah abu-abu, karena memang tidak ada batasan yang jelas antara iklan milik lembaga dan iklan milik pejabat. Tapi, seba­gai media besar, saya yakin awak Tempo lebih tahu mana yang masuk kategori abu-abu, mana yang hitam. Mengingat gencarnya Tempo memberitakan kasus-kasus korupsi, saya yakin Tempo pu­nya komitmen dalam mengu­sung tema antikorupsi. Ja­ngan sampai komitmen itu ternoda demi mengejar target pendapatan iklan.

Hasanudin Abdurakhman
Jakarta


Alergi Sadap Anggota Dewan

Hasil penyadapan pembicaraan terdakwa kasus korupsi dengan berbagai pihak terkait kini menjadi barang bukti krusial di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta. Ini tentu hasil kerja keras Komisi Pemberantasan Korupsi yang patut diapresiasi.

Namun, seperti ditulis majalah Tempo edisi lalu, tertangkapnya beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam kasus suap dan gratifikasi tampaknya membuat gelisah anggota parlemen lainnya. Anggota Dewan kini mengaku merasa tidak bebas alias waswas jika membicarakan nilai nominal tertentu melalui telepon.

Polemik ini menjadi isu hangat di Dewan sampai-sampai muncul wacana un­tuk membatasi ruang gerak Komisi de­ngan cara legal lewat tata cara penya­dapan hingga keabsahan hasil penya­-dap­an suara sebagai barang bukti dalam persidangan. Dewan menyarankan agar Komisi berfokus mencegah saja.

Pertanyaannya, mengapa anggota Dewan merasa gelisah? Apakah semua anggota Dewan merasa dicurigai hingga gelisah seperti itu? Atau merasa korupsi sehingga gelisah? C’mon, anggota Dewan tidak perlu merasa tidak nyaman berbicara di telepon jika hal-hal yang dibicarakannya tidak melanggar peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

Manik Borneo
Pontianak, Kalimantan Barat


Kecewa terhadap Presiden

SAYA kecewa terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang tidak berani mencopot Menteri Paskah Suzetta dan M.S. Kaban. Alasannya, keduanya belum jadi terdakwa di pengadilan. Padahal, dalam sidang di pengadilan korupsi, Hamka Yandhu telah membeberkan alir­an dana Bank Indonesia Rp 100 miliar, yang antara lain telah dibagikan kepada 52 anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004.

Dalam hubungan ini, saya teringat apa yang pernah dikatakan oleh Bung Hatta bahwa banyak pemimpin yang pandai tapi sedikit yang punya karakter dan tanggung jawab moral untuk kepenting­an rakyat. Pemimpin hanya bertindak untuk kepentingan sesaat, pribadi, dan jabatannya.

H. Slamat S.M.
Rajabasa, Bandar Lampung


Membunuh Perusahaan Asuransi

Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Usaha Asuransi telah terbit. Peraturan tersebut mewajibkan peningkatan mo­dal setor dan modal sendiri Rp 40 miliar pada akhir 2008, Rp 70 miliar pada 2009, dan Rp 100 miliar pada 2010.

Hal ini sangat memberatkan dan membahayakan industri asuransi nasional.­ Lebih dari 60 perusahaan asuransi skala kecil dan menengah yang mayoritas perusahaan nasional terancam ditutup, sekitar 10 ribu karyawan terpaksa dipecat, 8.000 agen asuransi kehilangan pendapatan, dan yang lebih mengkhawatirkan hak hampir 2 juta nasabah (tertanggung) asuransi terancam dirugikan.

Saya heran kenapa peraturan peme­rintah tersebut dapat diterbitkan. Ini bisa menjadikan asuransi seperti bank kita yang dikuasai asing. Upaya pemerintah mengembangkan usaha kecil menengah pun bisa gagal. Pelaku usaha asuransi nasional pernah mengajukan konsep Arsitektur Asuransi Indonesia yang ideal dan sesuai dengan kebutuhan industri asuransi. Namun Badan Pengawas Pasar Modal sama sekali tidak memperhatikan usul tersebut, malah meminta masukan dari pihak asing dan segelintir pengamat asuransi, sehingga sekarang malah ke­luar peraturan ini.

ALFIAN
a.n. Masyarakat Asuransi Indonesia


Jeritan Hati Warakawuri

SAYA janda seorang purnawirawan TNI Angkata Udara. Suami saya mening­gal pada 1999. Saya tinggal di Perumahan Dwikora Cilangkap, Cimanggis, Depok. Kami menerima surat dari Markas Besar TNI agar mengosongkan rumah kami dengan batas 21 Agustus 2008. Kami sudah menempati rumah ini lebih dari 46 tahun.

Selama kami tinggal, sudah banyak­ perbaikan yang kami lakukan agar rumah kami layak huni. Ini butuh biaya banyak, kadang dengan berutang. Listrik, air, dan pajak juga kami yang membayar atas nama kami sendiri. Termasuk juga pungutan yang diambil untuk keperluan perbaikan sarana dan prasarana perumahan, semua itu dibiayai oleh swadaya masyarakat sendiri.

Kami sedih karena setelah lebih dari 45 tahun kami tinggal, merawat dan menjaga rumah ini, sekarang kami dibuang. Perjuangan orang tua kami seolah tak ada nilainya. Karena itu, saya dan semua warga perumahan ini menolak pindah karena kami punya hak atas rumah ini.

Hj Sri Andriastuti
Cimanggis, Bogor

Redaksi menerima sepuluh surat senada dari warga Perumahan Dwikora Cilangkap.


Depok Makin Semrawut

DEPOK makin pesat tanpa diimbangi­ perencanaan tata kota. Pusat belanja dan kantor bertumpuk di Margonda Raya. Akibatnya, macet total di kawasan ini tak kenal jam, tak kenal hari. Entah kenapa, pelebaran jalan hingga simpang Universitas Indonesia malah terhenti.

Polisi sudah bekerja keras mengatur lalu lintas. Kita perlu memberikan penghargaan kepada mereka. Apa daya, jumlah kendaraan yang lebih banyak daripada daya tampung jalan membuat Pak Polisi tak bisa berbuat banyak. Belum lagi angkutan umum yang parkir sembarangan. Pengendara sepeda motor yang main terobos membuat kesemrawutan Depok kian lengkap.

Pemerintah Kota Depok semestinya tanggap. Pelebaran jalan adalah solusi jangka pendek. Pembangunan jembatan penyeberangan di depan Margo City dan Detos juga bisa mengurangi kemacetan. Selain itu, stop pemberian izin pembanguna­n mal!

SAMESTO NITISASTRO
Depok, Jawa Barat


Tuntaskan Pengakuan Agus Condro

Pengakuan Agus Condro patut­ segera ditindaklanjuti secara hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal ini guna meminimalkan politisasi atas kasus tersebut oleh kalangan Dewan Perwakilan Rakyat sehingga isu ini menjadi tidak proporsional. Dewan hendaknya menyerahkan kasus Agus Condro sepenuhnya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi guna disidik secara hukum serta menahan diri untuk tidak mengomentari kasus tersebut sebelum upaya pengusutan Komisi selesai.

Ferdiansyah Putra
Depok, Jawa Barat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus