Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanggapan BPK
MENANGGAPI Opini Tempo edisi 11-17 Februari 2008 berjudul ”Mengapa ke Polisi atau Mahkamah Konstitusi”, berikut ini dasar pemikiran judicial review atas Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK):
- Pasal 34 ayat 2a huruf b UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) ini melecehkan kewenangan konstitusional BPK yang diatur UUD 1945, tidak sejalan dengan paket tiga UU di bidang keuangan negara yang diprakarsai Departemen Keuangan, dan bertentangan dengan UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK.
- Agar BPK dapat memeriksa kinerja administrasi pajak dan ikut mendorong perbaikannya, seperti meningkatkan peringkat Surat Utang Negara.
- Pada 2004, ketika BPK melakukan pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah, termasuk pemeriksaan terhadap penerimaan pajak, BPK mengalami hambatan. BPK sudah secara resmi mengusulkan perubahan pasal 34 ayat 2a yang menjadi hambatan pemeriksaan BPK, karena saat itu bertepatan dengan pembahasan RUU tersebut oleh pemerintah dan DPR. Namun usul tersebut tidak mendapatkan tanggapan sampai RUU KUP disahkan menjadi UU KUP.
B. DWITA PRADANA
Kepala Biro Humas dan Luar Negeri BPK
Dasar pemikiran judicial review oleh BPK ditulis dalam artikel berjudul ”Kalau Pajak Masuk Mahkamah” pada edisi yang sama. -Red
Hak Jawab Rental Heli Jalur Sakti
BERKAITAN dengan tulisan di majalah Tempo edisi 28 Januari-3 Februari 2008, halaman 32-33, berjudul ”Sewa Helikopter: Rental Heli Jalur Sakti”, di mana tertulis transkrip pembicaraan via telepon antara wartawan Tempo dan salah seorang Perwira Menengah Angkatan Laut, yaitu Mayor Fery, perlu kami luruskan sebagai berikut:
- Setelah melakukan pengecekan di lapangan dan terhadap data personel yang dimiliki TNI Angkatan Laut, tidak ada personel penerbang Angkatan Laut berpangkat Mayor dengan nama Fery. Demikian juga tidak dikenal sebutan Kepala Dinas Operasi (Kadisops) di Angkatan Laut. Yang ada adalah Perwira Staf Operasi (Pasops).
- Dengan demikian, apa yang ditulis wartawan Tempo perlu diragukan kebenarannya, tidak dapat dipertanggungjawabkan, dan cenderung fitnah serta terlalu mendiskreditkan Angkatan Laut, karena sumber beritanya, Mayor Fery, yang bertugas di sebuah kota di Sumatera dan seolah-olah mampu mengendalikan penggunaan pesawat di Angkatan Laut, khususnya untuk wilayah Sumatera, tidak terdaftar sebagai prajurit TNI AL.
- Pada dasarnya pengoperasian heli milik TNI AL merupakan bagian dari pengoperasian kapal perang Republik Indonesia (KRI). Pelaksanaan operasinya sudah pasti di laut, sedangkan operasi di darat hanya jika ada hal-hal khusus, seperti bencana alam, banjir, dan tanah longsor.
- Perlu diketahui bahwa penggunaan pesawat di lingkungan TNI Angkatan Laut memiliki prosedur yang jelas, dengan urut-urutan, yaitu adanya permintaan yang jelas terlebih dahulu, kemudian ada perintah gerak dari Panglima Komando Armada, lalu Komandan Pusat Penerbangan Angkatan Laut (Dan Puspenerbal) mengeluarkan surat perintah terbang (SPT), dan selanjutnya kru dapat melaksanakan tugas. Jadi pesawat-pesawat itu hanya bisa terbang atas persetujuan Panglima Komando Armada yang dijabat oleh Perwira Tinggi (Pati) Bintang Dua (Laksamana Muda), bukan oleh seorang Pamen berpangkat Mayor.
- Ditinjau dari kebijakan, tidak pernah ada kebijakan untuk menyewakan pesawat. Seandainya ada yang melakukan penyelewengan tentang hal itu, pemimpin TNI AL akan menindak tegas sesuai dengan aturan yang berlaku.
Terima kasih atas perhatian dan kerja samanya.
LAKSAMANA PERTAMA
ISKANDAR SITOMPUL, SE
Kepala Dinas Penerangan Angkatan Laut
- Mayor Fery, yang ditulis pada berita itu, memang samaran dari perwira dengan pangkat yang sama. Kami memiliki bukti dia telah beberapa kali memfasilitasi ”penyewaan” heli Angkatan Laut.
- Kami telah meminta konfirmasi dari Kepala Dinas Penerangan Angkatan Laut, seperti tertulis pada berita itu. -Red.
Clarification
I REFER to the article ”DCA Indonesia Singapura Batal” published in Tempo magazine’s edition of 11-17 February 2008 which reported Indonesian Defence Minister Juwono Sudarsono saying that Singapore had decided to ”drop” the Defence Cooperation Agreement (DCA) with Indonesia. Minister Juwono claimed that Singapore’s Minister Mentor Lee Kuan Yew had described the bilateral Extradition Treaty (ET) as ”illogical” and the Indonesian Government had interpreted this as a rejection by Singapore of both the ET and the DCA, as both agreements are linked.
We are disappointed that Minister Juwono has continued to make such baseless statements which are completely untrue, despite numerous clarifications by the Singapore Government. Singapore has repeatedly pointed out that when Prime Minister Lee Hsien Loong agreed with President Susilo Bambang Yudhoyono to conclude the ET and DCA as a single package in October 2005, this was a collective decision of the Singapore Cabinet.
Singapore remains fully committed to the agreed and signed package of the ET and DCA. We understand that Indonesia might need more time, and will wait until Indonesia is ready to proceed with the package of agreements.
RAJPAL SINGH
First Secretary Singapore Embassy
Jakarta
Sampul Tempo I
DI Internet dan koran Suara Pembaruan tanggal 8 Februari 2008 diberitakan adanya pihak yang telah melaporkan Tempo ke Kepolisian Daerah Metro Jaya sehubungan dengan sampul majalah ini pada edisi 4-10 Februari 2008. Tuduhannya: Tempo melecehkan dan menista keyakinan umat Kristiani. Jika berita ini benar, dengan ini kami hendak menyerukan kepada para pelapor untuk membatalkan laporan tersebut dengan dua alasan:
- Keberatan pada karya jurnalistik Tempo atau media mana pun jauh lebih tepat jika dilaporkan ke Dewan Pers. Sering kali masyarakat mengeluhkan reformasi yang gagal atau belum berhasil. Tapi perlulah disadari bahwa bukan saja birokrasi kita masih sering mengikuti kebiasaan lama (Orde Baru), tapi dalam kasus ini tampaknya sebagian masyarakat juga belum bersikap reformis. Sikap yang demokratis adalah melaporkan pers ke Dewan Pers, bukan ke polisi. Pendeknya, kita jangan mengkriminalkan karya jurnalistik, karena ini bisa membahayakan kehidupan demokratis yang humanis dan adil.
- Dari segi substansi, menurut hemat kami, juga tak proporsional melaporkan Tempo ke Dewan Pers sekalipun, apalagi ke polisi. Mengikuti gaya Gus Dur, kami mengatakan bahwa Tuhan Yesus atau Nabi Isa tak perlu dibela! Kami mengerti bahwa gambar sampul depan itu bisa menimbulkan interpretasi seolah Tuhan Yesus atau Nabi Isa diturunkan derajatnya sama dengan Pak Harto, atau sebaliknya Pak Harto mau dinaikkan derajatnya setinggi Nabi. Dari interpretasi seperti ini, bisa dimengerti juga jika sebagian umat merasa tersinggung dan marah.
Jadi kami sangat mengerti jika ada sebagian umat Kristiani yang panas melihat cover Tempo tersebut. Namun, dalam membela Tuhan Yesus atau Nabi Isa, janganlah kita melanggar ajaran-Nya yang utama (Injil Markus 12: 28-34): ”Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu… dan akal budimu…. Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama daripada kedua hukum ini.”
Jadi tidak ada alasan untuk bersikap tidak proporsional pada sesama kita. Tuntutan atau sikap yang tidak proporsional muncul bukan karena kasih, dan karenanya itu bukan tuntutan keadilan, melainkan rasa dendam.
Tempo telah bersikap positif dengan segera memberikan klarifikasi serta permintaan maaf. Ini sudah cukup dan sudah proporsional. Selain itu, perlulah kita lihat rekam jejak Tempo selama ini: tak ada sama sekali jejak melecehkan agama tertentu. Oleh sebab itu, tidak ada alasan untuk terus mempersoalkannya dan mudah-mudahan pihak yang bersangkutan berkenan untuk menarik/membatalkan laporannya ke polisi. Salam Kasih!
BOBBY BUDIARTO
Koordinator Alumni Keluarga Mahasiswa/i Katolik Indonesia se-Eropa.
Sampul Tempo II
REAKSI penolakan terhadap sampul Tempo edisi 4-10 Februari 2008 dengan alasan merupakan pelecehan terhadap (simbol-simbol) agama Kristen merupakan reaksi yang berlebihan yang seharusnya tidak perlu dilakukan.
Tempo boleh saja meminta maaf, tapi tidak perlu meminta maaf kepada umat Kristiani pada umumnya. Cukup minta maaf kepada Perhimpunan Pemuda Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dkk., sesuai dengan keinginan mereka, karena mereka tidak berhak mewakili umat Kristen.
Bangsa ini sudah terlalu banyak memusingkan dan mengurusi hal-hal yang tak bermanfaat seperti ini, sehingga lupa melakukan hal-hal yang jauh lebih berguna untuk bersama membangun negaranya. Tidak aneh, negara tetangganya, termasuk Vietnam, yang relatif baru bangkit dari reruntuhan perang, satu per satu mulai melesat pembangunannya, meninggalkan Indonesia, yang masih terus sibuk dengan urusan tetek-bengek yang bernuansa agama, ras, dan sebagainya.
DANIEL H.T.
Surabaya
BBM = Bikin Bingung Masyarakat
RENCANA pemerintah membatasi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dengan menggunakan smart card berpotensi menimbulkan kekacauan, terutama dalam distribusinya. Bila nanti BBM langka, harganya pasti akan melambung, ekonomi bisa menjadi stagnan, dan inflasi tinggi. Karena itu, pemerintah harus mempersiapkannya secara matang.
Menurut hemat saya, daripada nanti smart card membikin susah mencari BBM, lebih baik subsidinya yang dicabut. Harga yang mahal sesuai dengan harga pasar tidak apa-apa, asalkan ada kepastian. Toh, kami rakyat kecil juga tak banyak menikmati subsidi dan yang lebih banyak menikmati masih orang-orang kaya juga. Jadi, hapus saja subsidi, tapi beri kami rakyat
kecil kemampuan untuk membelinya. Itu saja, tak perlu aneh-aneh bikin smart card. Gitu aja kok repot.
ROSI SUGIARTO
Mijen, Semarang
LSF Menjaga Bangsa dari Krisis Moral
SEJUMLAH sineas Indonesia menyatakan Lembaga Sensor Film (LSF) melanggar hak berkreasi dan hak cipta, padahal mereka telah mengeluarkan dana, waktu, dan tenaga. Mereka meminta lembaga ini dibubarkan dan Mahkamah Konstitusi meninjau kembali Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman.
Memang, setiap orang diberi kebebasan berkreasi. Tapi, ketika film tersebut akan memasuki ranah publik, jangan karena keinginan bebas berkreasi, masyarakat terkena dampaknya. Dan LSF memiliki tanggung jawab melindungi penonton dari tontonan yang merusak moralitas dan bertentangan dengan norma masyarakat. Karena itu, saya mendukung keberadaan LSF sebagai institusi yang bertugas menyensor film sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai bangsa Indonesia.
SITI UMIYATI
Tajur, Bogor
Teror di Perumahan Banjar Wijaya
BEBERAPA bulan terakhir, kami, warga perumahan Banjar Wijaya, Kelurahan Poris Plawad Indah, Cipondoh, Tangerang, sangat terganggu dengan ulah pihak developer Duta Pertiwi (PT Sinarwijaya Ekapratista), Sinar Mas Group, yang sewenang-wenang menutup jalan tembus menuju perumahan tetangga, Modern Land. Mereka mengelas pintu gerbang, memasang barikade, dan menutup parit.
Akibatnya, warga Banjar Wijaya tidak bisa lagi menggunakan jalan tembus itu untuk menuju Cikokol, Kebon Nanas, sekadar menghindari kemacetan pada perempatan lampu merah Cipondoh, ataupun mengantar anak yang bersekolah di perumahan Modern Land. Bukan cuma itu, Duta Pertiwi juga membendung saluran air, akibatnya lahan dan rumah warga di luar dan di dalam perumahan terendam banjir.
Kami sudah puluhan tahun menghuni perumahan Banjar Wijaya dan tahu kekuasaan yang dimiliki developer Sinar Mas Group dan apa yang terjadi di balik penutupan gerbang dan parit itu. Kami minta, janganlah warga perumahan Banjar Wijaya dilibatkan dalam konflik kepentingan developer Duta Pertiwi dengan perumahan tetangga kami.
WARGA BANJAR WIJAYA
(Nama-nama ada di Redaksi)
Pengalaman dengan Singapore Airlines
PERLAKUAN mengecewakan Singapore Airlines (SQ) ini bermula ketika ibu saya, Yuhati Hidir, 60 tahun, penumpang SQ595 tujuan Singapura tanggal 18 Januari 2008, melakukan check-in di Bandara Soekarno-Hatta. Bagasinya ditolak petugas dengan alasan satu koper kelebihan berat 1,5 kilogram, padahal berat satu koper lainnya hanya 27 kilogram atau kurang dari jatah berat per koper 32 kilogram. Sang petugas SQ menganjurkan koper dibongkar dan sebagian isinya dipindahkan ke koper satunya lagi.
Walhasil, saya, yang beruntung bisa masuk untuk membantu Ibu, antre lagi untuk check-in. Kepada petugas, saya kemudian menjelaskan bahwa ibu saya mempunyai flight connecting dengan Northwest keesokan harinya dengan tujuan Narita-Minneapolis-Houston, untuk true check-in bagasi ke flight dan kota tujuan akhir ibu saya. Setelah saya selesai mengantar Ibu, saya berpikir segalanya telah beres.
Namun betapa terkejutnya saya ketika mendapat telepon dari Ibu, yang mengabarkan sambil menangis bahwa ia ditolak hotel di Singapura karena tidak dapat menunjukkan voucher hotel yang seharusnya diberikan petugas check-in SQ di Cengkareng. Akhirnya Ibu menginap di rumah teman saya. Perlakuan tidak manusiawi terhadap penumpang lanjut usia dan kelalaian pihak SQ itu benar-benar telah sangat menyusahkan kami dan menjadi mimpi buruk buat ibu saya.
YUDI
Bojong Kulur, Bogor
Underpass Arteri Pondok Indah Gagal
Ruas Jalan Arteri pondok indah adalah salah satu jalan utama terpadat di Jakarta Selatan. Karena itu, pemerintah membangun underpass pada dua persimpangan, yaitu persimpangan Gandaria-Bungur dan Ophir. Tetapi entah salah kalkulasi atau memang belum dibangun, persimpangan Kostrad-Cendrawasih yang terkenal paling padat justru tidak dibuatkan underpass. Kejadiannya sekarang adalah Jalan Arteri Pondok Indah tetap macet parah.
Saya hanya menyayangkan, proyek yang pasti sangat mahal itu tidak membawa hasil yang maksimal bagi masyarakat pengguna jalan.
YUDI
Bintaro Jaya, Jakarta Selatan
Ralat
Dalam artikel berjudul ”Maaf yang Akhirnya Terucap” pada Tempo edisi 11-17 Februari 2008, tertulis:
- ”Pemerintah Koalisi Liberal-Nasional di bawah John Howard, yang menang Pemilu 2002…”. Seharusnya: ”Pemilu 1997 dan 2002...”.
- Film Rabbit-Proof Fence film Inggris. Seharusnya film Australia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo