Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

29 Oktober 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tentang Soetanti Aidit

DARI daftar mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Klaten (1946–1948) tidak tercatat nama Soetanti (istri Ketua CC PKI DN Aidit), seperti yang diceritakan Tempo dalam edisi ”G-30-S dan Pe­ran Aidit”. Mungkin almarhumah ha­nya mendaftar tapi tak pernah kuliah. Dia lulus sekolah dokter tidak di Indonesia, mungkin di Korea.

DRS SUNARTO PRAWIROSUJANTO, APT Bekas Mahasiswa PTN Klaten Jalan Pati Unus 8 Jakarta

- Semua sumber yang kami wawancarai menyebutkan Soetanti pernah kuliah di PTN Klaten. Terima kasih atas informasinya. -- Redaksi


Koreksi Sumaun Utomo

DALAM Tempo edisi ”G-30-S dan Pe­ran Aidit” pada artikel ”The Three Musketeers” nama saya muncul beberapa kali. Saya disebut sebagai Ketua Lembaga Sejarah CC PKI. Seperti saya katakan kepada wartawan Tempo yang mewawancarai saya, jabatan saya yang benar adalah Se­kretaris Lembaga Sejarah CC PKI. Ketua­nya Sdr. Sugiono. Mohon dikoreksi agar tidak menjadi soal dalam catatan sejarah.

SUMAUN UTOMO [email protected]

-- Mohon maaf atas kekeliruan itu dan terima kasih atas koreksi Anda. --Redaksi


Klarifikasi Yahya Ombara

PADA Tempo edisi 22–28 Oktober 2007 halaman 40–43, ”Para Komisaris dari Lingkaran Istana”, nama saya disebut-sebut, termasuk buku saya, Presiden Flamboyan, SBY yang Saya Kenal. Namun, kompetensi saya di buku itu dicomot secuil, yaitu pada kalimat, ”… Jauh sebelum masuk tim sukses itu, ia dikenal sebagai pengusaha wartel di Yogyakarta….”

Kesannya pengalaman saya tak ”nyambung” dengan posisi saya sebagai komisaris PT Kereta Api Indonesia. Seakan-akan Menteri BUMN merekrut para komisarisnya asal-asalan. Lebih jauh, seolah Presi­den SBY menyusun barisan dan memberi im­bal jasa atas masa lalu tanpa meng­ukur kom­petensi, kapasitas, dan profesi­o­nalitas.

Saya memiliki pengalaman di berba­gai organisasi, baik bisnis maupun so­sial-politik. Saya memang pernah menjadi peng­usaha wartel, tapi bukan karena bisnis itu saya dikenal, melainkan bisnis sebelumnya. Saya mendirikan PT Cemara Tujuh Grup, suatu bisnis swala­yan, distribusi dan properti di Yogyakarta sejak­ 1981. Saya juga mendirikan dan memim­pin Akademi Telekomunikasi dan Teknologi Otomotif pada 1994.

Belum lagi pengalaman tak sebentar dan sederhana memimpin Kadin, Hippi, Hipmi, APWI, HMI, KNPI, Kosgoro, ICMI. Atau pengalaman politik di Golkar, PKP, PKPI. Profesi saya yang mutakhir konsultan hukum pada kantor Pamungkas & Partners di Jakarta. Semua pengala­man itu menunjukkan kuantitatif dan kualitatif eksistensi, kapasitas, dan kompetensi saya dalam manajemen organisasi yang kompleks, lintas sektoral, dan modern.

Jadi, Menteri BUMN pastilah melihat itu semua, tak sekadar investasi politik masa lalu sebagai Tim Sukses SBY-JK semata. Benar saya kenal dekat SBY jauh sebelum dia menjadi presiden. Setelah dia menjabat tidak ada lagi hubungan, baik yang bersifat personal maupun governmental.

Jadi, tidak tepat saya dikategorikan komisaris pilihan SBY atau komisaris dari ”Lingkaran Istana”. Justru saya sering mengoreksi dan mengkritik pemerintahan SBY-JK lewat buku dan tulisan, sosok pribadi dan kepemimpinannya baik secara lugas maupun sarkastis, karena saya sayang kepadanya dan negeri ini.

DRS YAHYA OMBARA SH Komisaris PT KAI


Soal Tunku Abdul Rahman

Tempo edisi Encik Maunya Apa bagus dan sangat menyentuh persoalan kema­nusiaan. Namun, ada beberapa fakta atau jabatan yang ditulis tidak tepat. Pada halaman 23 ditulis ”Tunku Abdul Rahman Putra al-Haj, YangDipertuan Agong Tanah Melayu”. Ini salah. Tunku Abdul Rahman Putra al-Haj adalah Perdana Menteri Malaysia pertama 1957–1970. Beliau berasal dari Negara Bagian Kedah. Sedangkan Yang Dipertuan Agong Persekutuan Tanah Melayu yang pertama namanya hampir sama, yaitu Tuanku Abdul Rahman, yang merupakan Raja dan Yang Dipertuan Besar Negeri Sembilan.

Tunku yang pada mulanya bergelar Tengku kemudian dapat gelar Tun, jadilah dia bergelar Tunku. Dialah perdana menteri yang mengurus soal negara termasuk soal politik dalam dan luar ­negeri. Se­dangkan Yang Dipertuan Agong adalah kepala negara dan simbol tak terlibat dalam kegiatan politik harian pemerintahan.

MA JAWAHIR Pengamat masalah sosial,tinggal di Kuala Lumpur

-- Terima kasih atas koreksi Anda. --Redaksi


Tanggapan Bank Mandiri

TERIMA kasih atas masukan dari Bapak Novi Herlambang dalam rubrik ”Surat Pembaca” edisi 24–30 September 2007. Terblokirnya kartu kredit Bapak Novi terkait kartu kredit Ibu Ririn Herlida (kartu tambahan) yang telah diblokir karena telat membayar tagihan yang belum terdaftar dalam program pendebetan langsung yang dimiliki kartu Bapak Novi.

Kami sudah menghubungi Bapak Novi untuk menjelaskan soal ini. Bapak Novi memberikan respons positif atas penjelasan kami. Saat ini status kartu Bapak Novi sudah aktif kembali.

MANSYUR NASUTION Corporate Secretary


Tanggapan Tiki

KAMI mohon maaf atas kejadian yang menimpa Bapak Wahyudi yang tidak bisa menerima paket yang dititipkan lewat Tiki seperti dimuat halaman ini edisi 7 Oktober 2007. Perlu kami jelaskan bahwa pada 13 September 2007 paket sampai di kantor Tiki Medan dan langsung diantar ke alamat.

Namun, rumah pada alamat surat dalam keadaan kosong. Petugas Tiki meninggalkan surat pemberitahuan bahwa titipan sudah tiba. Esoknya paket diantar kembali tapi rumah masih kosong. Pada 25 September kami menghubungi Bapak Wahyudi sebagai pengirim dan memberitahukan bahwa paket baru diterima pada 18 September.

WAHYUDI Public Relations Tiki


Menanggapi Todung Mulya Lubis

MEMBACA kolom Todung Mulya Lubis di Tempo edisi 22–28 Oktober mengenai kebebasan pers, awalnya saya sa­ngat kagum pada kejernihan pendapat beliau dalam kasus Metta Dharmasaputra. Tapi kekaguman saya sirna saat menyadari bahwa Bung Todung adalah pengacara Raja Garuda Mas (RGM)/Sukanto Tanoto, yang justru menjadi salah satu pihak dalam kasus Metta. Karena itu, saya kira, lepas dari fakta bahwa Bung Todung adalah cendekiawan piawai di bidang hukum, beliau mestinya tidak dalam posisi yang elok untuk menuliskan opini mengenai masalah ini, mengingat adanya konflik kepentingan yang melingkupinya.

Situasinya makin kurang elok karena rupanya Bung Todung pun tak menginformasikan soal posisinya sebagai pengacara RGM, dan justru menggunakan identitasnya sebagai salah satu pendiri sebuah lembaga nonpemerintah di bidang pendidikan demokrasi. Aneh juga, kenapa redaksi Tempo seperti kurang kritis terhadap masalah ini.

MUCHLIS HAMZAH Kota Wisata, Cibubur

-- Kami mengetahui posisi Mulya Lubis dan tidak melihat bias memihak atau menyudutkan Sukanto Tanoto dalam kolom itu. Terima kasih atas tanggapan Anda. --Redaksi


Bahasa UUD 1945

SAYA ingin menanggapi tulisan Jos Daniel Parera dalam Tempo edisi 8–14 Oktober 2007 rubrik ”Bahasa!” yang mempersoalkan penggunaan ”nya” dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Jika mengacu kepada bahasa-bahasa Barat yang serba eksak, penggunaan ”nya” dalam UUD 1945 jelas banyak salah. Karena ”nya” seharusnya ditulis ”mereka”. Kesalahan itu mungkin karena banyaknya anggota MPR/DPR dari Jawa. Kita tahu perkembangan bahasa Indonesia sejak semula sangat dipengaruhi oleh nuansa bahasa Jawa, walaupun asalnya dari bahasa Melayu.

”Nya” dalam bahasa Jawa adalah ”ne” yang berlaku baik untuk tunggal maupun jamak. Karena itu, jika kita mengacu kepada bahasa Jawa dan bukan kepada bahasa-bahasa Barat, maka penggunaan kata ”nya” untuk orang ketiga jamak tidaklah salah.

NANANG SUTADJI Jakarta Selatan


Kenaikan Tarif Parkir

SEJUMLAH pusat perbelanjaan diam-diam menaikkan tarif parkir kendaraan bermotor sejak 1 Oktober 2007. Padahal, kenaikan tarif parkir seharusnya mendapat persetujuan dari Pemprov DKI Jakarta.

Media massa memberitakan Plaza Semanggi, Senayan City, Plaza Indonesia menaikkan tarif dari Rp 2.000 satu jam pertama menjadi Rp 3.000 untuk dua jam pertama, tak ada lagi untuk satu jam pertama. Tentu saja kenaikan tarif ini merugikan konsumen. Gubernur Jakarta harus berani menegur pengusaha parkir. Dia tidak boleh membiarkan masalah ini berlarut-larut.

GAGAH WICAKSANA The Jakarta Watch


Solusi Kemacetan

BEBERAPA waktu lalu Gubernur Jakarta Fauzi Bowo menyatakan tidak ada solusi jangka pendek mengatasi kemacet­an lalu lintas. Pernyataan tersebut tentu saja mengecewakan. Apakah tak ada lagi cara memecahkan kemacetan? Atau, benarkah pemerintah telah secara maksimal mengupayakan cara-cara untuk meng­atasi kemacetan lalu lintas? Setiap hari dengan mudah ditemui ruas jalan yang terdiri atas tiga jalur, tetapi satu atau dua jalurnya digunakan pedagang kaki lima dan hanya satu jalur yang dapat diguna­kan oleh kendaraan bermotor. Juga, terminal bayangan di titik tertentu. Belum lagi kantor yang tak punya lahan parkir memakai satu-dua lajur menampung kendaraan karyawannya. Seharusnya pemerintah mengembalikan lajur-lajur pada ruas jalan itu sesuai dengan fungsinya.

ARYO SETYAKI Pasar Minggu, Jakarta Selatan


SBY Harus Tegas

SUDAH sering Malaysia melecehkan kita sebagai bangsa Indonesia. Penangkapan istri diplomat, penganiayaan wasit, penyiksaan dan pemerkosaan TKI, pemeriksaan kasar terhadap mahasiswa. Pemerintah tak bisa mendiamkan masalah ini berlarut-larut.

Kita prihatin mendengar komentar pe­tinggi negeri ini yang memilih mengeluar­kan pernyataan soal kesiapan menghadapi pemilihan presiden 2009. Mengapa kita tidak memiliki pemimpin yang bisa menegakkan harga diri bangsa dan nega­ranya?

Kita harus menunjukkan keberanian bahwa Indonesia tak mau dan tidak bisa dilecehkan. Caranya tak cukup de­ngan imbauan, apalagi cuma tuntutan kata maaf, melainkan melalui tindakan yang jelas dan nyata. Ini momentum SBY menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang tegas dan berwibawa, bukan seorang peragu. Kita tunggu realisasinya.

TEGUH BANGUN NUSANTARA Komunitas Indonesia Satu

-- Redaksi menerima surat senada dari Linda Surachman di Lebak Bulus, Wiyatni di Mampang Prapatan, Satya Nugraha di Bogor, Gerry Setiawan di Condet, Untung Yulianto di Pasar Minggu, Dio Pujolaksono, Maximus Mere, dan Amir Abbas di Jakarta.


Dampak Kisruh Askeskin

Tempo edisi 4 Oktober 2007 menyoroti soal pelaksanaan asuransi kesehatan bagi rakyat miskin yang tertunggak. Untuk daerah Bali, hasil pengamatan Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Udaya­na menemukan dampak pembengkakan klaim Askeskin yang belum bisa dibayar Departemen Kesehatan.

Dampak kekurangan dana Askeskin di Bali tak saja mengganggu pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin di rumah sakit, tapi mulai menjalar ke Puskesmas. Jajaran kesehatan kabupaten/kota dan Puskesmas masih dibuat bingung karena keterlambatan turunnya petunjuk teknis tentang pemanfaatan dana dari Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat.

Yang merasakan pusing tujuh keliling akibat kebijakan publik yang kurang pas ini adalah petugas kesehatan yang langsung berhadapan dengan pasien miskin baik di Poliklinik RS maupun di Puskesmas. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota seharusnya mengkoordinasi langsung pelaksanaan pelayanan kesehatan. Kebijakan ini seyogianya mengedepankan soal medis, bukan politik.

PROF DR A.A.G. MUNINJAYA Direktur PMPK Fakultas Kedokteran Universitas Udayana


Evaluasi Reformasi TNI

TAHUN ini reformasi TNI sudah berjalan sembilan tahun. Presiden SBY dalam pidatonya pada upacara HUT ke-62 TNI di Plaza Mabes TNI, Cilangkap, menginstruksikan pemimpin TNI supaya melakukan evaluasi atas hasil-hasil yang telah dicapai. Tahun depan, lapor­kanlah kepada rakyat apa yang telah TNI capai dalam reformasi internal 10 tahun ter­akhir.

Proses reformasi internal TNI yang telah dilakukan sejak 1998 telah melaksanakan agenda penting: pemisahan Polri dari TNI; validasi organisasi; serta likuidasi Kepala Staf Teritorial TNI, Kepala Staf Sosial Politik ABRI, dan Badan Pembinaan Kekaryaan ABRI.

Namun, reformasi di tubuh TNI hingga saat ini belum selesai. Secara struktur kelembagaan, TNI memang telah melakukan pembenahan, tapi secara kultural belum berubah.

FARAH HANAFIAH Lhokseumawe Aceh Utara


Soal Hukuman Mati

HINGGA 2007, 142 negara telah menghapus hukuman mati, sementara 55 negara lainnya masih menerapkannya. Organisasi Islam, seperti Hizbut Tahrir Indonesia, menilai bahwa hukuman mati melindungi hak asasi masyarakat dari berbagai tindak kejahatan. Sedangkan Forum Umat Islam berpendapat penerapan hukuman mati harus dilihat dari setiap kasus yang ada dan tidak bisa disamaratakan bahwa hal tersebut sepenuhnya buruk dan harus dihapuskan.

Layak atau tidaknya hukuman mati harus dilihat per kasus. Apabila kegiatan itu mengancam keselamatan rakyat banyak (terorisme), maka ia bisa saja dijerat dengan hukuman mati. Penerapan hukuman mati merupakan wewenang suatu negara, perlu atau tidak hukuman tersebut diterapkan tergantung pada kebutuhan dalam membuat jera para pelaku tindak pidana. Hak untuk hidup dan merdeka adalah hak absolut setiap orang yang terbatas pada hak absolut orang lain.

TEUKU FACHRI Awanglong, Samarinda

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus