Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

1 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keberatan Yoan N. Simanjuntak

Saya hendak menanggapi artikel bertajuk Hukum Terperangkap Birokrasi, di rubrik Hukum majalah Tempo edisi 42/XXXV/11-17 Desember 2006. Di situ tertulis kalimat: Yang mengejutkan adalah hasil penelitian tim evaluasi dari Universitas Surabaya. Mereka mencatat ”dua golongan” anggota Komnas HAM. Yakni, yang bermasalah dan yang mendapat dukungan. Dua golongan ini amat mempengaruhi jalannya lembaga. Hanya, siapa-siapa mereka, Ketua Tim Evaluasi dari Ubaya, Yoan Nursari Simanjuntak, memilih tutup mulut. ”Hasilnya belum tuntas,” dia memberi alasan.

Sinyalemen yang demikian bukanlah pernyataan dari saya maupun Tim Evaluasi Komnas. Sebab, pada saat komunikasi dilakukan, kami telah menyampaikan belum dapat memberi informasi apa pun karena masih dalam proses. Hasil evaluasi Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) Universitas Surabaya baru akan diungkapkan bila telah selesai secara keseluruhan. Oleh karena itu, pernyataan yang tertulis dalam artikel tersebut di luar tanggung jawab kami, dan kami meminta pihak Tempo untuk meralat informasi dalam artikel tersebut.

YOAN NURSARI SIMANJUNTAK Ketua Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya

Wartawan Tempo menerima informasi itu dari beberapa narasumber yang tahu tentang evaluasi tersebut. Terima kasih—Redaksi.


Salut Edisi Khusus Tempo

Salut buat Tempo, excellent topik Edisi Khusus 10 manusia yang mengubah Indonesia di tahun 2006. Tanpa campur tangan pemerintah, seringkali di Indonesia putera-puteri bangsa bisa lebih berprestasi.”

Mirza Adityaswara Head of Research Credit Suisse First Boston Indonesia


Angkat Citra Pangan Lokal

Belakangan ini terjadi kenaikan harga beras yang signifikan, terutama di Pulau Jawa dan Sumatera. Faktor penyebabnya adalah berkurangnya pasokan. Kenaikan harga tersebut patut diwaspadai karena dapat menimbulkan efek domino, yakni meluas ke daerah lain sehingga menimbulkan kepanikan.

Ketika harga beras merangkak naik sesungguhnya menjadi momen paling tepat untuk memulai diversifikasi pangan. Bagi yang sudah terbiasa makan nasi, mereka layak mengonsumsi pangan lokal sebagai alternatif pengganjal perut yang lapar. Untuk itu, pemerintah harus mengangkat kembali citra pangan lokal berbasis umbi-umbian, jagung, pisang, dan sagu. Dengan begitu, setiap orang tak canggung untuk mengonsumsinya sebagai pangan alternatif pengganti beras.

Bahan pangan berbasis umbi-umbian, seperti tiwul, sudah diangkat citranya menjadi tiwul instan. Bahan baku tiwul, yakni gaplek, singkong yang sudah dikeringkan, telah mengandung karbohidrat yang tidak kalah dengan beras.

Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam pengembangan pangan lokal nonberas, yakni aspek kesehatan dan keamanan, nilai organoleptik dan tingkat kesukaan, serta nilai sosial dan kepraktisan. Bila ketiganya melekat pada produk pangan lokal berbasis umbi-umbian, dan dipromosikan dengan baik, niscaya dapat dijadikan sebagai makanan favorit masyarakat.

Dengan demikian, tiwul yang karbohidratnya tinggi itu perlu diperkaya (enrichment) lagi dengan protein, lemak, mineral, dan vitamin dengan aneka rasa melalui teknologi pangan modern. Inilah tantangan baru bagi industri pangan nasional.

WORO SEMBODHRO Jalan Mawar, Baciro, Yogyakarta


Kecewa Tung Desem Waringin

Saya kecewa dengan iklan TDW (Tung Desem Waringin) mengenai ”Tips-tips Bisnis” yang dikirimkan lewat pesan pendek REG TDW ke 6876. Lebih-kurang setengah bulan lalu, saya mendaftar ke acara tersebut, dan mendapat pesan pendek harian dengan biaya Rp 1.000 per pesan.

Berhubung tips-tips tadi tidak seperti yang saya harapkan—malah cenderung membosankan—maka saya berhenti dengan mengirim pesan UNREG TDW ke 6876. Namun, tidak seperti apa yang disampaikan dalam iklan, pesan UNREG saya tidak digubris. Pesan harian tetap dikirim ke ponsel saya dengan konsekuensi harus terus membayar tarif yang dikenakan.

Melalui surat pembaca ini saya mengimbau pihak penyelenggara untuk menghentikan pengiriman pesan pendek ke ponsel saya. Mohon bantuan kepada operator Telkomsel/Kartu Halo untuk memblokir pengiriman pesan tersebut.

DR. UNTUNG SYARIFUDIN, Sp.PD (Kartu HALO 0811543XXX) Jalan Pupuk Barat II/41, Balikpapan


Bukit Serpong Mas Mengecewakan

Saya membeli rumah di Bukit Serpong Mas (BSM), blok F2/8, melalui KPR. Hal itu saya lakukan karena tertarik iming-iming pihak BSM mengenai alternatif pembiayaan pembelian rumah, yaitu:

  1. Diskon bunga 5 persen dari tiga pilihan bank yang disediakan BSM, yaitu Bank Permata, NISP, dan Panin.
  2. Semua proses pengurusan KPR dilakukan oleh pihak BSM.

Akhirnya, pada 7 Agustus 2006, saya membayar tanda jadi, dan diberi jadwal pelunasan, yaitu pada 7 September 2006. Permohonan KPR yang diurus pihak BSM disetujui Bank Permata dan Panin setelah tanggal jadwal pelunasan. Berdasar persetujuan KPR Bank Panin, saya melakukan pelunasan pembelian rumah, dan proses serah-terima akan dilaksanakan paling lambat pada 30 September 2006.

Ternyata, sampai dengan minggu ke-2 Desember, tidak ada kejelasan kapan akan dilakukan serah-terima rumah. Alasan penundaan dari developer, antara lain, orang legal sedang cuti, atau rumah sedang diperbaiki. Alasan terakhir yang sangat mengejutkan saya adalah keharusan untuk membayar denda keterlambatan pelunasan sebelum dilakukan serah-terima rumah.

Pada Kamis, 21 Desember, dengan ditemani seorang kawan, saya datang dengan maksud menanyakan kapan dilakukan serah-terima rumah, dan mengapa saya dikenai denda keterlambatan pelunasan yang bukan karena kelalaian saya. Setelah saya jelaskan, Pak Billy (marketing) dan Pak Slamet (keuangan) dapat menerima penjelasan tersebut.

Untuk mendapatkan keputusan, saya diminta menunggu karena mereka akan menjelaskan kembali kepada atasan mereka. Setelah lama menunggu, akhirnya seorang bapak muncul dengan ditemani Pak Billy dan Slamet. Bapak ini datang dengan sikap angkuh dan bertanya, ”Apakah anda sudah mengerti kenapa dikenai denda?”

Pertanyaan itu sangat melelahkan karena saya harus menjelaskan kembali. Kawan saya membantu menjelaskannya. Tiba-tiba, disertai bentakan dan pukulan meja, bapak itu mengatakan hanya ingin bicara dengan pembeli. Kemudian bapak tersebut berdiri dan hendak meninju kawan saya. Setelah itu, dengan garang dan pongahnya, si bapak mengusir kawan saya.

Saya menjadi sangat shocked dan ketakutan. Saya pun berdiri untuk menyusul kawan saya yang tengah digelandang ke luar ruangan. Namun, saya dihalang-halangi oleh sekelompok orang di ruangan tersebut. Dan entah dengan kekuatan apa, akhirnya saya dapat lolos dari ruangan yang keadaannya lebih mirip proses intimidasi dan interogasi daripada negosiasi itu.

Sebagai seorang wanita lajang tanpa keluarga, kejadian tersebut sangat menakutkan dan membekas dalam diri saya. Entah bagaimana lagi bentuk intimidasi dan teror yang akan saya terima apabila saya berkeras untuk menempati rumah tersebut. Jelas sudah saya tidak diperlakukan sebagai raja, namun seperti pesakitan. Padahal, saya adalah pembeli rumah mereka.

Dengan kejadian ini, saya mengimbau kepada yang berminat dan ingin membeli rumah di Perumahan Bukit Serpong Mas agar berhati-hati dengan iming-iming pihak BSM. Hendaklah berpikir panjang agar tak mendapat perlakuan seperti yang saya alami.

DESI DESRIYANTI Karet PS. Baru BRT I/17 Karet Tengsin, Jakarta Pusat


Karyawan Depag Mencari Keadilan

Berdasar Surat Keputusan Menteri Agama RI No. 73 Tahun 1964, Panitia Urusan Tanah Departemen Agama RI, pada 1965/1966, sekitar 3.299 orang dari berbagai departemen telah membeli secara kontan bidang-bidang tanah kavling yang ditawarkan. Di antaranya, 2.554 orang adalah karyawan/karyawati dan guru-guru Departemen Agama RI. Luas setiap kavling adalah 300 atau 500 meter persegi dengan harga Rp 350.000 dan Rp 750.000 per kavling. Lokasi yang dijanjikan di daerah Sunter atau Pulogadung, Jakarta.

Sampai tahun 1974 tanah tidak pernah diserahkan, sedangkan uang tidak pernah dikembalikan, meski telah berkali-kali diminta dan ditagih.

Berkait dengan itu, 465 karyawan dan guru Departemen Agama mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bernomor 410/1974 G, tanggal 16-9-1974, dan memperoleh kemenangan. Putusan itu dikuatkan di tingkat banding dengan nomor 92/1978 PT Jakarta, tanggal 21-10-1980. Di tingkat kasasi di Mahkamah Agung RI dengan nomor 2774 K/Sip/1981, tanggal 13-5-1982, karyawan/guru tetap dimenangkan.

Sampai saat ini, berbagai macam cara telah diupayakan, baik dengan mengirim surat maupun menemui para pejabat Departemen Agama RI agar putusan Mahkamah Agung yang sudah berkekuatan hukum tetap itu dipenuhi. Namun, hingga saat ini, upaya tersebut belum membuahkan hasil.

Akhirnya kami mohon bantuan kepada Bapak Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dengan cara tiga kali berkirim surat. Selain itu, kami juga mohon bantuan kepada para anggota DPR RI. Kepada wakil rakyat periode sebelumnya, kami berkirim surat sebanyak empat kali, dan periode sekarang sudah berkirim surat dua kali. Namun, permohonan itu sama sekali tidak pernah mendapat tanggapan.

Kami mencoba mengetuk nurani semua pihak yang terkait dengan masalah ini. Mudah-mudahan Allah Yang Mahakuasa membukakan mata hati para pejabat Departemen Agama RI—khususnya Bapak Menteri Agama—sehingga berkenan menyelesaikan permasalahan yang telah memakan waktu 40 tahun tersebut.

ASMAWI, SH Atas nama ke-465 orang karyawan/karyawati dan guru-guru Departemen Agama RI


Jeleknya Layanan Depag

Pada 19 Desember 2006, saya pergi ke kantor Departemen Agama untuk melakukan legalisir ijazah. Sebab, alumni Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, prosedur legalisirnya harus melalui departemen tersebut. Tapi saya mendapat pelayanan yang tidak mengenakkan. Untuk legalisir saja harus menunggu satu bulan. Hal itu jelas sangat menghambat seseorang yang hendak menggunakan legalisir ijazahnya untuk keperluan tertentu. Apakah pihak Departemen Agama tidak punya jalan keluarnya?

Saya juga sangat jengkel dengan petugas departemen yang bertugas melayani legalisir tersebut. Sebagai pegawai negeri yang tugasnya melayani kepentingan masyarakat, seharusnya petugas tersebut sudah ada di kantornya pukul 08.00 WIB. Tapi petugas yang bersangkutan baru datang pukul 11.00 WIB dengan alasan macet. Dengan keterlambatannya itu, saya pun harus menunggu, padahal saya punya pekerjaan lain.

Itulah sebagian potret birokrasi yang ada di Departemen Agama, lembaga yang paling korup di Indonesia.

M. HUDA, LC Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus