Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah berlantai dua itu tak pernah sepi. Celoteh kaum Hawa kerap terdengar dari dalam rumah. Terletak di kompleks Wirasaban Barat Indah, Sorosutan, Yogyakarta, sejak tiga tahun lalu rumah itu berubah menjadi sekolah untuk mendidik pembantu rumah tangga secara komplet. Mereka terampil dan punya posisi tawar terhadap majikan.
Sekolah itu merupakan jawaban para aktivis perempuan di Yogyakarta atas banyaknya persoalan yang dihadapi para pembantu rumah tangga. Awalnya, aktivis di Yayasan Rumpun Tjoet Njak Dien hanya melakukan advokasi bagi para pembantu yang menjadi korban kasus-kasus kekerasan dan hukum.
Belakangan, advokasi dianggap tak lagi memadai. ”Para pembantu tak cuma butuh keterampilan, tapi juga pengetahuan untuk meningkatkan posisi tawar mereka,” ujar Lita Anggraeni, Ketua Yayasan. Maka, berdirilah Sekolah Pembantu Rumah Tangga Rumpun Tjoet Nyak Dien.
Para siswi sekolah ini berdatangan dari berbagai daerah sampai luar Yogyakarta. Siswi dari Yogya kebanyakan berasal dari Gunung Kidul yang dikenal sebagai sentra penyuplai pembantu. Asal berumur minimal 16 tahun, berasal dari keluarga kurang mampu, dan berniat bekerja sebagai pembantu, mereka akan diterima sebagai siswi.
Nita Kurniawati, 24 tahun, termasuk salah satunya. Gadis lulusan SMP ini tadinya tak berdaya setelah gempa meluluhlantakkan rumahnya di Plered, Bantul, dan pabrik garmen tempatnya bekerja. Untunglah, ada sekolah ini.
Sekolah ini tak mengutip iuran. Bagi siswi dari luar daerah bahkan disediakan asrama. Gratis. Mereka hanya perlu menyerahkan lima kilogram beras setiap bulan. ”Ada juga yang membayar dengan hasil kebun,” kata Titin Djazirotin Nikmah, kepala sekolah tersebut.
Selama tiga bulan para siswa digembleng di tiga bidang yang mereka minati: kerumahtanggaan, pramurukti (merawat orang tua) dan baby sitter. Selain diajari membersihkan rumah, mereka juga diajari mengendarai sepeda motor, komputer, bahasa inggris, gender, etika, hak asasi manusia, dan kesehatan organ reproduksi. Memahami hak dan kewajiban, misalnya soal jam kerja dan hak libur, pun diajarkan. ”Untuk mengurangi kesewenangan, dibuatkan perjanjian pembantu dengan calon majikan,” kata Lita.
Awalnya, menurut Lita, banyak calon majikan kaget dan heran dengan pendidikan di sekolah itu. Apalagi, harus membuat surat perjanjian segala. ”Tapi kebanyakan akhirnya paham karena justru memudahkan hubungan kerja,” ujarnya.
Di jalur yang berbeda, ada perempuan-perempuan yang tergabung dalam Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKP-ST) di Poso, Sulawesi Tengah. Selain mendampingi perempuan korban kekerasan ke jalur hukum, mereka juga menggelar pendidikan gender dan berusaha memberdayakan ekonomi kaum perempuan.
Di sekolah itu, para perempuan dari berbagai komunitas yang bertikai bertemu langsung. Mereka membicarakan perdamaian dan mulai mengkampanyekan pentingnya perdamaian kepada banyak kalangan. Beberapa di antaranya akhirnya bahkan direkrut menjadi juru damai.
Tepat apa yang dikatakan Yanti Muchtar: ”Semakin banyak sentra pendidikan bagi perempuan didirikan sesuai dengan kebutuhan daerah, semakin baik.”
Widiarsi Agustina, Syaiful Amin (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo