Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Sekolah buat Perempuan

Sejumlah aktivis perempuan mengembangkan sekolah untuk pemberdayaan wanita di berbagai daerah.

1 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berpuluh tahun para perempuan suku Bajo itu hanya jadi obyek. Tak henti mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Menjadi mesin untuk menghasilkan anak tanpa dibarengi perawatan memadai.

Setiap bulan, cerita tentang ibu yang meninggal karena melahirkan, terkena kanker rahim, atau penyakit menular selalu terdengar. Di luar rumah, nasib mereka tak lebih baik.

Para tengkulak selalu siap memperdaya mereka sehingga hasil perikanan tak pernah sesuai dengan harga pasar. Wanita-wanita suku Bajo yang tinggal dekat kawasan yang begitu permai, Taman Laut Bunaken, Sulawesi Utara, itu adalah korban dari lingkungan yang begitu maskulin.

Hampir 70 persen dari perempuan itu tak bisa baca-tulis-berhitung. Untunglah, ada Ona Djangoan, 25 tahun. Warga Desa Nain, Kecamatan Mori, yang hanya 20 mil dari pesisir Manado itu berhasil menyelesaikan pendidikan di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Manado, Jurusan Tarbiyah.

Mulanya, ia hanya mengajak para ibu di sana bertukar pikiran serta mengajari mereka membaca, menulis, dan berhitung.

Lambat laun, kegiatan itu menjelma jadi sekolah perempuan.Jangan bayangkan sebuah sekolah dengan gedung formal. Ruang kelas saja cuma mengambil tempat di surau desa. Waktu belajar hanya berlangsung setiap usai salat asar pada Sabtu dan Ahad.

Seiring dengan bertambahnya jumlah murid, kesibukan Ona bersama adiknya, Nurhayati, dan teman-temannya dari lembaga swadaya masyarakat Pilar Perempuan pun bertambah. Sekolah itu kini terbagi dalam dua kelompok: para ibu berumur 25-50 tahun dan remaja putri 13-25 tahun.

Mereka tak cuma diajari baca-tulis dan berhitung, tapi juga soal gender, kesehatan organ reproduksi, manajemen rumah tangga hingga penguatan ekonomi keluarga. Salah satunya, kata Ona,

”Mengolah rumput laut menjadi manisan.” Upaya mencerdaskan perempuan oleh sesama perempuan ini ternyata mulai merekah di beberapa daerah. Salah satunya di permukiman padat Gang Pelangi, Kelurahan Rawajati Barat, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan.

Sebuah permukiman persis di tepi Kali Ciliwung. Sudah tiga tahun ini di permukiman padat tersebut sekelompok aktivis dari LSM Kapal Perempuan menggelar sekolah bagi kaumnya.

Hanya beralas tikar atau terpal, proses belajar dimulai. Papan tulis ditempel berimpitan dengan jemuran pakaian. Bila hujan menitik, sekolah langsung bubar karena takut air sungai meluap.

Sekolah ini hanya buka setiap Senin dan Selasa, setelah segala urusan rumah selesai. Para siswi yang jumlahnya sekitar 20-30 orang belajar bermacam hal, dari membaca, kesehatan organ reproduksi, keterampilan merangkai bunga, mendirikan koperasi simpan-pinjam, hingga membuat virgin coconut oil.

Ada pula pelajaran tentang hak asasi, pluralisme, dan bahasa Inggris. ”Pada akhirnya mereka diajari agar melek huruf, melek gender, dan melek ekonomi,” ujar Yanti Muchtar, Direktur Kapal Perempuan. Sekolah serupa didirikan empat bulan sebelumnya di Kampung Jati, Kelurahan Jatinegara Kaum, Jakarta Timur.

Setelah tiga tahun, hasil sekolah-sekolah itu mulai terlihat. Para ibu kian pintar, kritis, dan terampil. Mereka juga makin mandiri dalam berusaha, misalnya membuat jasa layanan pembayaran tagihan listrik.

Setelah lulus, beberapa alumninya ikut membantu sebagai mentor atau pengurus. Sesekali mereka tampil di seminar pendidikan.Maraknya sekolah perempuan sebetulnya merupakan penjabaran program Pendidikan untuk Semua yang dicanangkan Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Budaya (UNESCO) pada 1994.

Jenis pendidikan seperti ini kerap terlewat dari agenda pemerintah. Tak mengherankan, angka buta huruf perempuan masih tinggi. Pada 2006, dari 13,2 juta rakyat Indonesia yang menderita buta aksara dan terbelakang, 10 juta di antaranya adalah perempuan.

Kondisi itu, menurut Yanti, disebabkan kemiskinan, keterpencilan tempat tinggal, sulitnya mengakses pendidikan, dan faktor budaya. Juga, rendahnya partisipasi sebagian pemerintah daerah terhadap pemberantasan buta aksara.

Padahal, target pemerintah: pemberantasan buta aksara sudah harus tercapai pada 2015. ”Minimal berkurang hingga 5 persen sampai 2009,” kata Sudjarwo, Direktur Pendidikan Masyarakat, Departemen Pendidikan Nasional.

Karena itu, usaha-usaha para perempuan untuk menolong kaumnya sungguh merupakan bantuan yang patut dihargai.

Nugroho Dewanto, Widiarsi Agustina

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus