Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

18 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Klarifikasi Goldman

Bersama surat ini, kami dari APCO Indonesia selaku Public Affairs and Media Consultant Goldman Sach LLC ingin memberikan klarifikasi berkaitan atas artikel berjudul Tanker di Pusaran Senayan, yang dimuat dalam majalah Tempo edisi 17 September 2006.

Dalam paragraf ke-7 artikel tersebut disebutkan: ”dasarnya, penunjukan langsung Goldman dan keterlibatan Equinox dalam kemenangan Frontline yang ternyata anak perusahan Goldman.”

Perlu kami sampaikan bahwa Goldman tidak memiliki kaitan dan hubungan apa pun dengan Frontline Ltd. Jadi, tidak benar Frontline adalah anak perusahaan Goldman. Kedudukan Goldman adalah kustodian yang mewakili kepentingan investor.

Goldman memang memiliki saham di Frontline Ltd. yang jumlahnya sangat sedikit, sebagaimana Goldman juga memiliki saham di ribuan perusahaan terbuka (listing companies) yang lain.

Ratih Hardjono Falaakh Director of Public Affairs PT APCO Indonesia

- Terima kasih atas klarifikasi Anda–Redaksi.


Hak Kami Dizalimi

Kami adalah karyawan PT Binakarya Sarana Insurance Brokers yang merupakan unit usaha dari DAPENBI (Dana Pensiun Bank Indonesia)/YKK-BI (Yayasan Kesejahteraan Karyawan Bank Indonesia). Sampai surat ini dibuat, pengangkatan kami sebagai karyawan lewat surat pengangkatan/penerimaan karyawan tidak pernah dibatalkan atau dicabut.

Permasalahan timbul saat kami menuntut hak berupa gaji yang belum diselesaikan sampai saat ini. Bahkan, ada yang belum mendapat hak tersebut sejak Juli 2005. Setiap kami bertanya ke manajemen, jawabannya selalu dijanjikan akan diperhatikan dan diselesaikan saat ada dana.

Namun, saat dana tersedia—yang bersumber dari hasil kerja kami—ternyata, hak-hak kami kembali diabaikan.

Kami sudah berusaha menghubungi direksi PT Binakarya Sarana Insurance Broker & Consultant, Bapak Radjikin A. Latief, juga ke PT Binakarsa Swadaya sebagai pemilik saham, dan komisaris Bapak J. Toegono. Kami juga sudah menyurati Dewan Gubernur Bank Indonesia, DAPENBI, YKK-BI, dan Departemen Keuangan, namun tak ada yang memperhatikan.

Kami berharap pihak direksi, pemegang saham dan Bank Indonesia segera dapat menyelesaikan masalah ini sehingga hak kami terpenuhi dengan baik.

H.A. Stanley Soripada Jalan Sedap Malam A.2/23 Pamulang, Tangerang


Keberatan Pendirian Sekolah St. John

Bapak Menteri Perumahan Rakyat yang terhormat, atas nama pengurus RW 2 dan 14 Kelurahan Rawabuntu, serta RW 6 Kelurahan Mekar Jaya, Kecamatan Serpong, Kabupaten Tangerang, Banten, kami ingin menyampaikan aspirasi.

Sebagian besar warga di wilayah RW kami mengeluh dengan adanya pembangunan sekolah St. John di sektor XII Kencana Loka Perumahan Bumi Serpong Damai.

Pertimbangannya:

  1. Sejak proses perizinan pembangunan sekolah, sebagian besar warga sebetulnya menyatakan ketidaksetujuannya atas rencana pembangunan sekolah tersebut.
  2. Berbagai upaya telah dilakukan melalui jalur pemerintah daerah setempat. Namun, berbagai upaya tersebut tetap tidak mendapat perhatian sampai kemudian kami mendengar izin mendirikan bangunan (IMB) sekolah tersebut sudah dikeluarkan oleh Bupati Tangerang.
  3. Dengan segala kerendahan hati, kami masih mempunyai harapan melalui Kementerian Perumahan Rakyat agar Bapak berkenan mengklarifikasi permasalahan tersebut. Kami bisa membuktikan bahwa semua proses perizinan yang dikeluarkan Bupati tidak sesuai dengan jalur semestinya. Selanjutnya, warga tetap mengharapkan sekolah tersebut dapat dipindahkan ke tempat yang lebih memadai.

Besar harapan kami Bapak berkenan menanggapi keluhan ini. Bila diperlukan, kami siap menyampaikan kronologi permasalahan tersebut beserta file data pendukungnya.

H. Syarlie Achmad, SE (Ketua RW 6 Rawa Mekar Jaya) Martha Bachtiar (Ketua RW 14 Rawabuntu) H.A. Alrasman (Ketua RW 2 Rawabuntu)


Hindari Tindak Kekerasan

Kekerasan tak menyelesaikan masalah, justru menambah masalah. Semua pihak tentu sepakat bahwa tindak kekerasan merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan hukum. Bahkan, semua agama tak mengajarkan tindak kekerasan kepada umatnya. Karena itu, hindari kekerasan dalam kehidupan sehari-hari.

Jika dicermati, akhir-akhir ini banyak terjadi kekerasan yang memanfaatkan atau melibatkan agama tertentu sehingga menjadi konflik yang mengarah ke suku, agama, dan ras (SARA). Bahkan dalam satu agama juga terjadi konflik, dan penyelesaiannya tak jarang juga menggunakan kekerasan. Padahal, masalah tersebut sebenarnya bisa diselesaikan lewat musyawarah, atau dibawa ke pengadilan.

Berkait dengan masalah penyalahgunaan agama untuk aksi kekerasan, para tokoh agama yang bersidang dalam World Conference on Religion for Peace (WCRP), atau Konferensi Dunia Agama untuk Perdamaian, sepakat menolak dan menentang setiap penyalahgunaan agama untuk kepentingan tindak kekerasan.

Dalam keterangan persnya, di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jakarta, Senin dua pekan lalu, Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Djohan Efendi, menyatakan, lembaganya telah mewakili Indonesia untuk menghadiri WCRP yang menghasilkan Deklarasi Kyoto. Konferensi yang dihadiri ratusan tokoh dari berbagai agama di seluruh dunia ini sepakat menentang kekerasan dan memperjuangkan rasa aman bersama.

Forum tersebut juga bertekad untuk menjadi pendidik yang berhasil guna, membela pelaku transformasi konflik, menegakkan keadilan dan membangun perdamaian dan kemajuan yang berkesinambungan, serta menguatkan pendidikan perdamaian di setiap lapisan.

Sekali lagi, semua pihak hendaknya mengedepankan musyawarah untuk menyelesaikan setiap persoalan. Jika tak berhasil, sebaiknya dibawa ke pengadilan. Hindari tindak kekerasan dalam menyelesaikan masalah, dan jangan membawa-bawa agama untuk melakukan kekerasan.

Aufa Jatmiko Taman Yasmin, Kota Bogor


Hukum Mati Pengedar Narkoba

Narkoba merupakan salah satu penyebab terjadinya tindak kejahatan dan bobroknya mental generasi muda. Karena itu, pengedar narkoba selayaknya dihukum mati sehingga pengedar lain menjadi jera.

Selama ini, Indonesia menjadi lahan primadona pengedaran narkoba karena hukumannya ringan dan pengawasannya longgar. Hal itu dimanfaatkan para bandar narkoba. Walhasil, mereka dengan mudah mengedarkan dan menyelundupkan narkoba dan aneka produk psikotropika berbahaya lainnya. Bahkan, kabar terakhir, polisi menemukan sabu-sabu hampir satu ton di Teluk Naga, Tangerang, Banten. Sungguh luar biasa. Jika satu gram sudah dapat membuat 10 orang teler, maka satu ton sabu-sabu bisa membuat puluhan juta orang Indonesia teler.

Saya setuju polisi memburu pengedar narkoba sampai di mana pun untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya Dalam urusan ini, Mabes Polri telah berkoordinasi dengan Kepolisian Singapura dan Hong Kong untuk mengejar tiga orang yang masuk daftar pencarian orang (DPO) terkait dengan penemuan sabu-sabu di Teluk Naga.

Kapolri Jenderal Polisi Sutanto menyebut ketiga orang itu adalah Cong Yu Hwa, Mr. Lau, dan Mr. Chen (warga negara Hong Kong). Diperkirakan, mereka sudah melarikan diri ke Singapura. Karena itu, untuk melakukan pengejaran, polisi Indonesia melakukan koordinasi dengan Direktur Narkotik Sentral Biro Singapura dan Kepolisian Narkotik Hong Kong.

Jika hukuman mati bagi pengedar narkoba dijatuhkan, seperti di Singapura dan Malaysia, orang tak akan mudah dan berani mengedarkan narkoba di Indonesia. Mereka pasti akan berpikir ulang untuk menjalankan aksinya. Sejalan dengan itu, jika masyarakat menemukan pengedar narkoba, sebaiknya segera lapor kepada aparat keamanan setempat.

Rifa Irtafa Taman Pagelaran, Ciomas, Bogor


Segera Eksekusi Tibo

Penegakan supremasi hukum merupakan salah satu agenda pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Karena itu, semua pihak harus menghormati keputusan hukum yang bersifat tetap, termasuk eksekusi mati bagi Tibo dan kawan-kawan.

Apabila pemerintah tak ingin dicap ragu-ragu dalam menegakkan hukum, maka aparat yang berwenang harus segera melaksanakan keputusan pengadilan yang memvonis hukuman mati bagi Tibo dan kawan-kawan.

Berkait dengan pelaksanaan hukuman mati bagi Tibo, Senin dua pekan lalu, sekitar 5.000 warga kecamatan Poso Kota dan Poso Pesisir menggelar aksi unjuk rasa di Kota Poso, Sulawesi Tengah. Mereka mendesak percepatan pelaksanaan eksekusi mati terhadap Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu—ketiganya terpidana kasus kerusuhan Poso pertengahan tahun 2000. Dalam jumlah besar, para demonstran memusatkan aksinya di kantor Bupati Poso, gedung DPRD Poso, dan kantor kejaksaan negeri setempat.

Pada kesempatan itu, perwakilan pengunjuk rasa membacakan pernyataan sikap, yakni mendesak percepatan eksekusi Tibo dan kawan-kawan, dan meminta aparat penegak hukum menangkap dan memproses 16 nama yang disebutkan Tibo sebagai dalang kerusuhan Poso. Mereka juga mendesak pihak berwajib melanjutkan penggalian kuburan massal di sejumlah tempat dalam wilayah Kabupaten Poso, termasuk di Desa Sintuwu Lembah, Kecamatan Lage (sekitar sembilan kilometer arah selatan Poso), sebagai bukti kebiadaban para pembantai.

Mudah-mudahan, kasus Poso segera dapat diselesaikan dan tak ada pihak yang merasa dirugikan. Begitu pula dengan kasus Tibo dan kawan-kawan, hendaknya tidak dibiarkan berlarut-larut. Sebab, prosesnya sudah sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. Berlarut-larutnya penyelesaian kasus hukum akan menurunkan wibawa hukum dan kepercayaan publik kepada aparat keamanan dan pemerintah.

Dini Kinanthi Lenteng Agung, Gang 100, Jakarta


Waspadai Bahaya Laten PKI

Partai Komunis Indonesia (PKI) tak pernah mati dan harus tetap diwaspadai sebagai bahaya laten. Dilihat dari sejarahnya, mulai 1948 sampai 1965, PKI tak pernah berhenti untuk terus memperjuangkan ideologinya. Berbagai cara telah mereka lakukan, termasuk dengan cara yang sangat tidak manusiawi seperti yang terjadi pada 30 September 1965.

Setelah lama berdiam diri, kini tak tertutup kemungkinan PKI akan kembali melakukan aksinya. Munculnya simbol palu arit di Bogor beberapa waktu lalu, juga temuan aksesori PKI di Sukabumi belum lama ini, semakin menguatkan dugaan itu. Organisasi yang dilarang pada masa Orde Baru itu tengah menggeliat dan akan bangkit kembali.

Sejak runtuhnya Orde Baru dan adanya rongrongan pembubaran Komando Teritorial TNI, pendukung PKI semakin berani menyuarakan aspirasinya. Munculnya lambang-lambang partai seperti palu dan arit di Bogor bisa dimaknai sebagai test case untuk mengetahui reaksi pemerintah tentang hal ini, khususnya dari TNI-AD.

Kejadian di Bogor tak boleh disepelekan karena aktor intelektual PKI selalu memantau tindakan pemerintah, khususnya tentara, dalam menyikapi pancingan-pancingan yang mereka munculkan. Aparat teritorial TNI bersama polisi hendaknya segera mengetahui strategi besar yang sedang mereka kerjakan. Saya yakin ada skenario besar di balik semua itu.

Suherrman A. Griya Alam Sentosa L.16, Bogor


Prihatin Koruptor Bebas

Kita pantas prihatin dengan banyaknya tersangka korupsi yang bebas di pengadilan. Padahal, bukti-bukti yang dikumpulkan polisi sudah cukup untuk menjerat para koruptor itu. Lemahnya koordinasi mungkin menjadi salah satu penyebab bebasnya para koruptor itu.

Koruptor memang orang yang pintar menyiasati sesuatu menjadi peluang untuk mengeruk kekayaan, juga pintar mencari peluang untuk bebas dari jeratan hukum. Banyak tersangka korupsi bebas karena kurang bukti, tidak lengkapnya hasil penyidikan, dan sebagainya.

Contoh yang paling akhir yaitu bebasnya Direktur PLN Eddie Widiono dari jerat hukum. Sampai-sampai, kasus ini menjadi bahan perdebatan dalam rapat kerja Komisi III DPR RI dengan Kapolri Jenderal Polisi Sutanto, Senin dua pekan lalu.

Bahkan, perdebatannya menyita waktu selama satu jam—alokasi yang lebih lama dibanding pembahasan masalah pengungkapan kelompok perdagangan sabu-sabu yang baru saja ditangkap polisi di Teluk Naga, Tangerang, Banten. Dalam forum itu, sejumlah anggota Komisi III DPR mempertanyakan kerja sama antara polisi dan kejaksaan dalam menangani kasus Eddie.

Para anggota Dewan jangan hanya bertanya, tapi harus memberikan solusi agar para koruptor itu bisa dijerat hukum. Para koruptor jangan diberi hati, nanti malah kabur ke luar negeri. Mohon aparat penegak hukum selalu berkoordinasi agar para koruptor dapat dihukum seberat-beratnya.

Rico Graisnanda Bumi Panggugah, Ciomas, Bogor

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus