Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIM Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo akhirnya dibentuk pemerintah pusat pada 8 September lalu. Sulit untuk mengatakan keputusan ini tidak terlambat. Hitung saja. Tim baru dibentuk 101 hari setelah lumpur pertama kali muncrat dari areal pengeboran gas PT Lapindo Brantas. Akibat buruk eksplorasi gas oleh anak perusahaan Grup Bakrie itu sudah sangat luas.
Sekitar 10.000 penduduk terpaksa mengungsi—besar kemungkinan untuk selama-lamanya. Lebih dari 1.800 rumah penduduk terbenam lumpur. Dua kantor pemerintah, 18 gedung sekolah, 20 pabrik, dan 15 masjid telah berada di bawah permukaan lumpur. Daerah permukiman penduduk dan sawah yang ditelan danau lumpur sudah 350 hektare.
Bagi Anda yang pernah datang ke Jakarta, danau lumpur itu sekarang bisa dibayangkan luasnya sama dengan seluruh areal Gelora Senayan. Jika terus menyembur tanpa henti sampai 100 hari mendatang, dan setiap hari dibutuhkan satu hektare danau penampung baru, luasnya nanti sama dengan areal eks Bandar Udara Kemayoran yang 450 hektare.
Jelas saja PT Lapindo Brantas, perusahaan dengan jumlah karyawan tetap kurang dari 100 orang itu, tak sanggup bergerak lebih cepat mengatasi akibat semburan, terutama akibat sosial. Penduduk mulai marah lantaran kehidupan sehari-hari mereka rusak. Hidup mereka seakan dijepit oleh genangan lumpur, yang lengket, yang berbau menyengat. Protes dan demonstrasi, antara lain dengan beberapa kali memblokir jalan tol Surabaya-Gempol, merupakan ekspresi kemarahan itu.
Bahkan Pemerintah Daerah Kabupaten Sidoarjo pun diragukan kapasitasnya untuk menanggulangi akibat buruk semburan lumpur itu. Bupati Sidoarjo sudah menghabiskan hampir seluruh jam kerjanya untuk menyelamatkan penduduk setempat dan fasilitas vital seperti jalur kereta api serta jalan tol. Mungkin Gubernur Jawa Timur juga melakukan hal serupa. Tapi kita tahu, di negeri ini tak ada komando yang jelas. Pembagian kerja yang apik merupakan barang langka.
Soal tempat pembuangan lumpur merupakan contoh kaburnya jalur komando itu. Pemegang kuasa di daerah mula-mula setuju air yang dipisahkan dari lumpur dibuang ke Kali Porong, sesuai dengan saran tim ITS Surabaya. Tapi tiba-tiba ada titah dari pusat bahwa lumpur tak boleh keluar dari kawasan itu. Pejabat yang seharusnya bicara tentang kebijakan politis ikutan-ikutan bicara teknis. Usaha mengurangi tekanan lumpur di waduk penampung, dengan memisahkan air dari lumpur, akhirnya gagal. Setelah itu, tak seorang pun pejabat daerah yang berani mengambil keputusan strategis.
Kalau sudah begini, mungkin yang diperlukan adalah lembaga yang kuat dengan kewenangan penuh untuk bergerak cepat. Katakanlah semacam badan otorita. Lembaga semacam ini dibutuhkan mengingat yang harus ditangani bukan saja soal teknis mengatasi semburan lumpur, melainkan juga membereskan semua akibat dari kasus ini pada penduduk sekitar dan bahkan pada Kota Sidoarjo.
Status badan otorita akan memberikan kewenangan besar kepada lembaga itu untuk menginstruksikan instansi mana pun di negeri ini, termasuk TNI, untuk ambil bagian. Tim Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo, yang dipimpin seorang kepala penelitian dan pengembangan di Departemen Pekerjaan Umum, terus terang diragukan mempunyai kewenangan sebesar yang semestinya dimiliki kepala badan otorita.
Langkah koreksi perlu dikerjakan. Kali ini harus lebih cepat daripada menjalarnya lumpur panas yang terus muncrat entah sampai kapan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo