Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Surat dari Redaksi
SENIN pekan lalu Bambang Harymurti, 48 tahun, terlihat sibuk membawa dua ember hitam di kantor Tempo di Kebayoran Center, Jakarta Selatan. Tak lama kemudian, saat memberikan sambut-an dalam acara ulang tahun Koran Tempo kelima itu, Direktur Pemberita-an dan Produksi PT Tempo Inti Media Tbk ini memanggil Toriq Hadad dan S. Malela Maharga-sarie ke depan. Kepada mereka masing-masing diberikan satu ember hitam berisi handuk, sikat dan pasta gigi, serta obat gosok anti-nyamuk. "Ini pertanda mereka sekarang mesti siap-siap masuk taha-nan," kata Bambang.
Masuk tahanan? Te-ntu sa-ja Bambang tak serius. Ia c-uma i-ngin secara simbolis dan h-u-moris mengumumkan peng-ang-katan Toriq Hadad dan Malela sebagai pemimpin redaksi yang baru alias menjadi pemanggul tanggung jawab pemberitaan di media masing-masing. Toriq, yang sempat setahun menjadi pemimpin redaksi di Koran Tempo dan pekan depan akan berulang tahun ke-46, kini kembali ke majalah dan menjadi orang nomor satu di Jalan Proklamasi 72, Jakarta Pusat. Sebaliknya, Malela, 46 tahun, yang merupakan anggota tim inti penerbitan Koran Tempo, pulang kandang untuk memimpin harian ini setelah setahun menjadi redaktur eksekutif (RE) di majalah.
Perputaran posisi para pengelola koran dan majalah seperti ini memang merupa-kan hal yang rutin terjadi sejak Koran Tempo terbit. Kebijakan ini dimaksu-dkan sebagai upaya mensinergikan kegiatan ke-dua penerbitan yang berbeda kantor itu. Bersama Toriq, misalnya, Diah Purnomo-wati, 46 tahun, turut pindah ke Menteng karena menjadi RE majalah, setelah tiga tahun berkantor di Kebayoran dan ter-akhir menjadi RE koran.
Posisi yang ditinggalkan Diah itu kini di-isi oleh Wahyu Muryadi, 42 tahun, yang telah pindah kantor dari Menteng ke Kebayoran dua tahun silam untuk menjadi RE di Tempo News Room (TNR). Jabatan Wahyu di kantor berita internal Tempo itu sementara ini akan tetap dirangkap, sedangkan posisi Pemimpin Redaksi TNR yang sebelumnya dijabat Ba-mbang Harymurti kini digantikan Malela. Untuk membantu ke-dua wartawan senior yang pasti sibuk ini telah diangkat Daru Priambodo, 42 tahun, sebagai wakil RE di TNR.
Selain Daru, keempat pe-tinggi baru Tempo itu merupa-kan generasi yang dibesarkan di majalah Tempo sebelum dibredel pemerintah pada 1994. "Saya satu generasi dengan mereka, dan tugas berat kami sekarang adalah bagaim-ana memilih dan menyiapkan ca-lon-calon pemimpin Tempo dari generasi setelah pembredelan," kata Bambang. Siapa pun mereka tentu harus siap menerima estafet ember hitam dari generasi sebelumnya. Bukan sembarang ember, melainkan simbol kesediaan mempertahankan hak publik untuk memperoleh informasi kendati untuk itu harus berisiko kehilangan kemerdekaan pribadi. Kami optimistis para calon itu akan segera kami temukan.
Tanggapan ExxonMobil
Kami ingin menjelaskan beberapa hal da-lam artikel berjudul Tapping the Archipe-lago dalam Tempo edisi 27 Maret-2 April 2006. Kami prihatin dengan pernyataan bahwa ExxonMobil telah mengambil ba-nyak kekayaan negara dan hanya meninggalkan sisa-sisanya saja bagi masyarakat di sekitar lokasi operasi.
Pernyataan tersebut adalah per-nyataan yang tidak berdasar. Penting untuk di-ketahui bahwa Indonesia telah ba-nyak mendapatkan keuntungan dari hasil pro-duksi kekayaan alam dari daerah tempat anak perusahaan ExxonMobil telah melakukan aktivitas usaha di bidang hulu migas.
Sebagai kontraktor kontrak kerja sama untuk Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), selama lebih dari 35 tahun ExxonMobil Oil Indonesia Inc. (EMOI) telah mengelola ke-giatan bisnis hulu migas di Aceh, yang dalam hal ini Indonesia telah menerima keuntungan lebih dari 70 persen.
Selain di Aceh, anak perusahaan Ex-xon-Mobil juga mengadakan aktivitas bisnis hulu migas di wilayah-wilayah lain di Indo-nesia. Kami menginvestasikan lebih dari US$ 17 miliar dan mempekerjakan secara langsung lebih dari 600 pegawai yang 96 persennya adalah orang Indonesia.
Sementara itu, perusahaan kontra-ktor yang membantu anak perusahaan Exxon-Mobil di dalam kegiatan hulu tersebut mempekerjakan sekitar 900 orang. Di Aceh, tempat EMOI beroperasi, lebih dari 85 per-sen tenaga kerja kami adalah masyarakat Aceh yang tinggal di lingkungan sekitar daerah operasi.
Dengan komitmen yang kuat untuk masa depan Indonesia, anak perusahaan Exxon-Mobil berusaha secara konsisten untuk men-jadi warga masyarakat yang bertanggung jawab di daerah mereka melakukan aktivitas usaha hulunya.
Anak perusahaan ExxonMobil di Indonesia memfokuskan kegiatan pengembangan masyarakatnya pada empat bidang: pendidikan, kesehatan masyarakat, pengembang-an ekonomi, dan lingkungan hidup.
Kami juga prihatin dengan tuduhan dari beberapa ahli geologi yang menyatakan bah-wa ExxonMobil akan mengeringkan ladang minyak Bojonegoro dalam waktu 10 tahun dan bahwa Saudara Abdul Muthalib Masdar, Ketua Asosiasi Ahli Geofisika Indonesia, mengatakan bahwa ExxonMobil hanya akan menyisakan sedikit sekali bagi pemerintah dan rakyat Indonesia. Dengan ini kami informasikan kepada Anda bahwa pernyataan tersebut tidak berdasar.
Anak perusahaan ExxonMobil, Mobil Cepu Ltd. (MCL) dan Ampolex (Cepu) Pte. Ltd. bersama dengan PT Pertamina EP Cepu akan bekerja sama untuk mengembangkan Blok Cepu. Pengembangan Blok Cepu akan memberikan keuntungan yang signifikan bagi Indonesia, sekitar 93 persen dari seluruh keuntungan akan diberikan kepada pemerintah, dan ExxonMobil akan mendapatkan sisa dari pembagian keuntungan tersebut.
Kami berharap agar wartawan Tempo dapat secara langsung menghubungi Ex-xonMobil untuk mengklarifikasi permasa-lahan di atas. Kami akan senang hati be-kerja lebih dekat lagi dengan mereka, untuk me-mastikan ketepatan berita dan artikel yang berimbang di masa depan.
Seperti juga praktek perusahaan ExxonMobil lainnya di seluruh dunia, di Indone-sia kami juga bekerja keras untuk transpa-ran dan kooperatif dalam bekerja sama de-ngan mitra lokal dan pemerintah, agar men-jadi warga korporat yang baik dan badan usa-ha yang kooperatif bagi masyarakat sekitar daerah operasional kami.
PETER J. COLEMAN ExxonMobil Oil Indonesia
Travel Warning: Teror atas Teror
Seakan menjadi rutinitas negara adikuasa seperti Amerika Serikat dan sekutunya Australia untuk selalu mengeluarkan tra-vel warning bagi warganya di negara yang dicurigai menjadi sarang teroris, se-per-ti Indonesia.
Sebenarnya, sebagai sebuah peringat-an, travel warning merupakan hal wajar. Ta-pi menjadi tidak wajar apabila dari seki-an travel warning tersebut tak pernah ter-bukti, kecuali ketakutan-ketakutan yang di-tim-bulkan akibat travel warning ter-sebut.
Dampak negatif lainnya adalah, apabila- dari sekian travel warning tersebut tidak ada satu pun yang terbukti, maka pada a-khir-nya akan menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap peringat-an tersebut. Dan pada titik ini, teroris bisa betul-betul mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Karena itu, perlu pertimbangan yang matang dan sikap yang sangat hati-hati bagi negara seperti Amerika, yang dikenal canggih dalam hal keamanannya, dalam mengeluarkan travel warning, sehingga ti-dak merugikan negara yang dituduh sebagai sarang teroris. Bahkan bila hal ini terus- dilakukan dan disebarkan tanpa buk-ti konkret, maka kita patut curiga, jangan-jangan ini merupa-kan bentuk teror baru terhadap masyarakat Indonesia.
Kita perlu berhati-hati, tapi juga ja-ngan mu-dah terpengaruh oleh travel warning yang dikeluarkan oleh negara lain seperti Amerika dan Australia. Siapa tahu, ini h-a-nya strategi untuk meneror kita atas nama terorisme. Kita harus percaya pada kemam-puan diri kita untuk mengatasi masalah terorisme, tanpa terprovokasi negara lain.
Zainul BahriJalan Kertamukti, PisanganCiputat, Tangerang
Tanggapan Tulisan Proyek MRT
Ada beberapa hal yang perlu diklarifi-kasi sehubungan dimuatnya artikel Tak Je-pang, Siapa pun Jadi, pada Tempo edisi- 2 April 2006. Tulisan itu berfokus pada pro-yek- Jakarta Mass Rapid Transportation (MRT) dan pinjaman ODA (Official Deve-lopment Assistance/Bantuan Pembangun-an- Resmi) Jepang (atau pinjaman Yen JBIC).
Proyek MRT sebenarnya telah dibahas cukup lama dan disiapkan selama bertahun-tahun antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Jepang. Melalui persiap-an ini, tahun lalu pemerintah Indonesia secara resmi mengajukan permintaan kepa-da pemerintah Jepang di bidang sistem transportasi umum perkotaan (STEP).
STEP sendiri merupakan persyaratan yang paling konsesional/lunak dalam skema pinjaman ODA Jepang dan bertujuan mempromosikan penggunaan teknologi dan pengetahuan Jepang di bidang yang spesifik. Contohnya tentang keselamatan MRT perkotaan, di mana Jepang telah memiliki berbagai pengalaman terakumulasi dan sudah berkembang lama.
Mengenai pengadaan "komponen lokal" sebagaimana disebutkan dalam artikel ter-sebut, satu-satunya persyaratan berdasarkan STEP yang kami ajukan adalah se-ba-gai berikut: Para kontraktor utama harus di-pilih dari perusahaan-perusaha-an Je-pang- yang telah memiliki pengalam-an dan teknologi. Sebagai kontraktor u-tama, juga dapat diterima joint ventures (JV-patung-an) perusahaan-perusahaan Indo-nesia dan perusahaan Jepang, dengan syarat por-si jumlah perusahaan Jepang adalah le-bih dari 50 persen. Persyaratan untuk- sub-kontraktor adalah untied (tidak mengikat) dan 100 persen terbuka bagi perusahaan-per-usahaan Indonesia.
Total biaya barang (termasuk perleng-kap-an dan bahan konstruksi) yang diper-oleh dari Jepang harus tidak kurang dari 30 persen jumlah total berbagai kontrak yang didanai pinjaman ODA Jepang. De-ngan ka-ta lain, sekitar 60-70 persen ba-rang,- termasuk perlengkapan dan bahan kon-struksi,- dapat diperoleh di Indonesia atau dari ne-gara lain di luar Jepang.
Proyek MRT tidak tercakup dalam pa-ket pinjaman ODA Jepang untuk tahun fiskal- 2005 karena adanya permintaan baru (p-in-jaman untied/tidak mengikat) yang diajukan pemerintah Indonesia pada bulan Ma-ret tahun ini. Meski demikian, tidak ter-tutup peluang pembahasan bagi proyek ini jika ada pertimbangan kepada pihak J-e-pang.
Masafumi KurokiCharge d'Affaires Ad InterimKedutaan Besar Jepang untuk Indonesia
Banyak Jalan Menuju Australia
Banyak cara anggota DPR untuk ja-lanjalan ke luar negeri, termasuk renca-na kunjungan sejumlah anggota Komisi I DPR ke Australia. Alasan mereka agar terkesan serius adalah untuk melakukan lobi dan klarifikasi terkait dengan masalah hubung-an kedua negara yang sedang memburuk. Alasan ini sangat masuk akal, tapi tidak proporsional.
Sejak kapan anggota DPR peduli de-ngan urusan luar negeri Indonesia sehingga ha-rus melancong ke luar negeri? Biasanya me-reka hanya bernafsu dengan urusan pri-ba-di dan dalam negeri. Mulai rencana me-naik-kan gaji sampai hak interpelasi yang tak pernah punya nyali.
Lagi pula, urusan Indonesia-Australia ada-lah urusan pemerintah Indonesia de-ngan Australia. Kalau anggota DPR ingin membantu menyelesaikan masalah hubung-an kedua negara tersebut, cukup berdialog atau mengundang Duta Besar Australia di Jakarta atau memberikan pernyataan ke-ras terhadap tingkah laku politik Australia. Khususnya, terkait dengan pemberian visa sementara terhadap 42 warga Papua.
Kalau anggota DPR tetap ngotot ke Australia, entah apa hasil yang dapat dib-awa dari Australia yang dapat diberikan ke-pada Indonesia. Namun, yang pasti, kepergian me-reka dapat menghabiskan anggar-an ne-gara. Lagi-lagi, anggota DPR berbuat untuk sesuatu yang tidak berman-faat bagi rakyat. Entah sampai kapan perila-ku mencari celah atau kesempatan ini menjangkit dalam tubuh anggota DPR.
Amelia NaomiJalan Kampung Utan Raya, Ciputat, Tangerang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo