Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Mengalir Seperti Sungai Berlumpur

Si Burung Camar mulai terbang lagi. Dua bulan lalu ia menggelar konser tunggal bersama Addie M.S. Hidup tanpa cita-cita, keinginannya simpel: punya satu album baru dan seorang bayi.

10 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tingginya cuma 165 cm. Tapi di atas panggung lebar Plenary Hall, Jakarta Convention Center, Feb-ruari lalu, ia kelihatan semampai. Ia, Vina Panduwinata, memang tampak menjulang, dan cukup lama bertengger pada ketinggian itu.

Dari panggung, matanya menyapu penonton di barisan terdepan. Mereka ikut menyanyi, lelaki-perempu-an dengan uban yang mulai tumbuh, potongan tubuh yang mulai melar, juga anak-anak remaja—semua lebur dalam hits-nya dulu, Di Dadaku Ada Kamu, Bawa Daku, Aku Makin Cinta, atau

Burung Camar. Mereka pandai menyenandungkan me-lodi lagu-lagunya, mengikuti setiap liriknya. Ya, secara diam-diam regenerasi penggemar penyanyi yang menjadi bintang terang pada 1980-an iniberlangsung.

Vina Panduwinata, kita tahu, lagu-lagunya lincah tanpa beban. Lagu-lagu yang telah melampaui batas-batas kedaluwarsa rata-rata lagu-lagu pop sejenis. Bertahun-tahun ia menghilang dari hiruk-pikuk dunia hiburan, tapi malam itu ia membuat enam ribu penonton di Plenary Hall terpaku selama tiga jam. Ia tetap Vina yang dulu, amat mempesona: centil, suaranya serak-serak basah. Dan malam itu ia bahagia sekali.

”Tuhan memberi kebahagiaan tak terkira,” katanya, dua minggu setelah konser itu. Adakah ambisinya terjangkau sudah?

Vina atau Vina Dewi Sastaviyana Panduwinata lahir di Bogor pada 1959. Ayahnya, R. Panduwinata, berdarah Sunda; sedangkan ibunya, Albertine Supit, keturunan Ambon. Sedari kecil ia sudah belajar mengenyahkan ego: menomorsatukan orang lain, menomorduakan dirinya. Dari sang ibu, Vina mewarisi bakat me-nyanyi yang luar biasa itu, juga me-nyerap pandangan hidupnya, pandang-an seorang penyabar. Vina kecil, anak kedelapan dari 10 bersaudara, adalah si cilik yang pandai menyanyi, juga pintar mengalah terhadap keinginan adik-kakaknya.

Vina putri diplomat. Ia biasa meng-ikuti langkah ayahnya yang pa-njang—berdiam di satu negeri asing, lantas dalam sekejap melompat ke negeri a-sing lainnya. India, Belanda, lalu Jer-man. Alhasil, dari waktu ke w-aktu ia menyaksikan lingkungannya ber-ubah, tapi Vina tak pernah beranjak dari ka-rakternya: seorang anak de-ngan ke-inginan-keinginan yang seder-hana, sa-ngat sederhana dibandingkan d-engan anak seusianya. Di Jerman, ia me-na-mat-kan sekolah sekretaris, kemudian masuk pasar rekaman. Ia me-lantunkan lagu berjudul Java yang ber-cerita tentang keindahan Pulau Jawa, dan satu lagi berjudul Touch Me. Penjuala-nnya tak begitu menggembira-kan, tapi hidup-nya terus mengalir, seperti sungai berlumpur, bergerak lambat dengan keinginan-keinginan bersahaja: ia ingin menyanyi, ingin hidup bahagia.

”Saya bukan orang ambisius,” kata-nya, suaranya rendah.

Tapi Vina tidak berhenti mengalir. Di In-do-nesia, rekaman suaranya meng-ha-sil-kan banyak album. Citra Biru, C-itra Pesona, Citra Ceria, Cinta, Cium Pipi-ku—total jenderal 17 album kaset yang laris. Ia misalnya, juga merebut be-be-rapa penghargaan dalam fes-tival internasional. Buah karya Aryono H-u-bo-yo/Iwan Abdurahman yang sa-ngat ter-kenal, Burung Camar, meme-nangi Anugerah Kawakami dalam World Pop Song Festival di Tokyo. Masih p-a-da t-ahun yang sama, 1985, lagu Satu Da-lam Nada Cinta karya Bartje van Hou-ten yang dibawakannya men-jua-rai sua-tu festival televisi-radio Asia Pasifik.

Suara Vina memang istimewa. Mungkin kita bisa membayangkan: sese-orang turun dari langit dan membubuh-kan sesuatu pada pita suaranya. Addie M.S. yang menggodok musik Vina pada era 1980-an dan dalam konser tunggal di Plenary Hall barusan sangat terkesan. Vina membuka suaranya ta-n-pa latih-an, dan hasilnya tetap sama: seperti suara Vina di dalam re-kaman-rekam-annya—sesuatu yang pada umumnya dapat me-rusak pita suara penyanyi. ”Waktu konser dia sempat merokok se-isap dua isap sambil ganti pakaian,” kata Addie, mengingat kejadian dalam konser Vina terakhir.

Vina tak punya resep khusus buat me-rawat atau meningkatkan kualitas suaranya. Tapi ia punya resep meng-arungi hidup ini. Matanya bersinar-sinar ketika bercerita tentang perjalan-an ayahandanya, R. Panduwinata. ”Dia nyaris sempurna di mata saya; dari dia saya belajar hidup,” katanya. Ia tidak pernah lupa perkataan sang ayah: hidup hanya menuju kematian. Dan Vina yang menempuh jalan menyanyi punya tafsir sendiri. Hidupnya simpel: bergerak berdasar keinginan, bukan cita-cita. ”Kalau suami mela-rang, saya tidak akan menyanyi,” kata-nya. Dan kini, tidak ada yang lebih pen-ting dari suami dan anaknya, Joe-do Harvianto Kartiko, 16 tahun.

Vina menikah dengan pengusaha-mantan pembalap yang dicintainya, Boy Haryanto. Sejak itu ia menjalani rumah tangganya yang tenteram, se-pi dari gosip, dan dengan kesabaran. Pernah ia menunggu suami pulang, terkantuk-kantuk, berurai tangis. Ia sa-ngat ingin marah, berontak. Tapi ter-nyata bukan itu yang dilakukannya. Setiap kali mendengar langkah kaki Boy, Vina menghapus air mata-nya. Tersenyum menyambut sang suami. ”Akhirnya, dia berubah. Dengan me-ngalah saya mendapatkan yang le-bih baik,” katanya. Vina pintar memahami orang lain, dan karena itu pula, para penyanyi junior suka memanggil-nya Mama Inah.

Kini, Mama Inah telah berjalan jauh dan memperoleh banyak hal, termasuk sebentuk mahkota popularitas di kepalanya, sebutan Si Burung Camar—julukan yang pertama kali diucapkan penyanyi senior Kris Hendratmo. Vina kini masih punya keinginan lain. Dan ia tak tahu apakah itu bisa terwujud atau tidak. ”Aku masih ingin punya album baru dan punya anak lagi,” katanya. Keinginan yang terakhir, memberi adik bagi Vito yang sudah kelas 1 SMA, sering timbul-tenggelam.

Suatu masa dalam hidupnya, ia pernah berupaya mendapatkan anak lagi. Umurnya menjelang 40 tahun ketika itu, membuatnya seperti berkejaran dengan waktu. Usahanya berhasil, dia hamil. Ini barangkali kepahitan yang harus dia telan di antara banyak kebahagiaan: dia keguguran. Dokter memberi batas sampai umur 45 tahun. Kini, menjelang 47 tahun, si Burung Camar dengan berat hati harus mengubur keinginan punya bayi lagi.

Leanika Tanjung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus