Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koreksi Dradjad Wibowo
Perkenankan saya menyampaikan apresiasi yang sangat tinggi kepada Tempo yang telah mengundang saya menulis arti-kel tentang Blok Cepu. Undangan tersebut, yang juga disampaikan kepada Sdr. Rizal Mallarangeng, mencerminkan kebijakan Tempo untuk cover both sides. Ini adalah sebuah langkah menjaga independensi, netra-litas, dan kredibilitas yang patut di-acungi jempol.
Saya sangat menghormati hak redaksi untuk melakukan penyuntingan terhadap naskah asli dari penulis. Namun, sebagai se-orang yang sangat menjaga akurasi fakta dan data, baik dalam komentar maupun tulisan, perkenankan saya menyampaikan koreksi sebagai berikut.
Pada alinea terakhir dari artikel yang dimuat Tempo edisi 27 Maret–2 April 2006, halaman 44-45, terdapat kalimat, ”... Dalam sebuah iklan yang dibuat Exxon di-sebutkan Indonesia akan menerima Rp 33 triliun per tahun. Tapi saya menghitung seharusnya itu jauh lebih besar karena biaya produksinya bisa ditekan jadi US$ 1,6 per barel ....”
Kalimat di atas mempunyai makna yang jauh berbeda dari naskah asli saya. Agar tak menimbulkan kesalahpahaman bagi pembaca, perkenankan saya menyampaikan teks asli yang berbunyi ”...dalam iklan di Republika (22/3/06), disebutkan Indonesia akan menerima Rp 33 triliun per tahun. Tapi dari iklan tersebut, saya menghitung biaya produksinya hanya US$ 1.6/barrel. Saya tantang ExxonMobil untuk memproduksi dengan biaya semurah itu.”
Atas perhatiannya, saya menyampaikan terima kasih.
Dradjad Wibowo Jakarta
Konsistensi Izin Televisi Berlangganan Asing
Meski sedang dipersoalkan anggota -Ko-misi I DPR (antara lain Effendi Choi-ri dari Fraksi PKB dan Djoko Susilo dari Fraksi PAN), televisi berlangganan asing Astro Malaysia sudah beroperasi secara komersial.
Pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informatika lewat siaran pers yang diteken Kepala Bagian Umum dan Humas Ditjen Postel Gatot S. Dewa Broto, 22 Maret lalu, menyebutkan sejak Oktober 2004 hingga saat ini pihak Depkominfo tak menemukan adanya penyimpangan prosedur administrasi terhadap masalah landing- right PT Direct Vision, perusahaan pemilik Astro di Indonesia.
Anehnya, pada bagian lain dari siaran pers itu, Depkominfo juga meminta agar PT Direct Vision berhati-hati memberikan pernyataan apa pun kepada publik menyangkut soal landing right. Alasannya, sampai saat ini koordinasi satelit dan esensi resiprokal terbukanya kesempatan yang sama bagi penyelenggara satelit Indonesia untuk berkompetisi dan beroperasi di negara asal penyelenggara satelit asing tersebut, sebagaimana disyaratkan oleh Peraturan Menkominfo No.13/P/M.Kominfo/8/2005, belum tuntas sepenuhnya.
Mengapa belum tuntas? Karena surat per-mintaan Dirjen Postel kepada Malaysi-an Communications & Multimedia Commission (MCCM), untuk meminta negeri jiran itu memberikan jasa layanan satelit serupa, maupun undangan untuk melakukan koordinasi satelit, belum berjalan maksimal. Bahkan dalam siaran pers itu dikatakan ”segera diagendakan secepat mungkin”.
Kondisi ini jelas memunculkan perta-nya-an. Di mana konsistensi Depkominfo dalam melakukan tugasnya? Sepengetahuan kami, aspek landing right dan esensi resiprokal inilah pokok masalah yang dipersoalkan DPR dan masyarakat.
Mengapa Astro Malaysia tak mau bersabar sebentar dengan menghentikan sementara kegiatan operasional komersialnya sampai semua perizinan sesuai dengan persyaratan pemerintah dipenuhi? Me-ngapa pula pemerintah terkesan enggan me-nuntaskan dulu masalah koordinasi satelit, baru kemudian memberikan izin? Mengapa Depkominfo tidak mengajak bicara Komite Penyiaran Indonesia (KPI), bukankah sesuai dengan aturan, selain oleh Depkominfo, KPI juga harus dilibatkan dalam proses perizinan?
Seharusnya, Depkominfo bisa menjadi lokomotif bagi departemen lain dalam konsistensi menegakkan perundang-undang-an yang berlaku. Namun, dalam konteks perizinan terhadap televisi berlanggan-an asing, sikap Depkominfo terasa tidak konsisten.
Kalau saja semua pihak taat asas dan menghormati aturan main yang ada, pastilah tidak ada persoalan.
Ahmad Syahri Kurnianto Koordinator Koalisi Pemantau Informatika Jakarta Barat
Kenaikan Anggaran Pendidikan
Keputusan Mahkamah Konstitusi- (MK) tentang Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2005 tentang APBN 2006, menyangkut anggaran pendidikan sebesar 9,1 per-sen yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, patut ditindaklanjuti. Pendidikan memang harus mendapat prioritas utama dalam pembangunan bangsa.
Namun, penyesuaian kenaikan anggaran- pendidikan ini harus dilihat secara proporsional dan disesuaikan dengan dana riil yang ada pada negara. Karena itu, peme-rintah perlu melakukan komunikasi dan penjelasan secara transparan menyangkut kondisi dana yang tersedia. Sehingga masyarakat bisa memahami batas maksimal dana untuk pendidikan. Kalau tidak ada penjelasan, akan muncul gejolak dan reaksi- yang tidak perlu dari masyarakat.
Kalau sekiranya dana yang tersedia memang tidak cukup, saya kira masyarakat- juga perlu memakluminya sambil me-nunggu- langkah-langkah konstruktif dari pe-merintah bagi perbaikan dunia pendi-dikan.
Perbaikan dunia pendidikan seharusnya didukung pemerintah daerah dengan meningkatkan bantuan pendidikan terhadap sekolah-sekolah yang ada di daerah ma-sing-masing. Seperti dilakukan pemerintah DKI Jakarta yang menggratiskan SPP dari tingkat SD sampai SMP, atau di Kabupaten Kutai Kartanegara.
Lebih dari itu, perlu dukungan semua pihak sehingga pendidikan tidak hanya bergantung pada besarnya anggaran yang tersedia, tapi juga pada komitmen dan semangat masyarakat untuk memajukan putra-putrinya bagi kepentingan kemajuan bangsa.
Apabila semua ini bisa terlaksana dan pemerintahan SBY mampu merespons masalah anggaran pendidikan ini secara proporsional dan transparan, kita patut optimistis lembaga pendidikan kita akan lebih berkualitas dan mampu melahirkan gene-rasi bangsa yang mumpuni dan berkompetensi.
Sulami Jalan Tegal Parang, Mampang Jakarta Selatan.
Bijak Hadapi Provokasi Australia
Langkah Australia memberikan visa bagi 42 warga Papua merupakan langkah provokatif yang dapat mengancam hubung-an Canberra-Jakarta. Namun, provokasi tak- harus dibalas dengan provokasi karena bisa menjadi bumerang bagi Indonesia.
Tuduhan seorang senator Australia yang menyebut aparat keamanan Indonesia telah membunuh 16 mahasiswa Universitas Cenderawasih Papua semakin memperkuat bukti upaya intervensi dan campur tangan Australia terhadap Indonesia. Apa urusan seorang senator Australia dengan realitas yang terjadi di Papua?
Karena itu, pemerintah bersama seluruh kekuatan bangsa, termasuk para politisi dan cerdik cendekia, perlu merespons segala campur tangan asing. Khususnya menyangkut kedaulatan negara. Bukan waktunya lagi mencaci negara lain karena mengambil kebijakan sepihak dan merugikan negara kita.
Tiap negara memiliki hak untuk memutuskan kebijakannya, dan negara lain berhak pula untuk meresponsnya sesuai dengan koridor politik internasional. Kita harus mengambil langkah bijak tanpa mengorbankan kedaulatan sebagai bangsa yang merdeka sehingga negara lain, ter-utama Australia, bisa memahami dan hormat atas kebijakan yang diambil Indonesia. Semoga.
Maulana Raja Aisyana Graha Pancoran Mas Indah, RKP. Jaya Baru, Pancoran Mas, Depok
Busung Lapar Kurang Penyuluhan
Pada banyak pemberitaan media, para ibu yang memiliki anak yang kurang gizi selalu disebutkan hidup miskin sehingga tak punya daya beli untuk meningkatkan gizi anak-anaknya.
Namun, patut dipertanyakan, apakah -ku-rang gizi itu disebabkan tidak mampu-/tidak memiliki daya beli atau ketidaktahuan menggunakan bahan sederhana dan murah namun berkualitas untuk balita-. Soalnya, dalam pemberitaan tayangan televisi, para ibu anak-anak kurang gizi itu kelihatan gemuk-gemuk.
Saya mempunyai anak asuh yang diambil dari seorang ibu yang sangat tidak mampu. Ibu tersebut mengandung dalam keadaan yang sangat melarat. Kami bertemu dia hanya dua hari sebelum waktu melahirkan dan harus dilakukan operasi- caesar. Kami membantu biaya melahirkannya dan akhirnya kami ikut membesarkan bayi tersebut.
Bayi itu sekarang tumbuh sehat dan kelihatan cerdas, meski dengan menu yang sangat sederhana. Usianya sekarang 16 bulan dan tak pernah dibawa ke dokter karena tak pernah ada sakit yang berarti. Sama sekali tak pernah ke dokter dan tak pernah memakan obat kimia.
Menu makan sederhana yang diberikan antara lain air tajin. Air tajin adalah air yang diambil dari kelebihan air pada saat menanak nasi. Air ini digunakan sebagai pengganti susu. Anak ini diberi susu kaleng hanya kadang-kadang. Paling banyak- dua kali sehari, siang dan sore sampai umur 12 bulan.
Setiap pagi, bayi itu sekarang diberi pepaya yang dihancurkan dan disaring air-nya. Sesekali diberi air jeruk dan pisang, kalau ada. Setiap siang diberi nasi tim 3 sendok makan yang dihancurkan dicampur bayam. Kadang juga diberi nasi tim beras merah yang dihancurkan. Dan setelah berusia lebih dari 12 bulan, makanannya dicampur daging belut atau ikan tawar (bukan ikan laut).
Selama ini, kalau ada gangguan sakit seperti pilek dan batuk, badannya dibalur minyak kelapa dicampur irisan bawang merah. Malah pernah kena tampek dengan panas yang tinggi, tapi dalam dua hari sudah pulih hanya diolesi minyak kelapa dan irisan bawang merah. Sungguh, tidak pernah dibawa ke dokter.
Sebenarnya menjadi tugas Posyandu me-nangani persoalan seperti ini. Penyuluh-an-penyuluhan menu sederhana tapi bergizi ini bisa dilakukan untuk menyiasati keadaan. Tugas ini juga menjadi tanggung jawab ibu-ibu PKK yang ada di hampir semua kelurahan dan desa.
Di masa Orde Baru dulu, kegiatan ini sa-ngat intensif dan menurut saya perlu dite-ruskan karena memang bagus. Penyuluh-an juga diperlukan agar ibu-ibu yang anak-nya menderita kurang gizi dapat lebih aktif. Kelihatannya, ibu-ibu itu, mungkin karena kurang pemahaman, menjadi malas berbuat sesuatu.
Tindakan penyuluhan ini perlu diinten-sif-kan kembali daripada hanya mengeluh- tidak ada anggaran/kurang biaya untuk mem-bantu makanan yang bergizi. Kita melihat di banyak pemberitaan Presiden SBY dan Ibu Ani bersedia turun ke bawah berkomunikasi dengan rakyat. Kebiasaan ini harus diikuti pejabat lain dari menteri sampai lurah.
Sudah waktunya para pejabat itu memikirkan kondisi di bawah dan kreatif mengatasinya. Jangan mementingkan diri sendiri. Masalah tidak bisa diselesaikan dari belakang meja. Mungkin ada baiknya, anggaran studi banding di departemen-departemen juga di DPR untuk sementara- dialokasikan buat melakukan penyuluh-an di daerah. Semoga media massa dapat mengajak dan meningkatkan motivasi mau berkorban.
Achmad Sablie Bintaro Jaya Sektor 5, Tangerang
Iklan di Tabloid Karir
Awal Februari 2006, kami mulai merintis usaha Titan Media Info untuk wilayah Jawa Tengah. Pada 4 Februari, kami mulai- menerbitkan edisi perdana dan didistribusikan di Kota Semarang. Pada 7 Maret 2006, kami sangat terkejut karena salah satu klien kami mengajukan komplain karena iklan perusahaan beliau terbit di tabloid Karir tanpa izin terlebih dahulu.
Kami segera memeriksa masalah ini dan tak satu pun pimpinan atau pun karyawan kami memasang iklan itu di tabloid tersebut. Tapi materi iklan mereka sama persis dengan milik kami. Dan ini sangat merugikan kami karena klien kami sudah memutuskan kontrak dengan perusahaan kami.
Segera kami mengajukan keluhan resmi melalui telepon dan surat. Namun, tak ada tanggapan baik dari tabloid tersebut. Bahkan kami disalahkan karena media kami dianggap tak berterima kasih karena telah dimuat tanpa dipungut bayaran di tabloid ”besar” mereka. Sungguh menggelikan: materi iklan yang kami ciptakan dicuri, dan kami justru harus berterima kasih kepada pencurinya.
Terus terang kami kecewa dengan tak adanya itikad dan etika bisnis yang baik dari pimpinan tabloid itu. Apakah ini yang namanya kejujuran dan etika bisnis yang baik? Hasil jerih payah, kreasi, dan kerja keras seluruh karyawan Media kami hilang seketika.
Masih adakah hati nurani pengusaha dan perusahaan besar seperti tabloid tersebut, atau mereka tak punya lagi bahan untuk- diterbitkan sampai harus mengambil milik orang lain? Apakah ini yang dinama-kan taktik dan strategi perang mereka untuk membunuh usaha kecil seperti kami?
Dengan ini, kami mengharapkan tabloid tersebut dapat mawas diri, punya itikad baik, dan tidak lagi merugikan pihak lain. Cukup kami saja yang menjadi korban.
Christianto S. Titan Global Service Jalan Nangka Barat, Semarang
Hentikan Ambisi Wali Kota Bandung
BEBERAPA hari yang lalu massa dari Koalisi- Masyarakat Bandung Bermartabat (KMBB), mendatangi Departemen Dalam Negeri (Depdagri) di Jakarta. Mereka meminta Mendagri membatalkan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Peme-rintahan Kota Bandung yang belum lama ini disahkan oleh Wali Kota Bandung Dada Rosada. Revisi RTRW akan meng-akibatkan perubahan peruntukan sebagian kawasan lindung di kawasan Bandung Utara (KBU) menjadi kawasan budi daya berupa hotel, perumahan mewah, dan vila.
Untuk diketahui oleh publik, saat itu Per-da No. 2 Tahun 2004 tentang RTRW baru ber-usia satu tahun. Perda tersebut mengama-natkan bahwa kawasan Bandung Uta-ra adalah kawasan lindung yang tertutup- bagi kegiatan pembangunan fisik dan pem-bukaan akses jalan baru yang ujung-ujungnya bisa mengakibatkan terbukanya jalan bagi pembangunan fisik di wilayah itu.
Namun atas desakan para pengusaha properti yang saat ini telah menguasai puluhan ribu hektar tanah di kawasan Punclut maka Dada Rosada merevisi Perda ter-sebut. Sehingga kawasan lindung yang seharusnya menjadi wilayah tangkapan air dan penyeimbang kualitas tata udara bagi kota Bandung akhirnya siap berubah menjadi pemukiman elit dan perhotelan.
Lagi-lagi di era reformasi ini kita dipertontonkan model persekongkolan jahat antara penguasa daerah dan pemilik modal yang dampaknya selalu akan mengorban-kan masyarakat luas.
Setelah banjir menjadi tradisi di musim hujan dan paceklik air bersih di musim kemarau, derita apa lagi yang akan dialami warga Bandung saat ini dan masa depan? Oleh karena itu sebelum terlambat, ambisi- Dada Rosada ’menjual’ kawasan lindung Bandung Utara kepada para pengusaha pro-perti harus dihentikan. Apapun caranya-.
E. SUJANA Kopo Sayati, Bandung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo