Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muliadi namanya, 14 tahun. Remaja tanggung ini belum pernah sekali pun menjejakkan kaki di gedung bioskop. ”Hana peng,” kata dia, maksudnya ”tak punya uang” dalam bahasa Aceh. Kalaupun sekarang ada uang, Muliadi menyambung, mana ada lagi gedung bioskop yang tegak berdiri di Banda Aceh. ”Sudah habis kena tsunami.” Muliadi, senyumnya lebar mengembang, per-tanyaannya beruntun. ”Kakak mau putar film di sini, persis seperti bioskop? Apa filmnya? Kakak bawa televisi sebesar apa? Nanti tivinya ditaruh mana?”
Malam itu, rombongan kami se-dang dalam program sa-fari layar tan-cap. Program kerja sama Unesco dan Yaya-san- Nurul Fikri ini berkeliling membawa film Rindu Kami Padamu, karya sutradara Garin Nugroho, untuk diputar di barak-barak pengungsian yang ada di Aceh. Sebuah hi-buran yang bersifat- edutainment untuk korban tsunami, yang sudah setahun lebih menghuni barak pengungsian. Mudah-mudahan kebosanan warga dan ke-keringan hibur-an selama menghuni ba-rak bisa sedikit terobati.
Sepuluh hari rombongan kami berke-li-ling-, masuk kampung keluar kampung. Kam-pung Mulia (Peunayong, Banda Aceh), Krueng Raya (Aceh Besar), Desa Lamsenia (Aceh Besar), Desa Lampuuk (Aceh Besar), dan Ulee Jalan (Lhok Seumawe) adalah beberapa titik yang kami datangi.
Mobil L-300 tanpa pendingin udara yang kami sewa melaju di tengah jalan-an Aceh yang panas terik. Rom-bongan kami berdesakan dengan tumpukan barang, mulai dari pengeras sua-ra, amplifier, layar kain se-tinggi dua meter, alat penyorot gambar, pe-mutar film format mini DV, selusin ma-cam kabel, serta genset 1.500 watt plus je-riken bensin. Rombongan kami—saya, Ar-di Bramantyo (wartawan lepas), Ahmad Taufik alias Beck, dan Barly Juan Fi-briady (keduanya pekerja film)—mirip anggota orkes, ngamen dari kampung ke kampung.
Kamis malam, 12 Maret. Bulan sedang- terang purnama. Angin laut bertiup ringan di Bukit Krueng Raya, yang hanya beberapa ratus meter dari Pantai Malahayati. Tiga ratus lebih orang tua-muda berkumpul, sebagian besar duduk santai bersila di atas tanah berumput di lapang-an tempat kami melakukan persiapan. Tidak sedikit warga yang mengusung tikar, juga kursi kayu dan plastik milik mereka. Kain sarung siap membalut tubuh. ”Mana filmnya, Kak? Kenapa lama betul? Jadi putar film tidak?” Teriakan tak sabar timbul-tenggelam. Nyamuk-nyamuk yang liar ganas beraksi.
Teriakan dan gumaman penonton yang tak sabar selalu membuat kami berkeringat dingin. Dan hal ini terjadi saban malam pertunjukan. Ada saja ham-batan yang muncul, yang membuat kisruh suasana pertunjukan. Suatu ma-lam, ada kabel terinjak penonton sehingga film putus di tengah. Lalu gerimis turun membubarkan kerumunan penonton. Kali lain, layar yang disangga tripod besi terbang ditiup angin malam. Walhasil, Barly, anggota rombongan panitia, harus rela memegang tiang layar kuat-kuat sampai film berakhir. ”Luma-yan, pegel juga,” kata Barly sambil meringis.
Rasa pegal, lelah, juga setiap tetes ke-ringat terbayar tuntas ketika kami me-nyak-sikan respons riang para penonton. Kesulitan pengurusan perizinan dengan Dinas Syari’ah Provinsi NAD juga terlupakan. Tawa riuh-rendah, tatapan mata penuh semangat yang muncul sepanjang pemutaran film, adalah obat mujarab bagi semua kelelahan kami. Terharu hati ini mendengar penonton me-ngomentari suka-duka yang melilit penghuni sebuah pasar di Jakarta yang menjadi setting lokasi Rindu Kami Padamu. ”Ooo, rupanya bukan cuma kita di sini yang susah. Di Jawa pun banyak orang susah hidupnya,” demikian komentar seorang ibu. Dia merasa tidak lagi sendirian.
Pada beberapa malam pertun-juk-an, film Rindu Kami tidak diputar sendi-ri-an. Ada film pendek Rebou Si Cinta Ibrahim (Makmeugang Love Story), karya Tim Workshop Film Yayasan SET, yang diputar sebagai menu pembuka. Film ini berkisah tentang kehidupan di barak pengungsian pasca-tsunami di Desa Riting, Kecamatan Leupung, Aceh Besar, yang dikemas dalam bentuk komedi situasi.
Rebou Si Cinta Ibrahim film pendek yang cukup kocak. Tentang Ibrahim, anak-istri hilang diterjang tsunami, yang kikuk menjalani hidup sendirian. Berbagai situasi lucu muncul ketika Ibrahim berjuang mendekati seorang janda bernama Aisyah. Misalnya, Ibrahim yang tak pernah memegang per-alatan dapur terpaksa belajar memasak rendang demi ingin menyajikan hidang-an berbuka puasa untuk Aisyah. Ren-dang masakan Ibrahim ternyata hambar tanpa garam.
Gelak tawa tanpa henti pun muncul di sepanjang film. Tiga puluh menit ber-lalu tanpa terasa. ”Sama jugalah Ibrahim itu dengan kami-kami ini. Duda tsunami. Kami juga sedang repot cari pasang-an, ha-ha-ha…,” kata Soleh, warga Leupung yang turut menonton.
Menampilkan problem lokal, dibintangi warga lokal, dengan bahasa lokal, tak pelak lagi Rebou Si Cinta Ibrahim adalah magnet yang sangat kuat. Ra-tus-an penonton tak beringsut barang sedikit pun menyaksikan film ini. Bahkan, warga berbondong meminta salin-an film dalam bentuk VCD supaya bisa disaksikan setiap saat di barak. ”Buat hiburan kami, Kak,” kata mereka. Tentu saja kami tidak berhak mengabulkan permintaan ini. Adalah Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias, selaku produser Rebou Si Cinta Ibrahim, yang memiliki hak tersebut.
Panti Asuhan Aneuk Nelayan ”Baiturrahman” di Desa Ulee Jalan, Lhok Seumawe, Aceh Utara, adalah ak-hir perjalanan safari layar tancap kami. Tujuh puluh anak, dari usia 5 sampai 18 tahun, dirawat di sana. ”Mereka kami kumpulkan dari keluarga nelayan korban tsunami dari berbagai wilayah di Aceh,” kata Kasbani, pengasuh panti.
Terletak di utara, dari episentrum dam-pak hantaman tsunami di se-panjang pantai barat Aceh, Panti Asuhan Aneuk Nelayan relatif ter-abaikan. Dalam urusan bantuan pasca-tsunami-, Lhok Seuma-we me-mang bu-kan terma-suk jalur ”prima” Banda Aceh-Lamno-Ca-lang-Meulaboh. Walhasil, sam-pai kini Panti Aneuk Nelayan masih berjuang mencari dermawan dan lembaga donor yang serius memberi dukungan bagi penyelenggaraan panti asuhan.
Posisi yang terpencil di perkampung-an membuat Panti Asuhan Aneuk Ne-la-yan seolah benar-benar luput dari lampu- sorot. Mereka menempati gedung bekas sekolah yang pernah dibakar saat konflik GAM-TNI memanas, pada tahun 2002. ”Gedung ini seperti rumah angker ketika pertama kali kami datangi, awal Januari tahun lalu. Rumput liar di mana-mana, bangunan menghitam bekas api. Kami harus bekerja keras membersihkan semuanya,” kata Kasbani.
Siang terik, Selasa 14 Maret, rom-bong-an kami tiba di Panti Aneuk Nela-yan. Sorak-sorai bocah menyambut kami. Dengan bersemangat, mereka meng-ikuti kegiatan kami menurunkan per-alatan dari mobil. Rentetan perta-nyaan tak henti mereka lontarkan. Beberapa bocah perempuan erat memeluk saya. ”Jangan film tsunami, Kak. Kami tak mau nengok nanti,” kata Noni, 9 tahun, piatu dari Kota Binjai. Ah..., kenang-an itu masih menghantui.
Sibuk saya menjelaskan apa dan ba-gaimana pertunjukan film nanti malam kepada anak-anak. Bergantian mereka mengerumuni saya dan bertanya apa saja. Bagaimana film dibuat, apa fungsi masing-masing alat yang kami bawa, dan juga apakah suatu saat mereka bisa tampil dalam film. Sementara itu, Bram, Beck, dan Barly menyiapkan peralatan. Layar digeber, peralatan elektronik dipasang, kabel demi kabel disambung. Genset sudah pula diisi bahan bakar, menanti tugas.
Anak-anak telah mandi, salat magrib dan isya, saat yang dinanti-nanti pun tiba. Semua peralatan tersusun rapi jali di ruang pertemuan. Bocah-bocah duduk bersila di atas tikar, laki-laki dan perempuan berkelompok terpisah. ”Oke, sebagian balon sudah ditiup, siap dibagikan,” kata Bram melapor. Show time! Kreativitas instan terpaksa muncul ketika film yang bakal diputar ke-tinggalan di hotel. Sementara Pak Sopir mengambil benda itu, kami main tebak-tebakan, bercerita, bernyanyi, apa saja.
Untung saja, bocah-bocah ini sangat suka bernyanyi, terlebih dengan adanya- hadiah sebungkus cokelat dan balon. Satu demi satu anak dengan sigap penuh semangat bernyanyi dengan mikrofon di tangan. ”Aku ingin jadi anak soleh…,” demikian sepenggal alunan lagu yang dinyanyikan Husni Mubarak, bocah 7 tahun. Badannya berlenggak-lenggok ekspresif. Sarungnya yang setengah melorot tidak ia pedulikan.
Akhirnya, Abang Sopir yang ditunggu-tunggu datang. Film pun siap diputar. Kini giliran Rindu, Nova Eliza, Bimo, dan Asih—tokoh-tokoh dalam Rindu Kami Padamu—yang menghibur. Saya melihat, sementara anak-anak te-nang menikmati film, Bram, Barly, dan Beck sibuk meniup dan memompa balon lebih banyak lagi untuk dibagikan begitu film usai.
Malam yang heboh itu pun ditutup dengan senyum lebar. ”Filmnya bagus, Kak,” kata Noni, ”Terima kasih. Cepat datang lagi, tengok kami.”
Mardiyah Chamim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo