Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

23 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menteri Energi Hadir

SEHUBUNGAN dengan pemberitaan mengenai sumbangan dana untuk penyelenggaraan balap mobil Grand Prix A1 dalam majalah Tempo edisi 9-15 Januari 2006, halaman 102, alinea pertama dan kedua, dengan judul ”Tersandung Proyek Balapan”, kami memandang bahwa pemberitaan dalam kedua alinea tersebut tidak sesuai dengan fakta dan cenderung menyudutkan. Karena itu, kami perlu memberikan tanggapan dan penjelasan agar tidak menimbulkan salah pengertian.

Tidak benar bahwa Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tidak menghadiri acara penerimaan ucapan Selamat Natal 2005 dan Tahun Baru 2006 dari para pegawai di lingkungan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral dan stakeholders pada 4 Januari 2006 (foto-foto terlampir). Sebagaimana diketahui, acara tersebut, termasuk pemberian ucapan selamat Idul Fitri, rutin diselenggarakan setiap tahun oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, didampingi oleh para pejabat Eselon I di lingkungan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.

SUTISNA PRAWIRA Kepala Biro dan Humas Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral

—Kami mohon maaf atas ketidakcermatan pemberitaan tersebut. Dengan ini sekaligus kesalahan kami koreksi–Red.

Kuasa Hukum Jhon Welly

Sehubungan dengan pemberitaan Tempo edisi 16-22 Januari 2006, halaman 86–87, berjudul ”Akibat Permainan Pulsa”, yang pada paragraf ke-12 menyebutkan Adnan Buyung Nasution selaku kuasa hukum Jhon Welly, maka kami dari kantor hukum Noni T. Purwaningsih & Partners Advocates & Legal Consultants yang berkedudukan di Menara Kartika Chandra, Jalan Gatot Subroto Kav. 18-20 Jakarta Selatan, perlu meluruskan kesalahan berita tersebut.

Kuasa hukum Jhon Welly bukan Adnan Buyung Nasution sebagaimana tertulis dalam artikel itu, melainkan Noni T. Purwaningsih SH MH, Diarson Lubis SH, Budi Setiawan SH, dan Avisenna SH yang bertindak sebagai kuasa hukum dari Jhon Welly sesuai dengan surat kuasa tertanggal 10 Januari 2006. Demikian harap maklum.

NONI T. PURWANINGSH & PARTNERS

Terima kasih atas koreksi Anda—Red.

Menyikapi Impor Beras

KEBIJAKAN pemerintah mengimpor beras melahirkan pro dan kontra. Masing-masing punya alasan dan semuanya mengatasnamakan kepentingan rakyat atau petani. Sebagian anggota DPR dan gubernur yang menolak impor beras menganggap bahwa pemerintah tidak mempedulikan petani yang sudah bersusah payah, ternyata berasnya tak terserap pasar. Petani dibuat tak berdaya untuk menikmati hasil jerih payahnya menanam padi. Inilah yang menurut Marx atau Bung Karno sebagai korban dari kapitalisme, bahwa para petani atau buruh teralienasi dari dirinya sendiri. Atas pertimbangan tersebut, DPR berencana melakukan hak angket dan hak interpelasi terhadap pemerintah.

Pemerintah mendasarkan kebijakan impor beras pada realitas stok yang riskan atau mengkhawatirkan yang tidak mungkin terpenuhi dari persediaan beras dalam negeri, apalagi ada ancaman gagal panen. Di samping itu, kondisi ladang pertanian di Indonesia tidak semuanya surplus. Ada sebagian daerah yang defisit beras. Ini artinya bahwa petani di Indonesia tidak bisa disamaratakan. Ada petani surplus dan ada petani defisit.

Bagi petani defisit, mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup dari pertaniannya. Jumlah petani defisit jauh lebih besar dari petani surplus. Menurut hasil sensus pertanian menyebutkan, rumah tangga tani mencapai 13.770.000 kepala keluarga (KK) dan 13.253.000 KK di antaranya adalah petani gurem atau petani defisit.

Data tersebut menunjukkan bahwa petani yang bisa hidup layak dari hasil pertaniannya hanya 517.000 KK. Mereka ini pada umumnya menjadi pedagang hasil pertanian, khususnya gabah dan bisa mencukupi kehidupannya dari hasil taninya. Sebaliknya, petani gurem atau defisit, yang mencapai 13 juta KK lebih, tidak bisa mengandalkan hasil pertaniannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan setelah panen mereka kembali menjadi konsumen beras. Atas pertimbangan tersebut, pemerintah memutuskan dan merasa berhak untuk mengimpor beras.

Nah, kalau kita mau jujur, sesungguhnya implikasi ”negatif” dari kebijakan mengimpor beras lebih dirasakan oleh para pedagang (bukan konsumen) beras, karena harga beras di pasar bisa kompetitif. Sementara itu, masyarakat kebanyakan yang sebenarnya merupakan konsumen beras bisa lebih lega bernapas, karena harga beras bisa stabil dan tidak dimainkan oleh para tengkulak yang bermain di saat persediaan beras semakin tipis.

Karena itu, terkait dengan kebijakan impor beras, kita harus bisa bersikap jernih dan bijak, apakah impor beras betul-betul merugikan petani, yang sebenarnya secara mayoritas juga konsumen, atau hanya mengancam para pedagang beras yang suka menimbun agar harga bisa membubung dan masyarakat kebanyakan menjadi korbannya? Kalau kita betul-betul berpihak kepada rakyat sebagai konsumen beras, mengapa kita harus menolak impor beras? Bukankah dengan harga beras yang semakin terjangkau, berarti masyarakat bisa mendapatkan haknya untuk menikmati beras yang berkualitas sehingga kesehatannya bisa lebih terjamin?

Namun, sebagai bangsa agraris, pemerintah juga harus memikirkan langkah-langkah menuju swasembada pangan, sehingga kita tidak bisa tergantung pada beras negara lain dan kita tidak terasing di negeri sendiri. Apabila hal ini terwujud, maka hak angket atau interpelasi dan kebijakan (hak) impor tidak perlu terjadi, karena hak makan warga negara sudah terpenuhi dari usaha pertaniannya sendiri.

MAULANA RAJA AISYANA Graha Pancoran Mas, Blok E/5, Depok

Hindari Polemik tentang TNI

SETELAH hampir satu setengah tahun terjadi gonjang-ganjing soal jabatan Panglima Tentara Nasional Indonesia, akhirnya kini terjawab. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajukan Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Djoko Suyanto sebagai calon Panglima TNI. Saya menilai penetapan Djoko Suyanto ini sebagai langkah strategis Presiden, bukan hanya untuk menyelamatkan Angkatan Darat dan Kepala Staf Angkatan Darat Djoko Santoso dari konflik internal. Tentunya Presiden punya penilaian tersendiri dari empat calon Panglima TNI. Pilihan jatuh kepada Djoko Suyanto yang dinilai sebagai figur yang paling sedikit mengalami hambatan dari masyarakat.

Bukan hanya itu. Pengangkatan itu diharapkan dapat meredam reaksi publik dan mengurangi terjadi politisasi jabatan panglima yang selama ini selalu dikembangkan sebagai pergunjingan publik, meski akhirnya tidak pernah menghasilkan apa pun. Jujur kita katakan bahwa masalah jabatan Panglima TNI bagi Presiden sangat penting dan strategis karena jabatan itu merupakan pengawal yang ikut menentukan panjang-pendeknya umur suatu pemerintahan. Jadi, wajar kalau Presiden memilih figur, selain mempertimbangkan kemampuan, integritas didasari kedekatannya. Kondisi ini seharusnya dipahami oleh semua pihak

IR SUPRAPTO SUBARDONO Jalan Warung Buncit Nomor 37B, Jakarta

Calon Gubernur Papua Pilihan Rakyat

KOMISI Pemilihan Umum Daerah Papua pada Kamis lalu telah menetapkan lima pasangan gubernur yang akan maju dalam pemilihan kepala daerah pada 16 Februari, masing-masing pasangan Constant Karma dan Donatus Mote, D.H. Wabiser dan S.P. Inaury, Lucas Enembe dan H Ahmad Arobi Aituarauw, Barnabas Suebu dan Alex Hasegem, serta John Ibo dan Paskalis Kossay.

KPUD sebagai pihak yang bertanggung jawab atas jalannya pemilihan kepala daerah yang tertib, aman, dan lancar dituntut mempersiapkan diri dengan sedini mungkin memasyarakatkan penegakan aturan main secara tegas. Hal ini penting mengingat kondisi geografis dan sulitnya wilayah yang berpotensi terjadinya provokasi ataupun bentrok antarmassa pendukung.

Selain itu, terutama kita berharap pemimpin yang terpilih nantinya adalah figur yang cerdas, layak, memiliki integritas dan loyalitas yang tinggi terhadap bangsa, berwawasan luas, berorientasi pada kesejahteraan rakyat Papua, serta mendapat dukungan dari semua stakeholder yang ada di Papua.

Jangan sampai terpilih pemimpin yang kontroversial, berorientasi pada kekuasaan, dan melakukan politik uang. Sebab, kalau sampai terpilih figur yang seperti ini, sulit diharapkan adanya perubahan di bumi Papua. Juga, bukan figur yang diketahui memiliki banyak musuh politik yang dikhawatirkan dapat mengganggu kinerjanya kelak.

Pengalaman pemerintahan di Papua masa lalu hendaknya menjadi pelajaran bagi kita semua. Triliunan rupiah dana otonomi khusus mengalir di Papua, tapi masyarakatnya masih jauh dari sejahtera. Bahkan kini bahaya kelaparan melanda Kabupaten Yahukimo. Bagaimana mungkin kasus ini terjadi kalau ada pemerataan pembangunan di Papua?

Karena itu, pilihlah pemimpin yang dapat membawa pada peningkatan kualitas hidup, kedamaian dan kesejahteraan rakyat Papua, tidak kontroversial, serta bukan figur yang mencederai pemilihan kepala daerah dengan politik uang. Kalaupun ada yang memberi uang, terima saja, tapi jangan pilih mereka. Sebab, calon pemimpin yang mengeluarkan banyak uang pada pemilihan kepala daerah sudah pasti akan berusaha mengembalikan uangnya ketika berkuasa.

FANNY S. DOANSIBA Jalan KH Zainul Arifin B1/20B, Jakarta

Pembalakan Liar dan Pencurian Ikan

PARA pejabat sampai kepala negara sudah berulang kali mengecam dan menginstruksikan dilakukannya penindakan terhadap pelaku praktek ilegal, di antaranya yang menjadi fenomena adalah illegal logging dan illegal fishing. Akibat maraknya penggundulan hutan dan pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia itu, negara dirugikan sampai triliunan rupiah per tahun.

Memang, sudah ada yang ditangkap, tetapi umumnya para pelaku utama atau cukong kakapnya belum tersentuh hukum. Hal inilah yang mengherankan dan memprihatinkan kita. Sebab, petinggi negara sudah menginstruksikan dilakukannya pengusutan dan penindakan pelaku perambahan hutan dan pencurian ikan ini. Kalau instruksi Presiden pun tidak bisa dijalankan lagi, patutlah kalau bangsa kita dilanda berbagai krisis, mulai krisis hukum, ekonomi, politik, budaya, moral, sampai krisis kepemimpinan.

Yang mengherankan kita, mengapa upaya aparat keamanan untuk menangkap dan menghukum berat pelaku segala macam praktek ilegal sampai sekarang tidak begitu jelas, padahal undang-undangnya sudah ada.

Solusi penanganan bagi perambahan hutan perlu keberanian dari aparat keamanan/penegak hukum. Kalaupun melibatkan oknum aparat daerah atau pusat, penegakan hukumnya wajib dilakukan tanpa pilih kasih. Kalau tidak, praktek pembalakan liar dan pencurian ikan akan semakin parah, dan yang untung hanya sebagian kecil orang, sedangkan mayoritas rakyat menerima dampak berupa bencana alam dan kemiskinan.

IFUL SAMEY Jalan Sedane Muara Lebak Nomor 1 Ciomas, Bogor

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus