Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Surat Dari Redaksi
Pada 6 Maret 2005, majalah Tempo genap berusia 34 tahun. Jika dikurangi masa "tidur" akibat pembredelan Orde Baru selama empat tahun (1994-1998), majalah ini sudah 28 tahun secara kontinu terbit setiap minggu mengunjungi Anda, para pembaca.
Jerih payah kami, terutama dengan menerbitkan kembali majalah ini pada 1998, mendapat perhatian dari sebuah lembaga yang prestisius dalam bidang jurnalistik, Missouri School of Journalism, di Universitas Missouri, Columbia, Amerika Serikat. Kampus jurnalistik tertua di dunia itu—didirikan pada 1908—menganugerahkan Missouri School of Journalism Medal of Honor.
"Tempo dianggap tak pernah lelah memperjuangkan kemerdekaan pers di Indonesia," kata Bambang Harymurti, pemimpin redaksi, tentang medali yang diterimanya di Columbia, AS, pada 2 Maret petang waktu setempat. Bambang diundang datang bersama Goenawan Mohamad, pemimpin redaksi pertama majalah Tempo sekaligus pendiri majalah ini.
Keduanya disambut upacara singkat, dilanjutkan makan siang di ruang guru besar yang dihadiri sekitar 20 orang staf pengajar. BHM dan GM, begitu Bambang dan Goenawan biasa dipanggil di Tempo, memberikan pidato singkat: ucapan terima kasih atas penghargaan ini.
Sehari sebelum pemberian medali, BHM memberikan ceramah di ruang kuliah besar dengan 250 mahasiswa. GM dan BHM juga menjadi "pengajar tamu" di depan kelas wartawan dan mahasiswa berbagai negara yang tengah belajar di Missouri. "Kebanyakan yang hadir dari Cina. Mereka sangat antusias mendengar perjuangan kemerdekaan pers di Indonesia," tulis GM lewat SMS tentang acara di Missouri.
Ini kado ulang tahun yang berharga. Apalagi, di deretan peraih medali pada tahun-tahun sebelumnya, ada begitu banyak majalah kelas dunia yang menerimanya, seperti; New York Times, Newsweek, dan Washington Post. Tempo pasti belum sejajar dengan media kelas dunia itu, tapi semoga medali ini memacu kami untuk terus memperbaiki mutu pemberitaan dan desain visual majalah ini.
Ulang tahun kali ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Kini kami—PT Tempo Inti Media Tbk, Yayasan 21 Juni dan Galeri Lontar —menyelenggarakan pameran karya-karya S. Prinka dan Desain Tempo, mulai 15 Maret di Galeri Lontar, di Komunitas Utan Kayu. Prinka, yang wafat akhir Desember lalu, adalah perupa yang berjasa membuat perwajahan majalah ini lebih artistik, khas, dan mudah dikenali orang. Dalam pameran bertajuk "Ketika Kabar itu Kami Dengar…" itu juga akan diumumkan dimulainya lomba desain media massa cetak yang pemenangnya akan mendapat "Prinka Award" tahun depan. Inilah cara kami mengenang Mas Prinka, sahabat yang bersahaja, dan tak pernah membanggakan jasanya itu.
Medali dari Missouri dan Pameran S. Prinka & Desain Tempo adalah dua hal yang membanggakan kami pada hari ulang tahun ini.
Klarifikasi Wali Kota Depok
Dalam pemberitaan Tempo edisi 21-27 Februari 2005, halaman 32, yang berjudul Korupsi Para Kader Partai, dalam daftar Penilap Makan Tanaman, tertulis "Badrul Kamal (Wali Kota Depok) korupsi dana rutin Kota Depok Rp 9,4 M". Dengan ini, kami sampaikan penjelasan sebagai berikut.
Pertama, bahwa dugaan korupsi senilai Rp 9,4 miliar tersebut bukan terhadap Badrul Kamal (Wali Kota Depok), melainkan ditujukan kepada Anggota DPRD Kota Depok periode 1999-2004, yang saat ini sedang ditangani oleh Polda Metro Jaya.
Kedua, Wali Kota Depok (H Badrul Kamal) dalam dugaan kasus tersebut hanya dimintai keterangannya sebagai saksi.
A/N Sekretaris Daerah Kota Depok Asisten Tata Praja Drs H Bambang Wahyudi MM
Komisi Membanjir, Koruptor Tetap Tak Peduli
SELAIN menandatangani memorandum of understanding (MoU) dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 23 Februari 2005 untuk memberantas korupsi di Departemen Keuangan, Menteri Keuangan juga mengkaji pembentukan Komite Pengawas Direktorat Jenderal Pajak serta Bea dan Cukai untuk menilai kinerja kedua lembaga itu.
Seolah tak mau kalah dengan koleganya, Menteri Negara BUMN juga akan membentuk tim khusus dalam rangka memberantas korupsi di lingkungan BUMN. Sebelumnya, presiden menunjuk Kapolri untuk memimpin tim operasi terpadu penindakan dan pemberantasan penyelundupan serta penggarongan kayu (illegal logging).
Selain itu, karena penegakan hukum merupakan salah satu upaya utama untuk memberantas korupsi, para penegak hukum juga harus mengawasi kinerjanya, lalu dibentuk Komisi Kejaksaan dan Komisi Kepolisian. Jauh-jauh hari kita juga telah mempunyai Komisi Hukum Nasional, Komisi Ombudsman, dan yang paling topnya, yang menjadi tumpuan dan harapan terakhir masyarakat saat ini, adalah dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Undang-Undang KPK yang terbit pada 27 Desember 2002, meskipun ini harus mematikan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), yang sesungguhnya sudah mulai menampakkan tanda-tanda awal keberhasilannya.
Sebelum menampakkan hasilnya yang nyata, khususnya penuntasan kasus korupsi Gubernur Aceh Abdullah Puteh, kita sangat terkejut dan kecewa karena kekuatan KPK telah dilumpuhkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa KPK tidak berwenang mengambil alih kasus korupsi yang terjadi sebelum tanggal 27 Desember 2002. Kalau begini, terus apa gunanya dibentuk KPK, sementara korupsi-korupsi kelas kakap justru sebagian besar terjadi sebelum tanggal itu.
Inilah Indonesia kita yang tercinta, memberantas korupsi bukan dengan tindakan nyata, keras, tegas, tanpa kompromi, transparan, dan adil serta sistematis dan terpadu, melainkan malah memberondongnya dengan melahirkan berbagai komisi, tim khusus, gerakan dan pernyataan-pernyataan lain yang bombastis sehingga terkesan berbagai komisi, tim khusus, dan sebagainya itu sekadar diadakan untuk meredam tuntutan publik. Nanti kalau komisi itu tidak berhasil, bentuk lagi komisi baru, gagal lagi bentuk tim khusus, gagal lagi bentuk komisi pengawas, dan seterusnya, sementara koruptor kakap tetap tak peduli dan konsisten melakukan penjarahan terhadap harta negara.
Kalaupun mereka tertangkap dan dihukum, hukumannya pun sangat ringan. Jadi, antara janji dan bukti pemerintah bersungguh-sungguh akan membasmi korupsi ternyata belum klop. Contoh yang paling terang-benderang adalah kasus lelang gula ilegal senilai Rp 192 miliar yang terjadi di depan hidung komisi-komisi itu.
Berbagai pihak sudah menyerukan: berlakukan asas transparansi dalam segala bidang dan berlakukan pembuktian terbalik serta kenakan hukuman yang seberat-beratnya karena korupsi itu adalah extraordinary crime. Namun, apa daya, pemerintah seolah bergeming dengan sikapnya yang puas dengan pembentukan komisi-komisi yang sama sekali tak akan dipedulikan oleh koruptor itu.
Karena itu, hentikan retorika-retorika kosong. Segera terapkan asas transparansi dan pembuktian terbalik tanpa pandang bulu. Niscaya koruptor akan berpikir ulang 100 kali untuk melakukan kejahatannya.
Wisdarmanto Pasar Minggu, Jakarta Selatan
Kisah Racun Berkedok Pupuk
TEMPO edisi 21-27 Februari 2005 memuat artikel tentang racun yang berkedok pupuk. Jika yang disajikan Tempo benar adanya, bahwa hasil uji yang dilakukan Batan menunjukkan kandungan radiasi di pasir-pasir asal Negeri Singa itu 100 kali di atas normal, maka dari segi definisi dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, pasir-pasir itu sudah bukan limbah lagi, tetapi sudah masuk kategori zat radioaktif, karena pengertian zat radioaktif sesuai dengan undang-undang tersebut Pasal 1 butir 9 adalah "setiap zat yang memancarkan radiasi pengion dengan aktivitas jenis lebih besar daripada 70 kBq/kd atau 2 nCi/g". Perlu diketahui dengan pasti berapa besar pancaran radiasi pasir-pasir tersebut per satuan berat.
Jika pasir itu dapat dinyatakan sebagai zat radioaktif, kegiatan pengimpor "pupuk racun" tersebut sudah dapat dikategorikan kegiatan "pemanfaatan tenaga nuklir" seperti yang tertera dalam Undang-Undang No. 10/1997 tersebut Pasal 1 butir 4. Jika demikian adanya, Pasal 17 (1) undang-undang dimaksud menyebutkan bahwa setiap pemanfaatan tenaga nuklir wajib memiliki izin, yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 2000 tentang "Perizinan Pemanfaatan Tenaga Nuklir".
Bagi mereka yang melaksanakan kegiatan impor yang berhubungan dengan tenaga nuklir tanpa izin, Pasal 43 menyebutkan denda pidana paling banyak Rp 100 juta (seratus juta rupiah) atau kurungan paling lama 1 (satu) tahun.
Jika pasir yang mengandung zat radioaktif thorium-228, tadium-226, dan radium-228 dimasukkan dalam kategori "limbah radioaktif", penjelasan Pasal 25 Undang-Undang No. 10 Tentang Ketenaganukliran menyebutkan: limbah radioaktif yang berasal dari luar negeri tidak diizinkan disimpan di wilayah hukum Republik Indonesia. Dan selanjutnya sama dengan butir 2 dan 3 di atas.
Mohammad Ridwan Lebakbulus, Jakarta
Tanggapan Asuransi Sinar Mas
MENANGGAPI keluhan Bapak Asarizal Badar (tertanggung) selaku pemegang polis No. 02.200.2002.01212 dari Asuransi Sinar Mas (ASM) dengan jaminan TLO (total loss only) yang dimuat pada Tempo edisi 30 Januari 2005, berikut penjelasan kami.
Pada 21 Desember 2004, staf klaim kami (ASM) menerima laporan klaim dari tertanggung melalui telepon. Keesokan harinya, 22 Desember 2004, staf klaim kami bersama dengan teknisi bengkel (Tekno) menindaklanjuti klaim tersebut dengan melakukan pengecekan fisik (survei) terhadap kerusakan kendaraan untuk dilakukan estimasi.
Hasil estimasi dari bengkel menyatakan bahwa nilai kerusakan kendaraan belum mencapai 75 persen dari harga kendaraan tersebut. Pada 5 Januari 2005, kami mengirimkan surat kepada tertanggung bahwa klaim tidak dapat diproses lebih lanjut/tidak dijamin, sesuai dengan Bab III Pasal 10 Polis Standar Tertanggung Bermotor Indonesia (PSKBI).
Tertanggung merasa keberatan atas tidak dijaminnya klaim tersebut dan ditindaklanjuti dengan pertemuan antara ASM, bengkel, dan tertanggung pada 7 Januari 2005. Dari hasil pertemuan tersebut, kami menawarkan solusi melalui surat tanggal 7 Januari 2005 sebagai berikut.
Pertama, tertanggung diminta membuat estimasi perbaikan yang dilakukan oleh bengkel yang ditunjuk oleh tertanggung sendiri, yang hasilnya akan dijadikan perbandingan dengan estimasi Bengkel Tekno. Kedua, dilakukan survei ulang oleh teknisi yang ditunjuk oleh pihak masing-masing (ASM dan tertanggung).
Untuk mendapatkan hasil estimasi secara detail, pihak bengkel mensyaratkan kendaraan tersebut harus dibongkar, dan hal ini belum bisa dilaksanakan mengingat kendaraan masih di Jasa Marga karena tertanggung belum menyelesaikan masalah dengan pihak ketiga. Namun, dengan itikad baik, kami berusaha memberikan alternatif penyelesaian yang fair untuk kedua belah pihak karena kami punya komitmen untuk selalu membayar klaim dengan cepat dan akurat asalkan dijamin/sesuai dengan ketentuan polis.
Tonny Latidjan Kepala Divisi Motor Business Unit (MBU) Asuransi Sinar Mas
Keajaiban Argumen Kebijakan BBM
AKHIRNYA, walau dengan sekian keraguan, harga BBM naik juga. Sebuah kebijakan kompilasi antara rasionalitas, politis, dan popularitas. Kenaikan harga BBM pun akhirnya melahirkan sekian reaksi antara penolakan dan penerimaan, dengan sekian argumen, sementara pemerintah juga sudah siap dengan argumentasinya, antara lain mengoreksi keuangan negara, menata lebih adil bagi masyarakat miskin, serta mengembalikan sekian dana kepada masyarakat miskin di sektor pendidikan dan kesehatan, termasuk yang paling tidak masuk akal mengurangi tingkat kemiskinan dari 16 persen menjadi 13 persen.
Ironis, memang. Di abad sekarang ketika manusia Indonesia sudah lebih melek huruf, melek teknologi, melek matematika, justru kita melangkah mundur melakukan argumen yang, maaf, (tampak seperti) pembodohan terhadap masyarakatnya sendiri.
Secara matematika sederhana, mungkin kita bisa menganalisis bahwa untuk menyederhanakan koreksi subsidi BBM sebesar Rp 40 triliun, kita telah mengoreksi harga BBM sekitar 29 persen (kalkulasi persentasi yang tidak fair karena hanya mengkover tingkat kenaikan harga satuan dan tidak dikalikan dengan volume tiap jenis BBM).
Bila kita coba menghitung Rp 40 triliun dibagi 220 juta rakyat Indonesia, setiap orang Indonesia harus menanggung sebesar hanya sekitar Rp 181.819 per tahun atau setara dengan Rp 15.156 per bulan. Namun, kebijakan BBM telah mengakibatkan kenaikan biaya hidup langsung (hanya biaya hidup), mungkin minimal sekitar Rp 100.000 per bulan atau setara dengan Rp 1.200.000 per tahun. Sehingga, bila diakumulasikan dengan 220 juta penduduk Indonesia, setara dengan sekitar Rp 264 triliun.
Yang menjadi masalah untuk dipertanyakan adalah apakah kita terlalu pintar untuk mendapatkan Rp 40 triliun hingga perlu mengambil milik masyarakat Indonesia sebesar Rp 264 triliun? Bila kita melihat secara matematis, perusahaan ini akan segera bangkrut. Jadi, bila argumentasinya adalah akan mengurangi tingkat kemiskinan, itu menjadi tampak konyol karena yang terjadi adalah proses kemiskinan rakyat Indonesia sebesar Rp 264 triliun dan dihibur dengan subsidi kesehatan dan pendidikan Rp 18 triliun. Jadi, tetap lebih miskin Rp 246 triliun. Sedangkan sebenarnya masalah pendidikan dan kesehatan bukanlah sebuah pemberian dari pemerintah, melainkan merupakan kewajiban yang diisyaratkan oleh undang-undang yang menjadi hak bagi segenap warga negara.
Mungkin sudah waktunya kita berpikir bahwa kerusakan ekonomi negeri bukan semata karena aspek korupsi, tapi juga kebijakan yang kurang cerdas. Kalkulasi negara atas kebijakan BBM, yang memiskinkan masyarakat dalam setahun Rp 246 triliun, tidak melahirkan manfaat bagi siapa pun termasuk mungkin Jin dan Jun sekalipun. Dalam hal ini, kita tak usah lagi menoleh efek domino (sebagai dampak tidak langsung) dari kenaikan BBM karena akan sia-sia belaka. Sebab, untuk efek primer saja, "matematika" kita masih payah
Ir Irwan Kartiwan Lingkungan III Manado
Penjelasan Alvin Lie
SEHUBUNGAN dengan berita di Tempo edisi 28 Februari-6 Maret 2005, halaman 20, rubrik Peristiwa, berjudul DPR Kemalingan Hard Disk, terdapat beberapa hal yang perlu diluruskan, yaitu:
- Sekretaris Alvin Lie, Anang Bambang Rahmidi (seharusnya Rahmadi), pulang belakangan/setelah Endang pulang, bukan pulang lebih dulu.
- Penulisan nama Najamudin seharusnya Nazamuddin.
- Bapak Nazamuddin bukan bos cleaning service, melainkan salah satu anggota DPR RI dari Fraksi PAN.
Demikianlah klarifikasi berita ini agar tidak merugikan pihak-pihak terkait.
Endang Risnandar Staf pribadi Alvin Lie
Mohon maaf atas kesalahan penulisan nama tersebut, dan terima kasih koreksi serta penjelasan Anda—Red.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo