Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Temaram menyamarkan lekuk tubuh telanjang tiga lelaki. Mereka berjalan beringsut ke tengah panggung. Gerakan mereka kikuk. Kedua tangan mereka tak bebas bergerak karena salah satu harus menutupi kemaluan. Beberapa langkah dari mereka, sinar pucat menerangi tubuh seseorang berbaju terusan putih yang terbaring di lantai. Tubuhnya beku, miring membelakangi penonton.
Lima menit berikutnya, komposisi memperlihatkan wajah wadak tubuh manusia. Dalam ketelanjangan, tiga lelaki itu menggeliat, bergetar, kikuk. Penonton tak naim karenanya. Bagaimana tidak? Mereka memperlihatkan kondisi tersudut. Seolah penelanjangan paksa yang melucuti mereka dalam kondisi yang dianggap aib sejak Adam menelan khuldi.
Tubuh polos itu tak hendak membuat sensasi di Gedung Kesenian Jakarta, dua pekan lalu. Mereka muncul sebagai bagian dari konsep koreografi Dead and AliveBody in the Borderline. Diciptakan Kim Itoh, karya yang tampil pertama kali di Tokyo Metropolitan 1995 ini menjadi penampilan tari terbaik di "Art Summit Indonesia IV", yang telah berakhir 10 Oktober lalu. Berdurasi 30 menit, Dead and Alive ditarikan empat penari lelakisalah satunya Itoh sendiridiiringi komposisi Felix Mendelssohn dan Maurice Ravel.
Kim Itoh, 39 tahun, saat ini dikenal sebagai koreografer kontemporer Jepang generasi terbaru. Pendiam namun terlihat funky dengan penutup hitam di mata kanannya seperti bajak laut. "Mata saya cacat setelah kecelakaan mobil pada usia empat tahun. Tapi saya mengenakan penutup ini sejak memutuskan menjadi penari," ujarnya pelan. Sosoknya unik. Ia membutuhkan satu hari untuk menjawab pertanyaan tentang ketelanjangan di atas pentas. "Saya hanya berpikir bahwa ketelanjangan merupakan kostum paling sederhana," katanya saat ditemui Tempo di Hotel Treva, Jakarta.
Lihatlah ia menempatkan tiga penarinya: Makoto Enda, Norikazu Maeda, dan Tsuyoshi Shirai bergerak sekitar 10 menit dalam keadaan loncos. Mereka berjajar membentuk garis horizontal, melatarbelakangi gerakan tubuh Kim Itoh. Ia mulai menari setelah bangkit dari posisi tertidur miring di lantai.
Gerakan Itoh pelan. Dengan kedua tangan terkait di belakang pinggangnya, ia perlahan bangkit. Kepalanya tertutup kain hitam. Dalam keadaan itu, ia bergerak maju secara horizontal di atas jalur warna merah yang diciptakan sinar lampu dari balik kiri panggung. Sampai di ujung kiri, ia berhenti. Berbekal teknik Butoh, Itoh menggiring penonton larut memasuki imaji mereka sendiri tentang kematian dan kehidupan.
Kesan ini wajar muncul dari sebuah pertunjukan Butoh. Lahir pasca-Perang Dunia Kedua, Butoh dibicarakan dunia ketika Tatsumi Hijikata dan Yoshito Ono menampilkannya di Tokyo pada 1959. Teknik ini berangkat dari imaji terdalam yang mesti dipertahankan penari selama pertunjukan. Hasilnya, gerakan lebih berupa impuls yang ditimbulkan imaji tersebut ketimbang kesadaran logika. Ukuran estetik penentu kualitas seni terpelanting oleh semangat peluruhan dalam Butoh. "Do not try to be good," ujar Kazuo Ohno, salah satu pendiri Butoh.
Hal itu juga berlaku dalam pertunjukan Kim Itoh. Ia mengaku tidak berpikir tentang nilai filosofis atau tema serius saat menciptakan karya. Lihat saja ide sederhananya saat menciptakan Dead and Alive. Ia berangkat dari tema tentang borderline, batas yang mendikotomikan tubuh. "Jika kamu tidak bergerak, kamu terlihat mati. Pilihannya hanya bergerak atau tidak bergerak. Inilah hidup, yang hanya mengakui dua hal. Namun, bagaimana kalau kita berada di ruang antara?" ujar Itoh, yang mengenal Butoh saat bergabung dengan Anzu Furukawa and Dance Butter (1987-1990).
Kesederhanaan ide juga hinggap di karya F.T., yang menggabungkan kolaborasi Butoh dan balet modern. Inilah karya pertama Itoh (tampil di New York, 2003) yang melibatkan penari perempuan. Pikirnya saat itu, perempuan selalu identik dengan rok. Setelah mengeksplorasi kostum ini, ia terpikir bagaimana perempuan berjuang melawan dirinya sendiri untuk menjadi perempuan. Baginya, lelaki lebih bebas, sementara perempuan membawa beban pemikiran dalam dirinya.
Hasilnya adalah sebuah komedi. Tiga perempuan mengepak-ngepakkan rok lebar yang mereka kenakan. Kemudian muncul seorang penari berpakaian serangga yang menurut Itoh lambang lelaki. Ketika mahkota belalainya dilepas, "serangga" ini menangis keras. Tangisannya disusul ketiga perempuan. Lantas, mereka menari dengan gerakan balet dan beberapa menit kemudian mereka sibuk terjungkal tanpa sebab.
Mungkin karya ini terasa konyol. Terutama dengan penampakan serangga yang mengingatkan pada karakter komik Jepang. Justru dengan cara ini, Itoh mengakui identitasnya sebagai orang Jepang. Lihat saja bagaimana ketika tiga lelaki telanjang tiba-tiba menurunkan bahu mereka, menghela napas keras, dan meninggalkan panggung dengan langkah terbirit-birit. Adegan ini langsung meruntuhkan keseriusan Dead and Alive.
Ketelanjangan dan komedi di kedua karya itu seolah menyindir kebekuan manusia Jepang yang, menurut novelis Saiichi Maruya, tak hidup ataupun mati. Namun, tanpa disadari Itoh, situasi itu bukan milik Jepang semata. Kehidupan akan terasa tawar ketika kita tak berani menertawakannya.
F. Dewi Ria Utari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo