Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam kolom Opini TEMPO Edisi 22-28 September 2003, Majalah TEMPO mengangkat komitmen Presiden Megawati untuk menghilangkan praktek korupsi dan mengancam para direktur jenderal agar tidak memberikan fasilitas kepada keluarganya dan keluarga suaminya. Publik segera memahami hal itu sebagai awal sebuah perang baru melawan ”kanker” korupsi yang sudah mencapai stadium gawat di negeri ini. Kami, Indonesian Airlines (IA), sependapat dan mendukung sepenuhnya pernyataan Presiden untuk menghilangkan praktek KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) untuk membangun pemerintah yang bersih di negeri tercinta, Indonesia. Dukungan ini seiring dengan nilai yang dianut dan dijalankan oleh IA untuk membangun pengelolaan usaha yang bersih dan baik (good corporate governance). Dalam visi dan misinya, IA berketetapan untuk menciptakan perusahaan yang baik di Indonesia, negara yang memiliki badan usaha dengan predikat ”The Worst Corporate Governance”. Namun hal itu telah menjadi lain karena dalam kolom Opini, TEMPO menyatakan adanya indikasi jelas bahwa Indonesian Airlines tidak dikelola secara profesional untuk ukuran bisnis penerbangan, nebeng nama keluarga orang nomor satu, menyuap para pejabat pemerintah pemberi izin, atau menggunakan koneksi kekuasaan untuk mendapat pengecualian atau dispensasi untuk minta kredit dari bank dan mendapatkan konsesi istimewa jatah pengangkutan haji. TEMPO tampak juga mengintimidasi Departemen Perhubungan dan Telekomunikasi serta Direktorat Jenderal Perhubungan Udara yang mengakibatkan pemberian izin-izin yang diperoleh identik dengan KKN. Yang terburuk adalah cover Majalah TEMPO, ’Penerbangan Terakhir’ Indonesian Airlines, yang telah menghakimi dan membunuh IA ketika perusahaan kami sedang berusaha keras untuk tetap menjalankan usahanya dan memberikan peluang bagi putra bangsa yang cerdas dalam membangun negara tercinta, Indonesia. Bila TEMPO boleh menyatakan adanya indikasi kuat praktek buruk dalam pengelolaan usaha IA, TEMPO harus membuktikannya. Atau mungkin IA juga boleh menyatakan: ada indikasi yang jelas bahwa TEMPO telah menerima suap untuk membuat berita bohong untuk menghancurkan IA. Terdapat indikasi yang nyata adanya konspirasi perusahaan penerbangan pesaing IA yang mempergunakan pemberitaan TEMPO untuk menghancurkan IA. Untuk mendukung pernyataan tersebut, kita telaah dari awal berdirinya IA hingga sekarang dan membandingkan fakta tersebut dengan pernyataan TEMPO. Indonesian Airlines didirikan pada 1999 oleh Marsekal (Purn.) Kardono (almarhum) dan Rudy Setyopurnomo, lulusan Harvard University dan MIT yang berpengalaman lebih dari 20 tahun di dunia penerbangan. Business plan Indonesian Airlines berdasarkan pada tesisnya yang berjudul ”Airline Corporate Strategy and Aircraft Leasing”. Tesis tersebut mengungkap strategi untuk membangun perusahaan penerbangan dengan cara menyewa pesawat terbang untuk mengurangi risiko airline yang multidimensi, meminimalisasi kebutuhan modal investasi dan modal kerja untuk memperoleh net present value yang optimal. Tesis ini bertentangan dengan tulisan TEMPO, alinea 7: ”Jika modal untuk membeli atau menyewa elang besi yang mahal itu kurang, pengalaman pengelolanya cekak, maka risiko kerugian yang bisa membawa kehancuran bisnis tinggal menunggu hari.” Untuk membangun airline yang baik, menurut tesis tersebut, perusahaan penerbangan tidak perlu membeli pesawat yang mahal karena IA dapat menyewanya. IA siap untuk membuktikan tesis ini. Selain itu, IA tidak mempekerjakan pengelola yang berpengalaman cekak. IA memperoleh izin usaha dari Departemen Perhubungan dan Telekomunikasi yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perhubungan Udara pada bulan September 1999. Izin tersebut diperoleh berkat business plan IA yang utuh menyeluruh (comprehensive) dan dukungan para profesional dengan pengalaman 20-40 tahun di dunia penerbangan untuk menerapkan strategi perusahaan. IA tidak pernah menyuap satu pun pejabat Departemen Perhubungan atau Dirjen Udara ataupun mendapat perlakuan khusus dalam memperoleh izin usaha tersebut. Fakta tersebut bertentangan dengan pernyataan TEMPO, alinea 8: ”Sering terjadi, untuk sekadar memenuhi persyaratan minimum, mereka yang nekat mendirikan perusahaan penerbangan menempuh jalan berputar yang sebenarnya kurang bertanggung jawab.... Apabila syarat kelayakan berusaha masih kurang juga, diusahakan dengan menyuap para pejabat pemberi izin....” Setelah mendapatkan izin usaha tersebut, IA menandatangani perjanjian penanaman modal dengan sebuah perusahaan Amerika. Namun kemudian terjadi beberapa serangan teroris di Indonesia yang akhirnya mengakibatkan pembatalan rencana investasi tersebut. Setelah pembatalan perjanjian investasi tersebut, IA mencari kembali calon inves-tor baru untuk menjalankan usahanya. Beberapa investor dari dalam dan luar negeri telah menunjukkan keinginan dan menandatangani komitmennya, tapi teror yang berkepanjangan dan ketidakstabilan politik telah menunda kelangsungan investasi. Sebenarnya, dalam ”keadaan normal”, di mana nilai tukar dolar terhadap rupiah tinggi, suku bunga bank di Indonesia tinggi, murahnya tenaga kerja profesional, dan besarnya pasar Indonesia, seharusnya investor akan tertarik untuk menanamkan modal di Indonesia. Dan untuk menarik penanam modal pada IA, diciptakan budaya perusahaan yang bersih yang melarang praktek KKN dan mencantumkannya dalam setiap kontrak IA. IA juga mengembangkan manajemen kontrol yang transparan dengan beberapa bisnis model dan simulasi untuk pengendalian perusahaan. Namun pada kenyataannya investasi di Indonesia sangat sulit karena Indonesia telah masuk dalam perang global, termasuk persaingan perebutan modal asing. Indonesia telah diserang pada titik lemahnya, yaitu keragaman budaya. Kesatuan, persatuan, solidaritas bangsa telah berada pada titik terendah karena krisis multidimensi perubahan sistem politik terjadi. Teror di Kalimantan, Poso, Maluku, Jakarta, dan tempat lain telah mengubah keseimbangan dan menghalangi terjadinya investasi di Indonesia. Keadaan membaik bagi Indonesian Airlines ketika pendiri perusahaan bertemu dengan Santayana Kiemas, yang tertarik untuk membantu IA membangun sebuah perusahaan penerbangan nasional yang baik, yang berkeinginan memberikan kesempatan kerja pada generasi muda yang cerdas agar dapat terlibat dalam perang global membangun bangsa. Keinginan tersebut menjadi lebih mantap ketika business plan IA di-endorse oleh Arthur Andersen dan strategi IA didukung oleh Speed Wing (anak perusahaan British Airways) untuk mempergunakan dua B-737-300 Lufthansa dalam memulai usahanya. Business plan yang utuh menyeluruh dan dukungan profesional serta proses sesuai dengan peraturan yang berlaku menjadi dasar utama perolehan dukungan bank. Dukungan ini mengubah posisi IA dari perusahaan penerbangan yang tidak beroperasi menjadi perusahaan penerbangan beroperasi. Kenyataan ini bertentangan dengan pernyataan TEMPO, alinea 8: ”Penggunaan koneksi kekuasaan juga terjadi untuk minta kredit dari bank, khususnya pada bank milik negara atau bank yang masih bergantung pada pemerintah—berada dalam pengelolaan Badan Penyehatan Perbankan Nasional.” Indonesian Airlines memulai operasi perdana pada Maret 2002 dengan rute Jakarta-Surabaya dengan memberikan pelayanan berorientasi pada pelanggan. Dengan biaya sewa pesawat US$ 160 ribu per bulan dan harga tiket Rp 600 ribu untuk satu jam terbang, IA memperoleh keunggulan atas pesaingnya. Dalam kurun waktu tiga bulan IA memperoleh predikat terhormat ”The Best On Time Performance for Domestic Airlines” dari PT Angkasa Pura. Untuk mengurangi risiko usaha satu jalur, IA segera membuka jalur penerbangan ke Yogyakarta dan Denpasar. IA juga berusaha melakukan operasi ”Close Loop” dengan menerbangi rute Jakarta-Denpasar-Surabaya-Jakarta. Namun Dirjen Udara tidak memberikan izin pada IA untuk menjual tiket pada sektor Denpasar-Surabaya. IA telah berusaha mendapatkan izin agar dapat menambah pendapatan untuk menutupi biaya, tapi sejauh ini tidak berhasil. Makin ketatnya persaingan usaha telah menyebabkan harga di bawah kewajaran dan posisi kas menjadi negatif. Sebenarnya Dirjen Udara dapat menolong IA atau perusahaan penerbangan lain untuk tetap berdiri demi terciptanya lapangan kerja dan berlangsungnya pembangunan nasional. Namun, sejauh ini, Dirjen Udara tidak mengizinkan IA menerbangi rute Denpasar-Surabaya secara komersial. Meskipun kondisi buruk, IA tidak pernah menyuap pejabat atau mempergunakan kekuasaan untuk mendapatkan izin penerbangan. Sebaliknya, IA berusaha memberikan penjelasan betapa pentingnya dukungan Dirjen Udara selaku pembina terhadap IA. Bagi IA, untuk memperoleh izin dari Dirjen Udara sulit, tapi IA tidak pernah menggunakan kekuasaan dan nama keluarga presiden untuk memperoleh izin dari Dirjen Udara. Kenyataan ini bertentangan dengan pernyataan Tempo, alinea 6: ”Ada juga indikasi bahwa maskapai tersebut beroperasi dengan jalan ’nebeng’ nama keluarga orang nomor satu itu.” Lebih jauh, meskipun keadaan sulit, manajemen profesional IA tidak pernah meng-operasikan pesawat udara dengan mengorbankan keselamatan penerbangan. Lebih baik menunda keberangkatan atau tidak mem-berangkatkan penerbangan daripada mengorbankan keselamatan penerbangan. Ke-nyataan ini bertentangan dengan pernyataan TEMPO, alinea 7: ”Dengan modal yang pas-pasan, tapi operasi dipaksakan juga, risikonya lebih berat: ketidaknyamanan sampai keselamatan terbang harus ditanggung penumpang.” Persaingan usaha penerbangan telah begitu sengit pada akhir-akhir ini, dari predatory pricing, sistem reservasi, sampai pencurian peranti perangkat lunak dan perangkat keras. IA menyadari bahwa banyak model bisnisnya telah dikopi atau dicuri, tapi karena perlindungan hak cipta intelektual belum tersedia dengan baik, IA lebih berfokus pada penanganan usaha penerbangan sendiri. Untuk mengembangkan usaha, IA melihat peluang penerbangan ke Timur Tengah yang punya lalu lintas penerbangan padat. Sebagian besar penumpang dari Indonesia ke Timur Tengah bertujuan ke Arab Saudi. Rute penerbangan langsung Indonesia-Saudi dikuasai dan dimonopoli oleh Saudia dan Garuda sesuai dengan MOU antara pemerintah RI dan Saudia. Namun, baik Garuda maupun Saudia tidak punya cukup armada, sehingga banyak penerbangan asing lainnya memanfaatkan kelemahan ini dan melayani melalui negaranya, antara lain Singapore Airlines, Malaysia Airlines, Thai Airways, Philippine Airlines, Royal Brunei, Air India, Srilankan Airways, Qantas, Emirates, Kuwait Airways, Yemenia, dan Royal Jordan. Pada musim haji, penerbangan asing ini melayani penerbangan ONH plus dari Indonesia ke Jeddah. Tahun ini, kira-kira 20 ribu penumpang ONH plus diterbangkan oleh mereka. Untuk menerbangkan ONH plus, tidak diperlukan konsesi jatah pengangkutan haji dari pemerintah. Di samping itu, terdapat lebih dari 200 ribu penumpang haji ONH biasa setiap tahun. Program ONH biasa ini dikelola oleh pemerintah dan untuk pengangkutannya diberikan secara khusus kepada Garuda dan Saudia. Namun, karena Garuda dan Saudia tidak memiliki jumlah armada yang memadai untuk mengangkut ONH biasa ini, mereka kemudian menyewa pesawat terbang berbadan lebar dari perusahaan asing. Tahun ini, Garuda menyewa kira-kira 20 pesawat terbang dan Saudia menyewa 10 pesawat terbang untuk melaksanakan proyek ini. Walhasil, perusahaan asing yang menyewakan pesawat terbang memperoleh keuntungan luar biasa, bahkan perusahaan tersebut dapat mengembangkan armada dan menggantungkan usahanya terutama dari angkutan haji Indonesia. Dalam hal ini, IA tidak pernah mendapat konsesi jatah angkutan haji ONH biasa atau ONH plus. IA menyewakan salah satu pesawat terbang B-747-300 kepada Saudia sesuai dengan kaidah bisnis yang normal. Untuk mengangkut kurang dari 2.000 anggota jemaah ONH plus, IA memperoleh izin dari Saudia dengan membayar royalti US$ 95 per penumpang kepada Saudia. Hal ini sesuai dengan aturan yang ada. Pembayaran royalti ini bukan sesuatu yang eksklusif dan hanya dapat diperoleh oleh IA. Sebagai contoh, Merpati pernah ditawari oleh Saudia pada musim haji sebelumnya, tapi menolak karena alasan komersial. Meskipun IA telah mendapatkan izin penerbangan tersebut, IA harus tetap bersaing ketat dengan penerbangan asing di atas untuk mendapatkan penumpang. Kenyataan ini bertentangan dengan pernyataan TEMPO, alinea 8: ” Koneksi kekuasaan juga bisa dipakai untuk mendapatkan konsesi istimewa tertentu, misalnya jatah pengangkutan haji.” Bila Dirjen Udara peduli akan kelangsungan usaha perusahaan penerbangan, seharusnya dapat menolong perusahaan penerbangan yang sedang mengalami kesulitan keuangan seperti Chapter 11 yang diterapkan oleh pemerintah Amerika. Saat ini banyak perusahaan penerbagan Amerika yang menghadapi kesulitan keuangan dan pemerintah Amerika menempatkan perusahaan tersebut dalam Chapter 11untuk menjaga kelangsungannya, demi terjaminnya penciptaan lapangan kerja dan pembangunan nasional. Namun TEMPO dalam kolom opininya justru membuat kondisi usaha menjadi buruk dengan mengintimidasi Departemen Perhubungan dan Telekomunikasi serta Ditjen Perhubungan Udara seakan agar tidak membantu IA karena akan dianggap melanggar komitmen dan pernyataan presiden dalam menghilangkan KKN. Kolom Opini TEMPO alinea 9: ”Di sini pemerintah, dalam hal ini Departemen Perhubungan, seharusnya berperan. Sebagai regulator dunia penerbangan, pemerintah seharusnya sangat hati-hati dalam memberikan izin operasi bagi perusahaan penerbangan reguler. Berbeda dengan penerbangan carter, penerbangan reguler memiliki jadwal mengangkut penumpang dan barang yang teratur dan ketat. Artinya, masyarakat luas yang akan kena dampaknya.” Alinea 10: ”Prinsip kehati-hatian itulah yang tidak kelihatan diterapkan dalam kasus Indonesian Airlines. Koneksi kekuasaan yang terlibat memang (barangkali) ikut dalam memberikan modal bukan karena tertipu, tapi karena optimisme yang berlebihan, sampai mendekati avonturisme.” Alinea 11: ”Jika sudah begini, soalnya tinggal menguji, adakah Indonesian Airlines yang tinggal menunggu ”penerbangan terakhir”-nya itu kasusnya dikupas habis atau malah diselamatkan dari perhatian publik—sampai kelak orang melupakannya. Masih bisakah kita berharap kata-kata yang sudah diucapkan tak berubah, dan begitu pula sikap pelakunya?” Dari pernyataan di atas, Tampaknya TEMPO mengintimidasi Dirjen Perhubungan Udara. Kami melihat adanya korelasi antara usaha pesaing penerbangan dan pemberitaan TEMPO dalam menghancurkan reputasi dan citra Indonesian Airlines. Karena itu, IA merasa sangat penting untuk mengungkap ketidakjujuran pemberitaan TEMPO. Pengungkapan ini mungkin akan menguak adanya konspirasi yang telah memperalat TEMPO sebagai media untuk menghancurkan Indonesian Airlines. Kami akan sangat kecewa bila TEMPO, yang selama ini kami pandang sebagai media yang sangat terhormat, anti-penyalahgunaan kekuasaan, anti-KKN, ternyata terbukti melakukan praktek kotor dalam usahanya. Apa yang IA inginkan adalah turut menciptakan good corporate governance di negara tercinta, Indonesia.
PT Indonesian Airlines
Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo