PENGUASA membebaskan koruptor. Itu di koran, tapi tidak di panggung Teater Gandrik! Kelompok teater yang bermarkas di Yogyakarta ini bak menyampaikan pesan yang seharusnya ditulis koran. Lewat lakon Departemen Borok karya Heru Kesawa Murti, mereka menyeret koruptor ke hotel prodeo.
Sekitar 300 penonton duduk di lantai beralas tikar di Gedung Purna Budaya Yogyakarta, Selasa dan Rabu pekan lalu. Mereka menyimak drama arahan Whani Darmawan dan Jujuk Prabowo itu. Alkisah, pada 2035, para petugas Komite Anti Korupsi (KAK) menyatroni dan meneror anggota Parlemen Wilayah, Kepala Dinas Pengendalian Pembangunan Wilayah, dan bekas istri kedua seorang pejabat. Para koruptor itu pada blingsatan.
Korupsi itu perkara serius, tapi di pentas Teater Gandrik jadi tontonan segar, sarat banyolan, menyenangkan. Pendeknya, ringan bak minuman soda gembira. Pemain banyak melontarkan sinisme dan humor lokal. Tontonan jadi lebih berwarna karena kostum para pemain yang bercorak warna-warni, ngejreng. "Bajumu kok seperti soda gembira," celetuk Sirhan (Butet Kartaredjasa), melihat corak pakaian ngejreng Misai (Agus Kencrot), kolega bisnisnya.
Berbekal segepok daftar kekayaan, tiga petugas KAK—Busak (Susilo Nugroho), Lamar (Whani Darmawan), Emindah (Quintasari)—menyeret Sirhan, anggota Parlemen Wilayah yang juga dikenal sebagai usahawan kelas kakap. Mereka curiga Sirhan menyembunyikan kekayaan yang tak sesuai dengan daftar yang ia laporkan. Mereka memeriksa Sirhan di bawah sorot lampu ribuan watt. Interogasi itu serius, tapi kadang ngebanyol.
Lampu sorot pindah ke pojok, menyorot Gesti, istri kedua Rumeksa, bekas Kepala Dinas Pengendalian Pembangunan Wilayah. Ia ditanya dengan gencar asal-muasal kekayaan almarhum suaminya yang ia warisi. Ia bilang kekayaan itu bukan hasil korupsi, tapi "warisan cinta" sang suami. Mana ada koruptor mengaku. Seperti halnya Ageman, pejabat baru Dinas Pengendalian Pembangunan Wilayah yang membantah korup.
Cerita jadi kompleks dan antiklimaks ketika Lamar, salah seorang petugas KAK, terpaksa menikahkan anak perempuannya yang telanjur hamil. Padahal saldo tabungannya tinggal Rp 50 ribu. Maka muncullah akal bulus kaum koruptor yang berusaha membungkam tiga petugas KAK dengan menyuap mereka. Maka virus korupsi pun merebak di kalangan KAK. Dan pertahanan Lamar pun jebol. Ia menerima uang yang ditransfer Sirhan dkk. Dua koleganya, Busak dan Emindah, sempat saling curiga. Tapi belakangan mereka sepakat menyerahkan hasil penyelidikan kepada Abiserna (Djaduk Ferianto), Ketua KAK, untuk diteruskan ke kejaksaan. Tak jelas apa yang kemudian dilakukan kejaksaan. Tapi tukang sapu di kantor KAK, Minor (Jujuk Prabowo), menutup pertunjukan berdurasi dua jam ini dengan menumpahkan isi keranjang sampah sambil bersungut-sungut.
Kali ini Teater Gandrik membawa bentuk baru dalam bertutur. Panggung yang luas terasa padat karena diperlakukan sebagai pentas beberapa adegan yang berbeda dengan teknik lampu, sehingga penonton bisa menyaksikan beberapa adegan secara simultan. Biasa menggunakan instrumen musik tradisi, teater ini kini mengusung instrumen musik modern—yang juga berperan menciptakan efek suara.
Tapi ada yang hilang: tak ada lagi gaya sampakan. Butet, Susilo Nugroho, dan Djaduk, yang biasa rajin membangun interaksi dengan penonton, kelihatan lebih asyik menggarap dialog dengan sesama aktor. Butet dan Susilo beberapa kali memang berusaha berinteraksi, tapi tak mendapat respons. "Penontone budek kabeh (penonton tuli semua)," ujar Butet di panggung. Geerrr....
Raihul Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini