Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suara Seorang Ibu untuk Menteri Dalam Negeri
Membaca berita di berbagai media massa pada 4 September 2003 soal tewasnya praja Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), Wahyu Hidayat, saya merasa prihatin dan sangat shocked. Betapa sedih dan terpukulnya orang tua Wahyu Hidayat, korban penganiayaan tersebut.
Saya, yang memiliki anak yang masih kuliah di sekolah tersebut, senantiasa diliputi perasaan takut dan waswas karena mereka akan mengalami hal-hal tersebut hingga mereka sampai di tingkat III.
Kita sekolahkan anak-anak kita untuk menjadi pintar dan mandiri, bukan untuk dihadang maut yang siap menerkam kapan saja. Kegiatan fisik yang padat dan hukuman fisik yang keras menyebabkan mereka tidak belajar maksimal, sehingga ketika mereka lulus nanti dari almamaternya, mereka merasa begitu sedikit ilmu yang mereka peroleh karena fisik yang diforsir berlebihan. Mohon perhatian dan tindak lanjut dari Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno. Mereka bukan tentara zaman romusa.
Nama dan alamat ada pada Redaksi.
Soal Dewi Hughes
Sehubungan dengan tulisan pada rubrik Pokok dan Tokoh, halaman 137, TEMPO Edisi 1-7 September 2003, yang memberitakan Dewi Hughes, saya berkeberatan atas penulisan kata ”gembrot” dan ”supergendut” yang amat melecehkan beliau dan orang yang bertubuh gemuk lainnya.
Orang bertubuh gemuk bukanlah bahan pelecehan seperti dalam TEMPO yang mempermasalahkan hubungan tubuh gemuk dengan acara yang dibawa oleh beliau. Yang penting, beliau dapat berprestasi dan tidak menyusahkan orang lain.
Saya bukan penggemar ataupun keluarga beliau, tapi saya peduli akan etika dan moral sebagai bangsa Indonesia. Saya harapkan Redaksi tidak mengulang kesalahan yang sama di masa depan.
A. YAZDI IKHSAN
Jalan Pulo Mas II F/3
Pulogadung, Jakarta Timur
Telkomsel Mengecewakan
Menindaklanjuti komplain saya terhadap Telkomsel di salah satu harian nasional edisi Jawa Timur pada 5 September 2003, kembali saya dikecewakan oleh Telkomsel. Perusahaan telekomunikasi ini sama sekali tidak menunjukkan iktikad baik untuk menyelesaikan permasalahan drop pulsa yang saya alami.
Setelah saya mengalami drop pulsa sejak 6 Agustus 2003, sampai hari ini, Telkomsel menyatakan bahwa saya terkena roaming luar area (Medan) karena pada saat tersebut saya berada di Surabaya (saya pengguna kartu Simpati nomor Jakarta). Padahal saya sama sekali tidak menerima incoming call dari nomor mana pun. Malah, merujuk call data record (CDR) Telkomsel, justru ada ketidaksesuaian waktu antara incoming call di handphone (HP) dan waktu outgoing call nomor Medan. Bahkan, bila di-crosscheck dengan data di HP (di CDR tertulis pada pukul 19.21.37 WIB, sisa pulsa saya tinggal Rp 677), pukul 20.40 WIB-21.28 WIB saya masih bisa melakukan missed called untuk tiga nomor tujuan.
Pada Selasa, 2 September 2003, saya melakukan pertemuan dengan Telkomsel, tapi Telkomsel tidak dapat menjelaskan soal perbedaan waktu tersebut dan perbedaan waktu CDR dengan data HP. Kemudian Public Relations Officer Telkomsel Surabaya, Erika, menanyakan soal tuntutan saya dan sepakat akan melakukan win-win solution. Pada 4 September, saya mengajukan surat tuntutan ke Telkomsel. Tapi, keesokan harinya, Telkomsel melalui GM Sales & CS Regional VI, Primadi K. Putra, menyatakan bahwa mereka tidak dapat memenuhi tuntutan kerugian saya dengan alasan roaming luar area tersebut dan permasalahan saya dengan Telkomsel sudah selesai pada pertemuan 2 September 2003.
Saya menyesalkan sikap Telkomsel ini. Seharusnya Telkomsel tidak sewenang-wenang menyatakan bahwa ada perbedaan setting mesin waktu pada masing-masing area dan seyogianya pelanggan juga mengetahui perbedaan setting waktu itu. Dan apakah Telkomsel berhak mengatur setting mesin waktu menurut versi mereka sendiri? Contohnya, selisih antara mesin waktu Medan dan mesin waktu Surabaya ada sekitar 1 jam 22 menit 70 detik. Bisa saja kasus drop pulsa dengan alasan tersebut acap terjadi. Dan jikalau demikian, apakah pelanggan sebagai pengguna jasa layanan Telkomsel yang akan selalu dirugikan? Dan apakah pelanggan sama sekali tidak dapat mengakses data seperti CDR, sementara hal itu menyangkut kepentingannya sendiri? Bagaimana dengan UU Kebebasan Informasi yang telah memungkinkan publik mengakses berbagai informasi? Mohon Telkomsel dapat menjelaskannya dan memperbaiki layanannya.
DIANA ROSMAWATI SILABAN
Jalan Jamin Ginting L.R. IX/9
Kota Madya Medan
Gapmmi Tertidur?
Pada 31 Juli 2003, Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ) dan Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC) melancarkan serangan terhadap perusahaan-perusahaan produsen makanan kecil dan menuduh mereka melanggar UU No. 8/1999 dan PP 69/1999. Tuduhan mereka itu ternyata tidak benar dan menyesatkan. Badan Pengawas Obat dan Makanan pun tidak mengadakan tindakan karena perusahaan-perusahaan itu tidak melakukan pelanggaran. Anehnya, Gabungan Perusahaan Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) tidak mengadakan reaksi. Penyebabnya ada dua kemungkinan. Pertama, pengurus tertidur atau sedang sibuk menghadapi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pelabelan Halal. Kedua, mungkin perusahaan-perusahaan makanan kecil itu bukan anggota Gapmmi.
Tuduhan bahwa makanan-makanan kecil itu mengandung monosodium glutamat (MSG) berkadar tinggi juga tidak benar karena kandungan MSG produk-produk itu hanya 2 sampai 4 persen dari Acceptable Daily Intake (ADI) yang ditetapkan WHO. Jadi, untuk mencapai ADI itu, anak-anak harus mengkonsumsi 25 bungkus sampai 50 bungkus setiap hari. Di samping membeli camilan, anak-anak perlu membeli minuman tidak berbotol yang mungkin mengandung zat warna tekstil dan mi atau bakso yang mungkin mengandung formalin atau boraks.
Sayangnya, dalam UU No. 8/1999 dan PP No. 69/1999 itu tidak ada sanksi terhadap lembaga swadaya masyarakat yang memberikan informasi yang tidak benar atau menyesatkan opini masyarakat. Namun perusahaan-perusahaan yang merasa dirugikan oleh siaran LKJ atau PIRAC punya peluang untuk mengadukannya ke pengadilan negeri dan minta/menuntut ganti rugi apabila perbuatan LKJ dan PIRAC itu menyebabkan omzet penjualan mereka menurun.
DRS. SUNARTO PRAWIROSUJANTO
Jalan Patiunus 8, Jakarta 12180
Tanggapan H.M. Nur El Ibrahimy
Sebagai orang yang terus-menerus mendampingi Abu di Beureueh dalam perjuangannya sejak 5 Mei 1939 sampai 14 Agustus 1950, saya mengucapkan terima kasih atas inisiatif TEMPO menyelenggarakan ”The Grand Exposition” di Majalah TEMPO Edisi Khusus 17 Agustus 2003. Dalam tulisan itu TEMPO membentangkan perjuangan seorang ulama besar Aceh dan ”The Great Leader of the Acehnese People” yang dilengkapi dengan pandangan tokoh-tokoh sejarah dan dibarengi pula oleh tulisan pakar-pakar sejarah, baik dari dalam negeri maupun dari mancanegara.
Mudah-mudahan ”Pameran” TEMPO yang lengkap ini dapat mendorong anggota-anggota DPR, terutama dari Aceh, pakar-pakar sejarah dan antropologi, serta ahli-ahli hukum tata negara untuk mendalami apa yang dibentangkan TEMPO itu guna mencari akar-akar konflik di Aceh yang sudah berlarut-larut tak terselesaikan. Sehingga pendapat seorang pakar sejarah Belanda bernama Coen Holtzappel, yang menjuluki sejarah Aceh sebagai sejarah berkepul asap, berlumuran darah, dapat dijadikan dasar pemikiran baru bagi penyelesaian konflik tersebut. Saya kira, tanpa mengganggu langkah operasi militer yang sedang berjalan sekarang ini, dapat dirumuskan suatu konsep perdamaian yang fundamental, konstruktif, dan komprehensif, yang dapat memberikan kepuasan bagi segala pihak.
Seandainya masih ada sisa-sisa dendam masa lalu yang melekat pada hati sanubari siapa pun, diharapkan, dengan terwujudnya perdamaian yang baru, itu bisa terkikis habis. Pandai-pandailah kita meniti buih agar selamat sampai ke tepian. Dengan demikian, tercapailah sebuah perdamaian yang abadi sepanjang masa. Satu hal yang tidak saya lihat dalam ”Pameran” TEMPO adalah peran Abu di Beureueh menyelamatkan Republik Indonesia dari krisis fatal yang dapat membuat tamatnya riwayat Republik Indonesia.
Pada 1949, hampir semua daerah RI diduduki oleh Belanda, bahkan Ibu Kota Yogyakarta pun sudah dapat dikuasainya. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden M. Hatta pun sudah ditangkapnya. Sedangkan perwira-perwira tinggi ketiga angkatan mengungsi ke Aceh. Di antaranya yang saya lihat sekarang ini masih hidup adalah Sudomo. Syafruddin Prawiranegra sebagai Kepala Pemerintah Darurat Republik Indonesia juga mengungsi ke Aceh.
Sekiranya Aceh dapat diduduki oleh Belanda, tamatlah riwayat RI. Tapi, berkat perjuangan rakyat Aceh, TNI Divisi X Aceh, Barisan-barisan Mujahidin, yang ketuanya Abu di Beureueh, ditambah dengan Tentara Pelajar di bawah pimpinan Amran Zamzami dan Tentara Pelajar Islam di bawah pimpinan A.K. Jakobi, yang semuanya di bawah pimpinan tertinggi Abu di Beureueh yang solid, Aceh dapat dipertahankan. Belanda tidak sampai menduduki Aceh. Dengan demikian, Republik Indonesia yang sudah sekarat hidup kembali. Dengan desakan L.N. Palar di PBB, Belanda terpaksa mengembalikan kedaulatan atas seluruh teritorial Indonesia kepada pemerintah RI.
Peranan Abu di Beureueh sebagai penyelamat RI tidak saya lihat dalam ”Pameran” TEMPO, di samping dua penyelamat lainnya, yaitu Syafruddin Prawiranegera dan L.N. Palar, Duta Besar RI di PBB. Tidak berlebihan kalau mereka bertiga ini dijuluki ”Tripartite Saver of the Republic of Indonesia”. Bagaimanapun kekurangan ini, saya cukup gembira dan puas dengan isi ”Pameran” TEMPO itu. Kepada Redaksi, saya sampaikan salam kehormatan: Bravo, TEMPO.
H.M. NUR EL IBRAHIMY
Jalan Tebet Barat IV/16
Jakarta 12810
Mencari Solusi di Antara Jerit Hati
Kering, itulah citra yang tergambar dan terlintas di benak setiap insan Indonesia ketika mendengar kata Gunung Kidul, Yogyakarta. Sudah bertahun-tahun belitan kekeringan tidak beranjak dari lubang hidung warga pesisir selatan Pulau Jawa itu. Apalagi di musim kemarau seperti sekarang ini. Cekikan semakin membelit kehidupan mereka. Air bersih layak konsumsi sebagai kebutuhan vital ternyata sangat sulit didapatkan. Diperlukan perjuangan yang keras untuk sekadar mengecupnya.
Tragedi ini ternyata tidak cukup mendapat perhatian yang serius dan tak menyibak nurani pejabat tinggi negeri ini. Sepertinya masalah kekeringan dan kelangkaan air bersih di Gunung Kidul ibarat mode atau tren yang hanya mendapat perhatian sesaat, setelah itu hilang dan dilupakan, kemudian mengemuka di tahun berikutnya. Begitu seterusnya berulang-ulang. Orang Gunung Kidul menerima tragedi ini dengan biasa. Mereka tidak pernah memprotes atau mengadakan aksi demo untuk masalah tersebut karena kekeringan merupakan selimut mereka di waktu malam dan baju di waktu siang. Walau kadang jerit perih mereka keluar juga, orang Gunung Kidul tahu diri, jeritan mereka ibarat lolongan serigala yang hanya mengusik tidur sekejap.
Bantuan memang kadang datang, tapi bantuan yang berupa air tangki akan ludes dalam beberapa hari. Upaya pencarian sumber mata air dengan cara mengebor tanah bermeter-meter dalamnya tidak menghasilkan limpahan air. Apakah pemerintah tidak mencoba memanfaatkan air laut?
Sekitar tahun (kalau tidak salah) 1985, saya pernah membaca artikel tentang teknologi pengubahan air asin (air laut) menjadi air tawar layak konsumsi. Teknologi itu diterapkan oleh Kerajaan Arab Saudi dengan pelaksana para insinyur Barat. Air olahan kemudian disalurkan lewat pipa-pipa raksasa yang diatur sedemikian rupa hingga dapat dinikmati oleh seluruh rakyat negeri tersebut.
Apakah pemerintah tidak tergerak untuk mencoba menerapkan teknologi tersebut di wilayah Gunung Kidul? Memang biaya yang dibutuhkan jutaan dolar, tapi hal itu cukup sebanding dengan penderitaan yang selama ini menimpa masyarakat di daerah tersebut. Daripada pemerintah menyuntikkan dana jutaan dolar ke institusi-institusi keuangan atau lembaga lain yang tidak jelas aksesnya dan malah banyak dikorupsi oleh oknum keparat, alangkah baiknya dana itu digelontorkan kepada rakyat Gunung Kidul dalam bentuk penerapan teknologi. Kalau itu terwujud, ke depannya, wilayah Gunung Kidul bisa dikembangkan menjadi daerah yang subur. Gunung-gunung cadas yang kering yang didiami semak belukar dan hanya sebagian yang ditanami pohon jati bisa diolah menjadi lahan produktif.
Ambil contoh Butchart Gardens di Pulau Victoria, British Columbia, Kanada. Dulu tempat tersebut adalah bekas galian batu kapur, bahan baku untuk pabrik semen Portland. Dengan semangat, niat, dana, dan ketulusan yang tinggi, tempat yang tidak menarik dikunjungi itu diubah menjadi taman yang spektakuler. Kita jejali saja wilayah kering Gunung Kidul dengan sampah organik berton-ton kubik dan kasih kesempatan melewati proses daur ulang biologis. Setelah itu, tebarkan cacing tanah untuk membangun kesuburan alami. Contoh lain, bisa kita lihat perjuangan rakyat Cantrabia, Spanyol, yang menyulap Cabarceno, bekas tambang biji besi, menjadi cagar alam dengan ribuan pohon rindang.
Saya percaya, dengan kekuatan dan niat yang terpendam di hati setiap rakyat Gunung Kidul, impian itu akan terwujud. Sekarang tinggal pemerintah, mau tidak mengupayakan teknologi tersebut, agar impian kita tentang Gunung Kidul yang gemah ripah loh jinawi dengan balutan tata tentrem kerta raharja menjadi kenyataan.
SRI ROMDHONI W. KUNCORO
Jalan Madura 1B, Kartotiyasan
Solo 57153
Hadiah Motor Bank BNI
Saya nasabah Bank BNI sejak 1990, ketika masih kuliah di Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, hingga saat ini. Meskipun berpindah-pindah ke beberapa kota dan provinsi di Indonesia, saya tetap setia dengan BNI. Setelah sekian lama saya menjadi nasabah BNI yang setia, akhirnya tabungan saya di BNI Cabang Jambi mendapat rezeki memenangi undian ”Taplus Periode IV Tahun 2002” berupa sepeda motor Suzuki RC-100. Tentu saja saya sangat bersyukur dan berterima kasih atas perhatian BNI kepada nasabahnya.
Pemberitahuan perolehan hadiah itu saya terima pada pertengahan Maret 2003. Namun, sejak 25 Maret 2003, saldo tabungan sudah saya dipotong sebesar Rp 2.112.500 sebagai pajak undian sebesar 20 persen. Saya tidak berkeberatan karena itu sudah kewajiban bagi penerima undian.
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya saya mendapat panggilan untuk mengambil hadiah dan pada 19 Mei 2003 saya menerima hadiah saya dengan menandatangani berita acara penyerahan hadiah. Dalam berita acara penyerahan hadiah, sudah cukup lengkap data mengenai sepeda motor saya, termasuk nomor mesin dan nomor rangka. Dan akhirnya hadiah saya bawa pulang ke kota tempat tinggal saya, Kerinci, yang berjarak tempuh 12 jam dari Kota Jambi. Tapi faktur kendaraan belum bisa saya bawa karena, kata staf BNI, faktur belum siap lantaran belum dikirim oleh PT BNI Wilayah Sumatera Bagian Selatan, dan akan segera dikirimkan sekitar seminggu setelah penyerahan hadiah. Faktur inilah yang seharusnya digunakan untuk membayar bea balik nama (BBN) sehingga motor dapat digunakan.
Saya sudah beberapa kali menghubungi BNI Cabang Jambi, tapi jawabannya tetap tidak memuaskan. Misalnya, masalah tersebut belum bisa diselesaikan oleh bagian undian di BNI Wilayah Sumbagsel di Palembang karena pergantian pejabat dan lain-lain. Hingga saat ini, 5 September 2003, faktur tersebut belum juga kami dapatkan sehingga otomatis motor tidak pernah digunakan karena belum ada surat kendaraan (STNK).
Kami mohon pihak BNI memperhatikan nasib saya ini karena kebahagiaan saya mendapat undian menjadi berkurang karena masalah faktur ini. Saya tidak bermaksud mencemarkan nama BNI karena sampai saat ini saya masih bersabar dan setia sebagai nasabah BNI. Mohon luangkanlah waktu untuk segera menyelesaikan faktur kendaraan tersebut, sehingga saya segera dapat menikmati hadiah BNI saya. Harap diingat, itu undian Taplus Periode IV Tahun 2002 dan kendaraan pun tahun 2002. Saya tidak tahu berapa biaya BBN kalau soal itu harus diurus pada akhir tahun 2003.
IR. FINDA EVYNDASARI
Sungai Penuh, Kerinci
Jambi
Ralat TEMPO Edisi 8-14 September 2003
- Dalam tulisan Sementara Nebeng Partai Demokrat, halaman 26, tertulis: ”...Budhi Santoso, bekas Rektor Universitas Indonesia.” Yang benar: S. Budhisantoso, guru besar antropologi FISIP Universitas Indonesia.
- Dalam tulisan Melacak Pembajak Sampai Rumah, halaman 62, tertulis: ”...denda US$ 750 hingga US$ 150 ribu (lebih dari Rp 600 ribu hingga hampir Rp 125 juta).” Yang benar: Rp 6 juta hingga Rp 1,25 miliar.
- Caption foto pada halaman 125 tertulis: ”Rusdiah, ibu Wahyu Hidayat.” Yang benar: Rosadah, ibu Wahyu Hidayat.
- Dalam tulisan berjudul Prospek Timor Leste-Indonesia, halaman 156, tertulis: ”....Demikian Menteri Luar Negeri Timor Leste, Mari Alkatiri, menggambarkan hubungan baik RI-Timor Leste pekan lalu. Yang benar: Menteri Luar Negeri Ramos Horta. Mari Alkatiri adalah Perdana Menteri Timor Leste.
Mohon maaf atas kesalahan penyebutan nama dan jabatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo