Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Enam buah koper tua lusuh itu teronggok di lantai. Tampak tempelan bekas bar code penerbangan Cathay Pacific dan maskapai lain, mengandaikan koper-koper itu telah melakukan perjalanan jauh. Dan dalam kesunyian, kita melihat ada koper karatan yang menutup dan membuka sendiri, seolah mulut yang hendak mengatakan sesuatu. Itulah Long Journey karya Herman Radjab, sebuah karya yang entah kenapa mengingatkan pada sosok perupa sebagai pelaku seni di era sekarang yang bak Ashaverus, tokoh mitologi Yunani. Setidaknya punya kemungkinan "dikutuk" untuk melakukan perjalanan lintas kultural.
Bienal yang diselenggarakan CP Galeri ini bertajuk "Interpelasi". Kita tahu istilah itu lebih berkonotasi politis, yaitu hak bertanya bagi anggota DPR untuk minta keterangan atas kebijakan tertentu pemerintahsebuah fenomena yang marak setelah jatuhnya Orde Baru. Kurator Jim Supangkat menggunakannya sebagai sebuah sikap politik kebudayaan. Ini bertalian dengan kegusaran selama ini atas mainstream (konvensional) pemikiran dunia seni rupa bahwa sebuah karya diakui memiliki kualitas internasional bila karya itu "lolos" bienal Eropa dan Amerika.
Memang tradisi bienal atau trienal adalah milik Eropa. Namun, di balik pemikiran yang demikian, orang bisa menduga ada endapan arogansi "ideologi" Hegel tahun 1830-an, pandangan yang mengatakan bahwa perjalanan sejarah estetika dunia setelah Mesir, Cina, India, Andalusia, berakhir di Eropa. Di Eropalah, katanya, "roh absolut" merealisasi pencapaian-pencapaian tertinggi estetika dan spiritualitas seutuhnya (kesimpulan ini dihasilkan tanpa Hegel sendiri melakukan perjalanan ke Timur).
Belakangan ini, di Thailand, Afrika Selatan, Cina, Korea, dan Bangladesh, telah diselenggarakan bienal internasional untuk menandingi bias pemikiran seperti itu. Dan kini seorang Indonesia bernama Djie Tjianan, pemilik sebuah galeri bernama CP Art Space di Washington, menggagas agar Jakarta memiliki bienal internasional sendiri. Selama ini memang telah ada bienal lokal seperti Bienalle Yogya yang kontinu itu. Tapi sebuah bienal internasional perlu agar bersama-sama bienal wilayah non-Eropa atau Amerika lain, Jakarta dapat menabalkan bahwa internasionalisme dapat muncul dari wilayah-wilayah yang memiliki problem lain dari Barat. Kira-kira itu yang dimauinya. "Ini percobaan baru dalam tradisi bienal dunia," kata Jim Supangkat, kurator sekaligus salah seorang pendiri CP Foundation.
Lihatlah karya perupa tamu, Mizuho Matsunaga, Stories Under the Same Sky. Perempuan asal Aichi, Jepang, ini tak setuju dengan tesis Samuel Huntington tentang benturan peradaban. Ia memasang sebuah kemah dari kelambu nyamuk. Kita dipersilakan masuk dan berbaring di tikar. Di atas, bergantung puluhan klenengan angin dengan gumpalan foto wajah berbagai orang di dunia. Semuanya tersenyum. Beraneka macam senyuman itu kita tatap sembari menikmati bunyi "ting... ting... ting...."
Symphony in Black: The Global Orchestra karya Setiawan Sabana, perupa dari Bandung, sebaliknya, menampilkan kemuraman. Di hadapan kita tertata 26 tiang penyangga partitur. Seolah sebuah orkestra siap dimainkan. Tapi bukan deretan not balok yang terpapar, melainkan buku-buku terbakar, terkelupas, dengan gantungan botol-botol infus berisi darah hitam melilit tiang.
Di depan, kira-kira di tempat konduktor berdiri, ada sebuah payung hitam mengembang. Di lantai, jarum runcing berdetak dan sebuah bab buku terbuka: The Outbreak of War. Kalimat-kalimat bab itu penuh dengan coretan garis bawah seolah telah dimamah, ditelan bulat-bulat. Ada kesan giris yang kuat dari karya itu. Seperti halnya ketika sebuah patung dari Budi Kustarto, alumni Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, menggambarkan seseorang duduk dengan leher bolong. Sementara kepalanya menggelinding di sampingnya, tangannya seolah masih aktif sibuk mengikat tali di betis kanannya.
Beberapa perupa kita memakai materi batu-batu alam, seolah menunjukkan batu-batu di jalananya, kelokalan yang paling wadak pun dapat menjadi sumber penciptaan yang merangsang. Begitu masuk, di sebelah kiri teras Galeri Nasional, terpampang papan kayu tinggi besar gosong, bolong-bolong, penuh jejalan batu kali besar, serabut kelapa, dan tusukan potongan bambu. Inilah Stone Heart karya Hendrawan Riyanto. Lengkung-lengkung bambu, yang bak kumparan, tak teratur, mencuat di sana-sini, melingkar-lingkar, saling-silang, justru menimbulkan kesan kekacau-balauan, dengan efek liar dan kekerasan. Sesuatu yang berbeda bila kita menyimak karya Yani M. Sastranegara. Perupa yang pernah belajar di Institut Kesenian Jakarta ini menampilkan berbagai batu besar dan kecil digantung, seolah melayang. Tampak ia sengaja memilih batu-batu yang condong berbentuk elips. Kekuatan komposisi Yani membentuk imaji surealis. Apalagi bila batu-batu itu bergerak sendiri.
Para perupa kita yang suka melukis diri sendiri juga mendapat tempat. Meskipun karya mereka tidak diletakkan pada ruang yang sama, cukup menarik melihat perbandingan mereka. Agus Suwage seperti biasa menampilkan gambar dirinya dengan ukuran sangat besar, tapi kali ini dengan mulut mengunyah katak. F.X. Harsono menampilkan dirinya telentang, dihujani jarum. Sedangkan Gde Mahendra, anak muda dari Bali, memprotes betapa wanita selalu menjadi obyek nude. Dan ia menampilkan dirinya telanjang bulat, tanpa menutupi kemaluannya. Namun ia sengaja menyuguhkan gestikulasi yang jauh dari erotis. Akan halnya Wimo Ambala Bayang, dari ISI Yogya, mempertanyakan perihal gender. Sebuah potretnya menampilkan ia tengah becermin di toilet dengan mengenakan bra. Kita melihat perubahan sosial melahirkan banyak identifikasi baru orang terhadap tubuhnya sendiri.
Majalah Time Agustus lalu menurunkan laporan utama The Asian Journey, kisah para pemikir muda Asia yang melakukan diaspora ke belahan dunia lain, lalu balik merefleksikan lagi asal-usul kampung halamannya. Sebuah cultural commuter, perjalanan ulang-alik kebudayaan. Sayang, tidak satu pun perupa yang membahas perupa Asia yang bertualang mencari pengalaman Asia lainnya.
Seperti halnya Midori Hota, perempuan kelahiran Nagoya yang tinggal di Bali sejak 1996. Ia tertarik pada sayap. Sayap adalah simbol dunia lainmungkin ilahiah. Ia membeli mainan Buddha kecil bermeditasi di atas teratai yang bisa berputar sendiri sambil mengeluarkan alunan bunyi nyanyian puja. Lalu ia menyimpan memori keluarga di antara sayap-sayap itu. Atau lihatlah karya Gu Wenda, A Thin Line: A History of Chinese Diaspora. Lelaki ini merantau ke pelbagai kota dunia dan selalu meminta segumpal rambut kenalannya. Hasilnya, ia memiliki seribu meter rambut orang Cina, dan itu dibuat seperti lingkaran-bimasakti di lantai.
Dari 126 seniman yang datang, 20 persen adalah perupa tamu dari Jepang, Italia, Jepang, Filipina, Cina, dan Belanda. Ini masih sedikit. Diakui oleh Jim Supangkat, bienal internasional pertama ini masih bersifat nasional-plus. Untuk itu perlu negosiasi terus-menerus buat memperluas jaringan. Tentu bukan mencari identitas Asia, melainkan mencari kesegaran-kesegaran visual baru. Di Jakarta ada Jakarta Film Festival, sebuah festival film internasional yang pernah mampu menghadirkan Jafar Panahi, sutradara film The Mirror. Art Summit, sebuah forum seni pertunjukan internasional di Jakarta, pernah memanggungkan Kazuo Ohno, Sankai Juku, dan Chandralekha, maestro-maestro gerak dunia. Karena itu, pada CP Open Bienalle ini, tidak salah apabila orang berharap dapat selanjutnya melihat karya-karya seni rupa baru mancanegara (setidaknya Asia) yang dianggap mengejutkan dan problematis. Sekaligus sebagai ajang mengukur, menakar, sampai di mana tingkat pencapaian perupa-perupa kita.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo