Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dari Sebuah Kantor di Dekat Gedung Putih

14 September 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kreativitas itu bisa berpangkal pada rasa sebal. Ia, Djie Tjianan, 41 tahun, sosok penting di balik perhelatan internasional itu, bukan bagian dari keluarga pencinta seni atau seniman. Ketika kuliah di University of Texas di Austin, pada 1980-an, ia bahkan mengambil jurusan administrasi bisnis. Beberapa tahun setelah lulus, pada 1992, Tjianan memilih Washington, DC, kota yang relatif dikenalnya, buat membuka bisnis properti.

Tjianan kini pengusaha tulen, tapi dua kota di negeri itu—Austin dan Washington, DC—membuka matanya akan dunia seni yang penuh passion. Kehidupan kesenian yang "garing" di Austin memang tak membuatnya jadi seorang artis. Ia tetap berada di rel seorang pengusaha, tapi keingintahuannya akan dunia seni telah merekah. Tjianan rajin membaca dan bertanya tentang segala sesuatu mengenai dunia menakjubkan yang baru saja dikenalnya itu. Dan tatkala lingkaran pergaulannya di kalangan seniman perlahan semakin luas, ia pun mulai mengoleksi lukisan. "Saya resmi mulai mengoleksi 15 tahun lalu," katanya.

Bisnis yang digeluti dan interes terhadap seni tumbuh bersama, sampai akhirnya krisis moneter menghantam Indonesia. Serangkaian kerusuhan pecah di Indonesia. Pandangan orang Amerika tentang Indonesia ikut kolaps. Banyak kerugian yang dipikul, termasuk soal harga diri. Menyebalkan memang. Tapi, tak lama kemudian, gambaran buruk tentang Indonesia ini mulai mendapat perlawanan kecil-kecilan dari sebuah kantor, tak jauh dari Gedung Putih, di Washington, DC. Di sana, dengan bantuan teman-temannya, orang Indonesia dan Amerika, Tjianan mendirikan yayasan, CP Foundation, Circle Point Foundation.

CP Foundation tidak hanya beranggotakan keluarga Tjianan. Menurut kurator dan kritikus seni Jim Supangkat, dari keluarga Tjianan, hanya ada Tjianan dan seorang saudaranya dalam yayasan itu. Sekitar lima orang duduk di board of trustee yayasan tersebut. Dua di antaranya orang Amerika dan tiga lainnya orang Indonesia. Tujuannya cukup praktis: membuka mata orang Amerika bahwa banyak hal baik di Indonesia. Dan seni adalah jalan yang ditempuhnya. Kegiatan pertama yayasan itu adalah membuka Art Space, sebuah galeri, di Washington.

Awal-awalnya, Art Space memamerkan karya perupa Indonesia seperti Chusin, Heri Dono, Agus Suwage, dan S. Teddy D. Belakangan mereka melebarkan sayap dan melirik para perupa Asia Pasifik dan perupa yang dalam versi Jim Supangkat adalah bi-cultural seperti perupa Amerika keturunan Iran atau Amerika Latin. "Supaya gaungnya lebih besar," ujar Tjianan. Bahkan, dua tahun kemudian, dalam penerbangan Seoul-Washington, Jim Supangkat, yang juga banyak terlibat dalam Art Space, membuka pembicaraan soal international biennale. Tjianan mendengar dan langsung setuju menyelenggarakannya. Menurut Jim, mereka ingin membangun bienal di Indonesia. Dengan demikian, seni rupa Indonesia sendiri terangkat dan menjadi warna baru di dunia bienal internasional.

Memang, lebih dari separuh program Art Space dan bienal ditanggung keluarga dan rekan-rekan Tjianan. Banyak biaya harus keluar, tapi Tjianan tidak cemas. Yayasan terus tegak, kegiatan demi kegiatan bisa berlangsung dengan pasokan dana khusus, hasil keuntungan PT Video Ezy International dan PT Cinekom di Washington. Yang pertama bergerak dalam bisnis penyewaan video, sedangkan yang kedua melakukan transfer dari layar lebar atau televisi ke video.

Kini Tjianan mewujudkan tekadnya untuk membuat CP self-sufficient. Ia mencoba menarik banyak sponsor. Selain itu, ia berencana bergerak menuju "corporate collector". Jadi, yang mengoleksi karya para perupa bukan individu, melainkan perusahaan. Tentu saja ini bukan pekerjaan yang mudah. "Di Amerika, kita harus bekerja dulu dan membuktikan bahwa kita bisa berbuat dan memang bisa dinikmati publik. Setelah itu, baru kita mendapat perhatian," ujar Tjianan.

Karena itulah di Jakarta ini CP Foundation melaksanakan CP Open Biennale dengan sangat serius. "Ini pertaruhan masa depan CP Foundation," ujar Tjianan. Gayung bersambut. CP Foundation pun mulai menapak Jakarta dengan mantap dan berencana menggelar bienal internasional lagi dua tahun mendatang.

Purwani Diyah Prabandari, Telni Rusmitantri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus