Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Musuh Masyarakat (En folkefiende) karya Henrik Ibsen
Produksi: Actors Unlimited Bandung
Sutradara: Fathul A. Husein
Pemain: Mohamad Sunjaya, Uep Usep Mulyana, Yusef Muldiyana.
Sebuah kompor disulut di atas panggung. Alat itu dipakai untuk menghangatkan panci yang diisyaratkan berisi minuman keras. Lantas tawa pun riuh-rendah mengguyur saat gelas demi gelas diteguk. Adegan sebelumnya, di sisi kiri panggung, tiga orang bersenjatakan pisau dan garpu menyantap daging. Semangat realis yang diusung kelompok Actors Unlimited (AUL) dari Bandung saat membawakan lakon Musuh Masyarakat hingga memperhatikan detail makan-minum ini sedikit menerbitkan rasa geli. Terasa tanggung, terutama setting panggungnya. Tengok pemakaian sofa yang asli, sementara rak buku yang dipilih malah tiruan yang jelek.
Introduksi sandiwawa lima babak karya Henrik Ibsen (1828-1906) ini terasa sangat lamban. Kesetiaan AUL terhadap naskah asli membuat awal pertunjukan terasa membosankan. Soalnya, tokoh dalam cerita ini semuanya ceriwis, menyemburkan tawa kecil di sana-sini seusai mengucap dialog. Mungkin lucu, tapi karena itu kisah justru tak banyak bergerak.
Cerita mulai terbangun saat Dokter Thomas Stockmann (Uep Usep Mulyana), sang tuan rumah, menerima sebuah surat yang ia tunggu-tunggu. Surat itu menyebutkan contoh air yang dikirimkan Thomas dari pemandian air panas di kotanya terbukti tercemar bakteri. Terdorong semangat melakukan perbaikan, Thomas membagi warta ini kepada dua wartawan yang menjadi tamunya, Hovstad (Yusef Muldiyana) dan Billing (Wawan S. Kodrat). Semuanya sepakat kabar ini diterbitkan agar warga kota waspada.
Thomas juga berharap mendapat dukungan dari sang kakak, Peter Stockmann (Mohamad Sunjaya), wali kota sekaligus pemimpin Partai Konservatif. Thomas terlalu naif. Bukan saja menentang keras karena perbaikan sistem pengairan akan memakan banyak biaya dan meruntuhkan citra kota, Peter bahkan langsung memecat sang adik dari jabatannya sebagai dokter resmi kota praja. Peter bahkan bisa mempengaruhi warga kota untuk menentang Thomas. Hovstad dan Billing, yang semula menyokong Thomas, ternyata malah figur sangat oportunistis.
Lakon Musuh Masyarakat adalah contoh telak betapa demokrasi bisa sangat menyebalkan. Asas suara terbanyak berkuasa menjadi alat penindasan akal sehat. Pertarungan yang terjadi selanjutnya adalah kehormatan personal melawan hipokrisi dan keserakahan mayoritas. Semua orang meyakini sikap moral mereka. Semuanya disajikan gamblang, tanpa liukan metafor sedikit pun, seperti ciri khas lakon realis.
Karakter Thomas tak pelak adalah alter ego Ibsen sendiri. Sepanjang hidupnya, sastrawan besar Norwegia ini memang sering berhadap-hadapan dengan mayoritas masyarakatnya sendiri. Sekalipun setelah meninggal ia disanjung sebagai penghela era baru dengan teater realisnya, semasa hidup ia lebih banyak menerima kecaman. Etika moral Ibsen adalah kejujuran harus didahulukan saat menghadapi fakta, apa pun taruhannya. Akibatnya, protagonis dalam karyanya acap menjadi sosok yang dogmatis di akhir cerita, tak terkecuali Thomas.
Tema Musuh Masyarakat, yang ditulis Ibsen pada 1882, memang masih sangat relevan untuk saat ini. Namun AUL seharusnya berani mengemas lakon ini dengan lebih dinamis. Soalnya, karakterisasi tokoh-tokoh dalam karya Ibsen yang satu ini tergolong lemah kecuali untuk sosok Peter Stockmann. Bagian pertama yang berkepanjangan juga layak dipangkas. Secara keseluruhan, tontonan teater realis AUL bukanlah sajian yang jelek, tapi memang terasa tawar. Permainan dua aktor utama Uep Usep Mulyana dan Mohamad Sunjaya yang cukup bagus tetap tak bisa banyak menolong.
Tokoh Thomas sebelum layar diturunkan berucap gagah, "Manusia terkuat di dunia adalah ia yang berdiri sendiri." Namun kelantangan khas yang biasa diteriakkan kaum eksistensialis ini seperti tertelan oleh suasana hambar yang menjadi mayoritas jalannya pertunjukan.
Yusi Avianto Pareanom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo