PAGI itu, embun masih menempel di dedaunan. Panas matahari belum
menyengat kulit. Hawa sejuk. Di kejauhan sana, punggung Bukit
Barisan masih berselimut kabut. Seseorang yang berkulit gelap -
kulit yang banyak dipanggang oleh matahari - badan tegap dan
rambut sedikit keriting, meninggalkan rumahnya. Di tangan
kanannya, tergenggam sebuah kaca pembesar. Gayanya mirip mantri
perkebunan dan bukan seperti petani. Karena dia mengenakan
celana panjang dan kemeja biasa bukan berselimutkan sarung atau
stelan hitam yang merupakan ciri seorang petani.
Tekun dan teliti, dia berjalan di seputar pohon-pohon cabe.
Tiba-tiba dia berhenti. Dengan tangan kiri, ujung sebuah pohon
cabe diamatinya. Kaca pembesar yang digenggamnya, diletakkan
segaris antara daun cabe dan pandangan mata. Setengah bergumam,
dia berkata: "Oh, mungkin inilah . . . virus".
Izin Tuhan
Pokok cabe yang sakit itu menampakkan bintik-bintik hitam pada
daunnya. Siang harinya, dengan alat penyemprot hama,
disemprotlah tanaman palawijanya yang luas itu.
Syahbuddin Sutan Lembang Alam, demikian nama si petani ini.
Usianya kini 39 tahun, ayah dari 7 orang anak. Kebun palawijanya
cukup luas. Satu hektar dia semai jadi ladang pohon cabe, terong
dan jagung. Sebanyak tiga hektar untuk sawah. Karena sejak tahun
1969 Syahbuddin aktif turut Bimas kini penghasilan sawahnya bisa
dia lipat gandakan. Dari 1,5 ton setiap hektar, kini bisa
direnggut sebanyak 3 sampai 4 ton padi.
Kisah petani sukses Syahbuddin cukup unik. Jebolan sebuah
fakultas hukum, tadinya Syahbuddin mencoba nasibnya sebagai
pedagang. Maklum, dia berasal dari Sumatera Barat penduduk yang
sebagian besar mempunyai darah saudagar. Mengembara kota-kota
sepanjang Sumatera, berbagai usaha dagang telah ditempuhnya.
"Untuk kaya, rupanya Tuhan belum mengizinkan", katanya. Sebab
usahanya berdagang, ternyata hanya cukup untuk lepas makan saja.
Dia kemudian mencoba nasib jadi wartawan. Tahun 1958, dia
bekerja untuk harian Nyata di Bukittinggi. Karena pergolakan di
daerahnya (PRRI), upayanya untuk jadi juruwarta jadi buyar.
Kemudian dia mencoba mengadu untung sebagai penjual obat di
Lubuk Alung. Rupanya kerja yang satu ini pun tidak membawa hokki
baginya. Mungkin dia kurang mahir mengecapkan barang
dagangannya, seperti kebanyakan penjual obat.
Tani Teladan
Agak aneh juga, Syahbuddin tidak kejangkitan kebiasaan
kebanyakan orang kampungnya: merantau dan meninggalkan kampung
halaman. Dia ganti usaha dengan menengok ke ladang dan sawahnya
yang lama terlantar. Setelah sekian tahun usahanya sebagai
petani, kini membuah. Badannya sehat dan makan tak kurang. Dia
malah jadi produsen sebagian makanan, paling tidak untuk
penduduk Sumatera Barat yang jumlahnya 3,1 juta orang.
Karena dia mempunyai bobot pendidikan, mungkin inilah salah satu
sebab mengapa dia berhasil. Dan keberhasilannya, bukan tidak ada
pengaruhnya bagi para petani sekelilingnya. Secara sukarela,
Syahbuddin mau pula memberikan penyuluhan bagi rekan-rekannya.
Kemudian dia membentuk sebuah perhimpunan petani dengan nama:
Titian Makmur. Anggota Titian kini sekitar 30 orang. Untuk
pembinaan kelompok, dimintakan bantuan dari PPL, Penyuluh,
Pertanian Lapangan. Isterinya, juga tidak ketinggalan. Nyonya
Syahbuddin kini giat di kelompok wanita tani Bina Puteri.
"Saya kini merasa bahagia", kata Syahbuddin. Dia merasa berjasa
dan paling tidak merasa terpakai. Namanya jadi sebutan sampai
pula ke kuping pejabat pemerintah. Dia kemudian diangkat jadi
petani teladan. Kini, di desa Lubuk Alung, ada enam kelompok
tani: Kelompok Tani Titian Makmur Kelompok Pemuda Pengairan
Kampung Ladang, Kelompok Pemberantasan Hama Rimbo Parang,
Kelompok Tanikarya Nyata Teluk Belibi, Kelompok Tani Pemuda Sei
Abang dan Kelompok Wanita Tani Bina Puteri. "Kami berniat akan
membentuk tiga kelompok lagi", ujar Syahbuddin. Bupati Padang
Pariaman selama ini telah memberi pinjam sebuah traktor mini.
"Cita-cita saya sekarang", kata Syahbuddin, "ingin memiliki
traktor mini sendiri. Mudah-mudahan nanti, seusai panen".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini