ATAS kehendak undang-undang, pemilu sekarang tidak mengenal TPS
Khusus. Juga tidak ada TPS Kantor. Artinya dilarang membuat TPS
di dalam atau di halaman Kantor. Semua pemilih pada azasnya
harus dikerahkan ke TPS yang disusun atas dasar daerah
pendaftaran pemilih. Yaitu di Kelurahan dan Kecamatan tempat
mereka didaftar.
Tetapi ketentuan pelaksanaan toh harus mengatur keadaan khusus,
bagi yang di luar negeri, bagi yang sedang dirawat di rumah
sakit, bagi yang dipenjara, bagi yang dalam perjalanan dan
lain-lain.
Ini semua harus dan sudah cukup tercakup dalam pedoman
pelaksanaan pemungutan suara.
Karena itu formulir mutasi pun disiapkan guna menampung
keadaan-keadaan itu. Maksudnya bila perlu, pemilih dapat
menggunakan hak pilihnya di TPS lain dari yang ditetapkan atas
dasar alamat tempat tinggal.
Ada tiga stipulasi aturan yang menarik. Pertama, hari pemungutan
suara 2 Mei 1977 bukan hari libur. Kedua, TPS di kantor atau di
halaman kantor dilarang. Ketiga, memilih TPS lain, selain yang
ditetapkan berdasarkan daftar pemilih, dimungkinkan. Ternyata
ketiga aturan ini menggelitik ketrampilan pelaksanaan pemungutan
suara. Bagaimana dapat memenuhi kedua pra-kondisi pertama dengan
memanfaatkan fasilitas yang tersedia pada aturan ketiga di atas.
Dengan ketrampilan bersilat di celah peraturan, lahirlah di
Jakarta TPS, yang memungkinkan pegawai-pegawai yang sedang
menunaikan tugas pada hari kerja 2 Mei 1977, menggunakan hak
pilihnya tanpa bolos. Di kawasan kelurahan di mana kantor
berada, disediakan tempat pemungutan suara bagi mereka tidak
terletak di dalam kantor, tidak di halaman kantor. Tetapi di
jalanan, di jalur lambat.
Mereka pergi ke TPS dengan formulir mutasi, yang juga dipakai
bagi mereka yang tidak bisa menunaikan penggunaan hak pilihnya
di TPS yang telah ditetapkan, karena sedang bepergian, dirawat
di ruman sakit dan lain-lain.
***
Sebagai awam, saya sering bertanya dalant hati, tentang ukuran
baku kecerdikan standard of professional conduct) yang
dipedomani ahli hukum.
Mungkin saya salah bila terkesan seolah-olah kehebatan
profesionil di bidang hukum, diukur dengan kebiasaannya
memanfaatkan celah-celah peraturan, untuk menghindar dari
hakekat suatu ketentuan perundang-undangan. Lalu, kesalahan
terpulang pada ketidak-sempurnaan perumusan peraturan
perundang-undangan. Dan kepahlawanan diproklamirkan bagi sang
pencari jalan untuk berdusta tanpa berdosa di depan hukum.
Bila kesan di atas salah, mungkin ketidak-tahuan saya itu,
jawabannya terletak pada etik profesi. Memang sejak kecil kita
dicekoki dengan ajaran kelihaian. Kita kenal dongeng kecerdikan
Abunawas, tipu sang kancil, kelicikan keong dan seribu satu
dongeng wilet lainnya. Tetapi seingat saya, moral dongeng itu
selalu satu: memenangkan keadilan, mengalahkan
kesewenang-wenangan. Kalau perlu dengan memanfaatkan celah
aturan main yang bisa menindas.
Selalu terdapat pesan budi pekerti yang diajarkan nenek moyang
dalam membentuk bangsa Indonesia yang berbudi luhur. Dan bukan
kepintaran membodohi untuk mengambil keuntungan dari kelemahan
aturan atau kelemahan orang lain. Apalagi menciptakan iklim
perasaan kerdil diri. Kancil lawan macan, tunas emas lawan
raksasa adalah contoh ajaran nenek moyang memerangi kekerdilan,
yang mudah kita resapkan.
Kita semua tentu tidak menghendaki terperosok dalam proses
pembodohan yang mengkerdilkan bangsa yang besar ini. Karena
proses itu dalam jangka panjang dapat merapuhkan ketahanan.
***
Pemilu 1977 bisa diumpamakan tombak bermata dua. Untuk
memenangkan orde baru dan untuk mengembangkan pendidikan politik
dan demokrasi.
Menjamin kelangsungan pemerintahan orde baru sudah diasah dengan
cara yang sangat cermat. Sehingga kini sudah tercipta struktur
kekuasaan kokoh, yang saya percaya tidak tergoyahkan oleh hasil
hitungan suara dari pemilu nanti. Karena itu peranan pemilu
sebagai sarana pendidikan politik dan merintis kehidupan
demokrasi yang sehat menjadi lebih relevan lagi.
Proses pendidikan politik dan usaha menyuburkan demokrasi lewat
Pemilu ini akan lancar bila kita dapat menghapus keraguan atas
ditegakkannya azas bebas dan rahasia.
Bila tidak, keadaan akan menjadi sangat muskil. Sejak penyusunan
dan penyempurnaan undang-undang, ketentuan pelaksanaan,
pencalonan, kampanye, pemungutan suara, penghitungan suara,
prosesnya selalu terkait soal penegakkan integritas, keadilan
dan kejujuran.
Arjuna memang diajar Bhagawatgita oleh Kresna, waktu ia harus
mencari logika pembenaran dari langkah perjuangannya di
Baratayudha. Tetapi di balik ajaran yang memperinci pembenaran
langkah "tidak berperikemanusiaan" yang harus dilakukan satria
agung itu, selalu terselip satu moral: menegakkan keadilan,
membela kebenaran, memerangi kebatillan. Dalam lakon yang
dikarang orang seperti Mahabarata. Memang mudah membedakan mana
yang hitam dan mana yang putih biarpun dirangkai dalam jalinan
yang nglungit. Tetap dalam lakon sesungguhnya yang kita alami
sehari-hari, hitam putih itu menjadi sangat sulit dibedakan.
Sebagai bangsa yang ditempa berbudi pekerti, orang Indonesia
cukup peka kesadaran etik. Mereka memang tidak mengacungkan
tangan mengepal dan memekikkan apa yang dirasakan. Bahasa mereka
memang banyak yang tak tercapkan tetapi bila kita jujur, niscaya
akan tahu apa yang sesunngguhnya kini merisaukan dan apa yang
disyukuri dan membesarkan hati mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini