ADA berbagai hal yang menyebabkan DPR tidak menyuarakan aspirasi
rakyat. Pertama, komposisi Dewan tidak bersifat mewakili.
Terlalu banyak anggota yang diangkat. Yang dikehendaki tidak
Dewan Pengangkatan, bukan? Cobalah simak Peraturan Pemerintah
No. 2 tahun 1976 pasal 7 ayat (1) dan (2).
Orang main gundu saja ada aturannya, apalagi di lembaga
legislatif kita ini. Cara bertanya, berpendapat, mengambil
keputusan dan lain-lain, dibikin tata-tertibnya. Tata-tertib DPR
tidak dibikin oleh siapa-siapa, tidak dibikin di Asem Reges atau
pesan di tempat yang lain, tapi dibikin sendiri. Nah, kalau
membikin aturan untuk diri sendiri kenapa pakai yang
sulit-sulit? Seharusnyalah dibikin aturan yang memberi ruang
gerak tidak sumpek, dan demokratis. Sehingga aspirasi rakyat
bisa tersampaikan dengan assoi. Tidak tersendat-sendat,
dikarenakan aturannya sendiri.
Hal ketiga, yang menyebabkan DPR jadi pendiam seperti gadis
pingitan, adalah mutu wakil rakyat yang duduk. Tipe Yudistira
dalam wayang, jujur tapi pasif, tidak klop untuk jadi wakil.
Dibutuhkan wakil yang berwatak. Kehendak rakyat harus disuarakan
dengan benar, berani, tanpa ada rasa takut merugikan seseorang
atau segolongan kecil yang memang bersalah.
Kehendak rakyat tidak untuk direnung-renung lantas dimasukkan ke
dalam hati. Kalau demikian halnya, pucuk yang dicinta rakyat
tidak akan pernah tiba ulamnya. Di Senayan tidak untuk bertapa,
bukan? Ibarat bunga plastik, tidak akan menyemarakkan bau harum
yang semerbak. Apalagi menghasilkan buah.
Ibu pertiwi akan berlinang air mata bersedih hati, apabila
jabang bayi yang dirindukan produk Pemilu 1977 nantinya ternyata
makhluk impoten. Tidak hadir sebagai subjek demokrasi, tapi
komputer.
SOEN'AN HADI POERNOMO
Akademi Usaha Perikanan,
Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini