SUDAH 10 tahunan kaum tehnokrat kita memegang peranan penting
dalam pemerintahan. Hasil dan pengaruhnya tak bisa diingkari.
Mereka boleh dikata telah berhasil menanamkan tradisi baru dalam
cara berfikir penggunaan metode ilmiah dalam perumusan
kebijaksanaan pembangunan serta menciptakan apa yang disebut
oleh Richard Holey "sistim ethik baru berdasarkan keahlian dan
rasionalitas yang impersonal dalam pengelolaan
persoalan-persoalan. umum".
Sebagai pendidik mereka telah berhasil pula menyebarkan ethos
pembangunan ekonomi. Cara berfikir dan bekerja mereka banyak
diikuti oleh kalangan administrator dan birokrat, militer,
akademisi di universitas, bahkan juga di kalangan politisi
profesionil dan pengusaha. Banyak dari kalangan itu yang
kemudian tumbuh menjadi tehnokrat atau menggunakan jasa
tehnokrasi dan menjadi, misalnya pemimpin pemerintahan atau
administrator pembangunan yang herhasil. Karena pengaruh
tehnokrasi, maka muncullah tokoh-tokoh sukses semacam Ali
Sadikin, Wahab Syahrani, Sutiyoso, dan Sutran dari lingkungan
militer, atau tokoh Mohammad Noer dan Sutami dari kalangan sipil
(sayang orang-orang sipil kurang diberi kesempatan untuk
memimpin pemerintahan).
Kasus Bulog & Pertamina
Kepentingan utama kaum tehnokrat adalah: bergulirnya proses
pembangunan ekonomi. Hipotesa kerja mereka adalah, seperti
dirumuskan oleh Guy J. Pauker, bahwa"kenaikan GNP akan lambat
laun bisa melenyapkan kemiskinan dan membawa transformasi dalam
sistim sosial". Karena itu mereka hanya ingin memegang aparat
dan lembaga pemerintahan bidang ekonomi saja, tapi dalam satu
paket seperti Bappenas, Bank Sentral, BKPM dan pos-pos kabinet
bidang ekonomi dan keuangan.
Tidak semua pos ekonomi-keuangan telah mereka pegang, karena
sebagian ternyata tidak dilepaskan oleh yang empunya kekuasaan
efektif, umpamanya saja Departemen Perindustrian, Bulog dan
Pertamina. Karena itu sebenarnya pengaruh dan peranan yang dapat
mereka jalankan masih terbatas. Ini tentu saja menimbulkan
persoalan yang merepotkan tehnokrat - misalnya saja dalam kasus
Pertamina dan Bulog.
Kaum tehnokrat ini berbeda dengan administrator yang disebut
oleh sarjana ilmu politik Herbert Feitlu Yang terakhir ini
adalah para ahli yang bekerja di atas basis kekuatan politik
dari partai. Kaum tehnokrat yang datang dari universitas tidak
memiliki sumber kekuaan politik yang otonom. Mereka juga jauh
dari partai politik dan politisi profesionil. Pertentangannya
dengan partai dan politisi itulah, menurut Pauker, telah membawa
perkawinan yang saling membutuhkan, antara para perencana dan
pemegang kekuasaan, yaitu kaum militer yang berkepentingan
terhadap pertumbuhan ekonomi, sebagai salah satu pendekatan
untuk menciptakan ketahanan nasional melawan subversi dan agresi
luar negeri. Sudah tentu kaum tehnokrat membutuhkan dukungan
politik untuk bisa menjalankan peranannya. Tapi mereka tak
memerlukan kekuasaan politik. Ini diserahkan sepenuhnya kepada
kaum militer, tempat kaum tehnokrat menggantungkan diri dan
menutup mata.
Kondisi kerja sama yang diterima oleh tehnokrat itulah, menurut
Pauker, yang memberi kesempatan psda tumbuhnya berbagai bentuk
tekanan politik, pengingkaran kemerdekaan sipil dan korupsi.
Yang terutama berakibat merugikan dan menghambat peranan
tehnokrat sudah tentu adalah soal korupsi, termasuk di dalamnya
masalah penyelewengan, penyalah-gunaan kekuasaan untuk
kepentingan ekonomi pribadi atau keluarga, serta kebocoran dalam
penggunaan anggaran pemerintah.
Di bidang implementasi ini, kaum teknokrat sebenarnya begitu
membutuhkan bantuan peranan dari para pimpinan pemerintahan,
administrator dan birokrat, ilmiawan yang melakukan penelitian
lapangan dan juga mereka yang berfungsi dalam lembaga kontrol
sosial seperti parlemen dan pers. Sayang, fungsi-fungsi yang
melengkapi peranan tehnokrat itu tak dapat bekerja sebagaimana
diharapkan. Akibatnya, keberhasilan pembangunan tidak dapat
sepenuhnya dicapai, setidak-tidaknya seperti yang telah
dirumuskan.
Terisolasi Dan Informasi
Tapi sebenarnya, persoalan yang dihadapi oleh tehnokrat ada dua
macam. Pertama menyangkut soal implementasi kebijaksanaan dan
rencana yang telah dirumuskan seperti telah dilukiskan di atas.
Dan kedua, konsepsi pembangunan yang berorientasi kepada
kenaikan GNP itu sendiri dewasa ini mendapatkan kritik dan
tantangan hebat.
Dalam peranannya sebagai perumus kebijaksanaan dan perencana
pembangunan, sebenarnya kaum tehnokrat harus bisa membina aparat
kontrol dan pengendalian untuk menciptakan mekanisme umpan balik
yang efektif. Tapi dalam kenyataannya -- sebagian mungkin
disebabkan oleh faktor politik -- ruang lingkup kegiatannya
tidak sepenuhnya sampai ke sana. Akibatnya, kaum tehnokrat
menjadi terisolasi dari informasi. Sementara itu 1001 macam
problim baru telah tumbuh dalam proses pembangunan yang telah
berjalan 10 tahunan ini. Problim itu di luar kontrol mereka.
Asas pembangunan ekonomi semacam "de-birokratisasi" atau
"de-etatisme" yang dicoba untuk dijalankan, ternyata berkembang
ke arah yang sebaliknya.
Karena mungkin terlalu sibuk dan barangkali juga lengah dengan
pengembangan managemen masalah-masalah umum, mereka jadi tidak
sempat untuk melahirkan gagasan kreatif. Padahal pembaharuan
konsepsi selalu dituntut. Malahall para tehnokrat nampak sibuk
berfungsi sebagai "barisan pemadam kebakaran", sejak dari soal
perbankan, hutang luar negeri hingga ke soal korupsi.
Sementara itu masyarakat sudah mulai mempersoalkan
kebijaksanaan-kebijaksanaan dasar yang melahirkan high cost
economy yang menyulitkan tumbuhnya industri nasional dari bawah
dan perkembangan ekspor barang-barang industri, masalah
kemiskinan absolut di pedesaan, kepincangan pertumbuhan regional
dst.
Yang jadi masalah adalah: apakah kaum tehnokrat akan ikut terjun
sendiri membina managemen masalah-masalah umum di sektor
implementasi dan pengendalian perencanaan? Ataukah mereka
meminta syarat dan kondisi kerja kepada pemegang kekuasaan
efektif untuk bisa mendukung peranan yang mereka jalankan?
Ataukah mereka juga merasa membutuhkan adanya mekanisme kontrol
sosial untuk mengurangi beban pekerjaan mereka?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini