Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Freeport Indonesia keberatan atas kebijakan pemerintah mengubah izin kontrak karya yang didapatnya menjadi izin usaha pertambangan khusus serta kewajiban divestasi saham. Freeport-McMoRan, induk Freeport Indonesia, pun mengancam menggugat pemerintah ke arbitrase internasional.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan menyatakan pemerintah siap menghadapinya. ¡±Kami bukan hanya siap, tapi pemerintah bisa membawa kasus ini ke arbitrase,¡± katanya, Kamis, 23 Februari lalu. Ihwal kontrak karya Free¡©port, artikel majalah Tempo edisi 17 September 1991 dengan judul "Tak Cukup Lagi 100.000 Hektare" mengulas perpanjangan kontrak Freeport selama 30 tahun.
Dalam kontrak baru itu, konsesi pertambangan Freeport di Papua diperluas hingga 2,6 juta hektare, dari sebelumnya 100 ribu hektare.Tak jelas apa pertimbangan pemerintah memberikan area yang berlipat-lipat kali lebih luas bagi pemegang konsesi tunggal yang sama. Atau, adakah terlalu sulit mencari investor asing lain yang juga potensial seperti Freeport? Ketika Freeport meminta konsesi "hanya" 2,5 juta ha, Indonesia bahkan menyodorkan 2,6 juta ha….
Sebelum ini, selama hampir 25 tahun, Freeport telah beroperasi di bawah naungan berbagai kemudahan. Sebut saja keringanan membayar pajak pertambahan nilai serta pajak bumi dan bangunan. Kini kontrak yang baru mewajibkan Freeport membayar kedua jenis pajak tersebut.
Selama hampir 25 tahun ini, tanpa membayar PPN dan PBB, Freeport dengan sendirinya mampu menyetor dana yang tak kecil. Tahun lalu PPh yang disetorkan ke pemerintah mencapai US$ 41,6 juta, sesuai dengan kontrak karya April 1967, yang mewajibkan Freeport membayar pajak perseroan 42 persen dari keuntungan bersih. Jumlah itu masih lebih besar dari royalti yang disetor ke pemerintah, yang sebesar US$ 10,2 juta. Bahwa sejak 1967 Freeport telah menikmati keuntungan yang besar, jelas tak bisa dibantah. Dari pasir dan bijih yang diangkutnya ke Amerika-untuk diproses di sana-Freeport setidaknya telah menikmati sekitar US$ 46,6 juta. Jumlah inilah agaknya yang mestiditerima pemerintah RI sebagai PPN.
Angka itu diperoleh dari perhitungan jumlah ekspor konsentrat 420.600 ton. Konsentrat itu terdiri atas 40 persen tembaga-jadi kira-kira menghasilkan 168.240 ton tembaga. Sementara itu, harga tembaga tahun lalu (1990) di bursa New York sebesar US$ 2,77 per kilogram. Maka total harga penjualannya sekitar US$ 466 juta. Dengan asumsi tersebut, PPN yang harus dibayar kurang-lebih US$ 46,6 juta.
Dari hasil ikutan emas, Freeport mendapat 10-15 gram per ton konsentrat. Jadi tahun lalu emas yang diperoleh berkisar 4.206-6.300 gram. Kalau dihitung dengan harga emas di bursa logam London (London Metal Exchange) yang per kilogramnya US$ 12.700, total penjualan emas kira-kira US$ 53.500. Berarti PPN yang semestinya disetor ke pemerintah US$ 5.300.
Toh, kedua belah pihak berhasil mengatasi masalah yang sulit itu. Freeport setuju mengakhiri kontrak lama, yang semestinya masih 12 tahun lagi. "Itu kan suatu keuntungan bagi pemerintah," kata juru bicara Freeport, A. Moedjiatno, September 1991.
Selain mendapat kontrak baru untuk 30 tahun, Freeport meminta tempo 20 tahun-aturan Badan Koordinasi Penanaman Modal 15 tahun-untuk melepas sahamnya. Freeport setuju dengan perhitungan masa kontrak yang diusulkan pemerintah, yaitu dihitung langsung pada saat persetujuan ditandatangani. Artinya, tak ada tenggang waktu untuk masa eksplorasi.
Soal pelepasan saham itu adalah salah satu keharusan. Sebagai perusahaan modal asing yang mempunyai badan hukum Indonesia, dia dikenai ketentuan untuk melepaskan sahamnya kepada swasta nasional. Saat ini satu-satunya investor lokal hanya pemerintah Indonesia yang menguasai 10 persen sahamnya. "Kini Freeport harustunduk sepenuhnya pada aturan hukum Indonesia," kata Direktur Jenderal Pertambangan Umum Kosim Gandataruna, September 1991.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo