SAYA ingin menanggapi artikel TEMPO Edisi 30 April-6 Mei 2001 berjudul Bredel di Atas Perapian.
Saya teringat cerita Carl Sagan di buku Cosmos. Ia bercerita tentang pembakaran dan penghancuran perpustakaan Alexandria, atas perintah Uskup Agung Cyrillus, dan pembunuhan Hypatia, sang filosof wanita yang jenius, juga atas perintah Cyrillus, pada tahun 432 M di Kota Alexandria, Mesir. Carl Sagan berpendapat bahwa bila perpustakaan Alexandria tidak dibakar, seorang Albert Einstein bisa saja sudah merumuskan teori relativitasnya di abad pertengahan.
Mengingat kasus di atas, bila dibandingkan dengan berita yang diturunkan oleh TEMPO, saya bisa berkesimpulan bahwa memang masih ada sekelompok masyarakat yang belum mengerti benar apa yang harus dilakukan bila berhadapan dengan suatu wacana yang tertulis pada buku. Sebagai seorang muslim, saya sungguh khawatir, bila gerakan pembakaran buku tersebut meluas, akan terjadi pembodohan secara total terhadap kesadaran intelektual bangsa Indonesia. Bukan tak mungkin kasus seperti pembakaran perpustakaan Alexandria akan terulang di Indonesia.
Sekali lagi, ini membuktikan bahwa Indonesia sama sekali belum siap menjadi negara pusat pemikiran tingkat dunia seperti Mesir dan Iran. Di kedua negara itu, buku Das Kapital karangan Karl Marx telah diterjemahkan ke bahasa Arab, tapi saya tidak pernah mendengar ada penyensoran terhadap buku mengenai Marxisme di sana. Justru di kedua negara itu Marxisme dibahas secara terbuka, terutama oleh golongan terpelajar, seperti mahasiswa dan ulamanya. Sebagai contoh, seorang Murthada Murthahari yang berasal dari Iran, yang juga terkenal sebagai ulama, sangat menguasai dengan baik pemikiran Marxisme. Justru ia banyak menulis buku yang membantah dan mengkritik Marxisme. Demikian juga Ali Syariati. Sewaktu bersekolah di Sorbonne, Prancis, Ali Syariati banyak sekali membaca buku Marxisme, toh dia tidak kehilangan keislamannya. Justru Ali Syariati berpendapat bahwa Karl Marx tak lebih dari seorang politisi licik.
Semua kerancuan ini sebetulnya timbul semenjak Imam Ghazali mengafirkan para filosof di bukunya Tahafut al Falasifa. Namun, banyak orang yang tidak mengerti bahwa Imam Ghazali hanya mengafirkan para filosof mengenai tiga masalah metafisika. Mengenai masalah etika, logika, estetika, dan lain-lain, justru Imam Ghazali tidak memberikan kritik. Namun, para ulama (terutama dari mazhab ahlul sunnah), tanpa mendalami dengan benar karya Imam Ghazali mengenai filsafat, tanpa reserve, langsung mengharamkan filsafat. Ini sangat fatal akibatnya bagi dinamika umat Islam.
Gema dari pengharaman kajian filsafat itu masih terasa sekali di Indonesia. Pembakaran buku Franz Magnis-Suseno menjadi salah satu buktinya. Saya mengenal dengan baik pemikiran Romo Magnis dan banyak sekali membaca karya beliau. Dan saya berkesimpulan bahwa memang betul Franz Magnis-Suseno adalah seorang Marxolog, tapi ia bukan seorang Marxis. Justru Romo Magnis pernah berbicara di Kompas bahwa pemikiran Karl Marx sudah usang. Franz Magnis hanya mencoba memperkenalkan seorang Karl Marx itu siapa, tanpa meyakini kebenarannya. Toh, di buku Pemikiran Karl Marx tersebut Franz Magnis sudah memberikan catatan yang kritis mengenai Marxisme.
Pembakaran buku tersebut membuktikan bahwa ada yang salah dengan sistem pendidikan kita. Bangsa Indonesia telah ditekan intelektualitasnya dengan belasan tahun mengenyam pendidikan tanpa menjadi orang yang open mind dan learning being. Banyak sekali orang yang saya temui memiliki banyak prasangka buruk mengenai kajian filsafat. Namun, mereka lupa bahwa kajian filsafat telah menjadi bagian integral dari Islam semenjak kemunculan Al-Kindi sampai Muhammad Iqbal. Bangsa Indonesia telah menjadi bangsa yang pragmatis karena kesalahan sistem pendidikan kita.
Bagi saya sendiri, membaca Marxisme, eksistensialisme, postmodernisme, dan filsafat Yunani klasik justru membuat iman saya semakin kuat. Kebenaran yang telah saya pegang melalui iman saya justru semakin kuat dan tak terbantahkan bila bisa dikomparasikan dengan pemikiran-pemikiran tersebut. Seorang Nietzsche yang menghujat Tuhan justru membuat saya semakin mencintai Tuhan. Seorang Camus yang pesimistis justru membuat saya semakin optimistis. Seorang Marx yang kritis terhadap agama justru membuat saya ingin lebih mendalami Islam. Seorang Sartre yang menganggap bahwa Tuhan tak lebih seperti ?polisi pengganggu? justru membuat saya menganggap bahwa Tuhan adalah sahabatku yang terbaik.
JAMAL
Gandaria, Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini