SAYA ingin menanggapi opini hukum dari Hendardi mengenai penerapan asas praduga tak bersalah yang dimuat Majalah TEMPO Edisi 23-29 September 2002, halaman 6, dalam rubrik Surat.
Saya sangat takjub sekaligus terkejut ketika membaca opini hukum yang dipaparkan oleh Hendardi tentang asas penerapan praduga tak bersalah. Sebab, argumentasi tersebut bukan dari kacamata hukum, melainkan dari kacamata politik yang dimanipulasi sedemikian rupa yang seolah-olah menjadi argumentasi hukum.
Sebelum saya menanggapinya, perkenankan saya menginformasikan lebih dulu bahwa penerapan asas praduga tak bersalah sudah diajarkan oleh dosen sejak awal bangku perkuliahan di fakultas hukum, bahwa asas tersebut telah dirumuskan dalam Pasal 8 UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Menurut saya, tulisan Hendardi terlalu sempit dan dangkal karena pemberlakuan asas praduga tak bersalah adalah untuk menjunjung tinggi dan menghormati hak asasi seseorang dan kepastian hukum. Penafsiran a contrario yang dilakukan Hendardi mengandung cacat formal akademis, materiil, ataupun penggunaan istilah hukum.
Cacat formal akademis karena penggunaan penafsiran a contrario tidak dikenal dalam hukum pidana. Cacat materiil karena seharusnya sebelum dilakukan a contrario terhadap asas praduga tak bersalah, harus diuraikan isi dari Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14/1970: setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Cacat dalam penggunaan istilah hukum pada ”berkekuatan hukum pasti (bersalah)” karena kata ”pasti” hanya disejajarkan dengan kata ”tetap” atau ”in kracht van gewijsde”. Putusan dikatakan berkekuatan hukum pasti (tetap) apabila (i) putusan pengadilan negeri tidak dibanding, (ii) putusan pengadilan tinggi tidak dikasasi dari Mahkamah Agung.
Sehubungan dengan banding yang dilakukan Akbar Tandjung ke pengadilan tinggi, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut belum memiliki kekuatan hukum pasti (tetap). Karena itu, Akbar Tandjung secara hukum wajib dianggap tidak bersalah.
Shalil Manggara S., S.H.
Jakarta Timur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini