Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Tanpa babi, dengan bismillah

Upacara membuka musim tanam atau buka tahun dimulai dilakukan di ladang. pada waktu menyembelih ayam, membaca bismillah". mereka tidak makan babi, tapi bukan berarti tidak suka. (ils)

3 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI-hari pergantian tahun 1978-1979 wartawan TEMPO George Y. Adicondro berada di daerab suku Dayak Pitap di pedalaman Kalimantan Selatan. Kebetulan bagi sebagian penduduk lembah-lembah Pegunungan Meratus musim tanam baru saja mulai. Lelaki dan perempuan pada sibuk menugal di punggung-punggung bukit yang baru digundul, diiringi upacara ibadah "buka tahun ". Berikut ini laporannya: PADI ini kan seperti kita juga. Lahir, kawin, lalu mati. Makanya harus tiga kali diupacarai. Pada waktu ditanam, itu kan ibarat baru lahir. Kemudian waktu panen, itu ibarat kawin, atau dewasa. Lalu waktu benih padi mau disimpan di balai. Itu ibarat dikubur, untuk nantinya lahir lagi waktu ditanam," begitu penjelasan Dana, seorang petani muda yang baru beranak satu. Upacara membuka musim tanam atau "buka tahun", maupun upacara pada saat menuai hasil panen, diselenggarakan langsung di huma (ladang). Sementara upacara ketiga, aruh namanya, atau "potong tahun", biasanya diadakan di balai, rumah ibadah agama Balian yang sekaligus merupakan pusat pertemuan bagi seluruh kampung. Nah, yang diselenggarakan secara beramai-ramai di ladang di kaki Gunung Batu Barani, 1 Januari lalu, adalah upacara membuka musim tanam. Di sana doa dan kerja berjalan bergandengan, saling terpadu. Para lelaki sibuk melubangi tanah dengan tugal, sebuah tongkat berujung lancip dari kayu. Sementara kaum wanita dan anak-anak, menguntiti para penugal sambil menaburkan 7-9 biji benih padi ke dalam lubang-lubang hasil tugalan. Para penabur itu membawa persediaan benihnya dalam sebuah keranjang kecil, bakul, yang sudah disucikan seisinya di dalam balai di waktu upacara aruh. Aturan main itu sendiri -- lelaki menugal, perempuan menabur benih ada makna rituilnya, yang boleh dikata hampir sama di antara semua suku Da yak di Kalimantan. Tugal merupakan lambang kelamin lelaki, sementara bakul merupakan lambang kelamin wanita. Kerjasama antara keduanya menghasilkan kesuburan. Itu sebabnya, cara menanam benih begitu tak boleh dibalik. Bisa-bisa benih tak akan tumbuh, sebab melanggar hukum alam. Darah Ayam Gotong royong menugal itu juga merupakan acara gembira bagi para remaja. Sebab jodoh yang terjalin di ladang saat menugal itu, dianggap merupakan ikatan perkawinan yang suci. Makanya tahap pekerjaan ini, di tengah tekanan ekonomi kota dan modernisasi, tak boleh diborongkan kepada orang luar kampung. Sementara banyak tahap pekerjaan lain sebelum menugal -- seperti memotong bambu, memotong kayu, membakar bambu dan kayu serta membersihkan rumput -- kini sudah biasa diserahkan kepada orang-orang luar (Banjar atau Jawa) dengan upah harian atau borongan. Di kaki bukit yang sedang ditugal, si empunya huma sejak sehari sebelumnya telah mendirikan bangunan tempat sesajian berkerangka tebu. Didekatnya telah ditanam kembang kuning dan kembang merah, yang punya makna religius tertentu. Sementara komponen sesajian itu sendiri, sungguh rumit ragamnya. Ada belasan buluh berisi lamang (nasi ketan) merah dan putih, benih padi dari balai, ikan asin, kelapa muda, telur, benang perlambang komunikasi antara dunia fana dan dunia baka, serta tiga ekor ayam. Dua yang jantan dipotong di tengah-tengah upacara doa buka tahun baru tersebut, sementara ayam betina putih hanya merupakan syarat. Darah ayam jago berbulu berbintik-bintik kelabu, yang dipotong di tengah-tengah upacara, diteteskan dan dipoleskan ke kerangka bangunan tebu dan seluruh komponen sesajian. "Darah ayam ini pengganti darah kita. Sebab ayam ini kan sama juga seperti kita -- punya daging, punya darah, dan punya nafas. Maksudnya agar sepanjang tahun ini kita semua selamat, tak ada yang sampai harus tertumpah darahnya," tutur Dana lagi yang biasa dipanggil Pan Rina (ayahnya Rina). Sudah tersirat di situ hakekat agamanya, yang menghormati keempat unsur alam: besi, tanah (daging), air (darah), dan udara (nafas). Padahal, ketika menyembelih ayam tadi, Pan Rina tak lupa mengucapkan "Bismillah". Tentu saja, ini hasil perbauran kebudayaan orang-orang Dayak Kal-Sel ini dengan orang Banjar Hulu Sungai yang menguasai pasar-pasar hasil bumi mereka Sama juga seperti kebiasaan berpakalan sarung dan peci, walaupun tata cara kehidupan mereka yang pokok tetap berakar pada pemujaan keempat unsur alam tadi. Bukan sebagai sasaran akhir, tapi sekedar sebagai perujudan fisik dari Nining Batara, atau Yang Maha Esa. Menarik juga melihat betapa kuatnya suku-suku bangsa yang hanya 13 ribu jiwa jumlahnya itu mempertahankan kebudayaan, agama dan adat istiadat mereka di tengah-tengah sejuta lebih penduduk Kal-Sel yang mayoritas Melayu dan Muslim. Rupanya, lembah dan celah Pegunungan Meratus telah menjadi benteng pertahanan kebudayaan orang orang Dayak Kal-Sel selama ratusan tahun. Pengaruh kebudayaan Banjar-lslam ada juga terlihat di Anak Kampung Ajung yang tingginya sekitar 750 meter dari muka laut. Permukiman Dayak Pitap yang tinggi itu, sama sekali bersih dari babi. Walaupun di permukiman Dayak Pitap yang lebih rendah, babi masih bebas berkeliaran. Menurut cerita, binatang ini sudah digusur dari Ajung -- juga kampung tetangganya, Nanai -- sejak zaman Belanda. "Karena babi hanya bikin kotor saja. Apalagi di musim hujan. Pekarangan jadi becek dan jadi sarang nyamuk," tutur Pan Cuma, Ketua RT Ajung yang juga Kepala Balai (rumah ibadah Balian). Tapi jangan sangka mereka tak doyan makan daging babi. Sebab pada saat-saat aruh yang bisa menelan waktu satu-dua minggu, ada juga disembelih babi di samping ayam dan kambing. Hanya saja, babi itu dibeli dari kampung lain. Di samping itu, lelaki Dayak Pitap adalah pemburu yang lincah, yang paling doyan makan daging kijang dan babi hutan korban tombak dan parangnya. Boleh jadi, hilangnya babi kampung darl Ajung dan Nanai ada hubungannya dengan munculnya pedagang-pedagang Banjar Hulu Sungai ke atas sana pada masa panen. Pada saat itu, peladang-peladang Dayak tak sempat menghilir lewat Sungai Pitap dengan lanting (rakit bambu) mereka. Sementara pedagang yang mau berpayah-payah naik gunung, bisa membeli padi atau beras huma dengan harga murah sekali. Malah ada juga satu keluarga Banjar yang telah menetap di Ajung, ikut berladang sambil dagang sedikit-sedikit di tengah orang-orang Dayak. Selain itu, pada minggu-minggu arub, seperti yang diadakan Oktober 1978 yang lalu di Ajung, tak sedikit orang Banjar yang mendaki gunung untuk ikut menyabung ayam dan main judi kartu. Yang berwajib tak dapat melarang, sebab acara hiburan itu --seperti juga tarian bagintur yang diambil oper dari orang Dayak Maanyan di Barito Timur, Kalimantan Tengah -- merupakan bagian dari upacara agama Dayak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus