HARI-hari pergantian tahun 1978-1979 wartawan TEMPO George Y.
Adicondro berada di daerab suku Dayak Pitap di pedalaman
Kalimantan Selatan. Kebetulan bagi sebagian penduduk
lembah-lembah Pegunungan Meratus musim tanam baru saja mulai.
Lelaki dan perempuan pada sibuk menugal di punggung-punggung
bukit yang baru digundul, diiringi upacara ibadah "buka tahun ".
Berikut ini laporannya:
PADI ini kan seperti kita juga. Lahir, kawin, lalu mati. Makanya
harus tiga kali diupacarai. Pada waktu ditanam, itu kan ibarat
baru lahir. Kemudian waktu panen, itu ibarat kawin, atau dewasa.
Lalu waktu benih padi mau disimpan di balai. Itu ibarat dikubur,
untuk nantinya lahir lagi waktu ditanam," begitu penjelasan
Dana, seorang petani muda yang baru beranak satu.
Upacara membuka musim tanam atau "buka tahun", maupun upacara
pada saat menuai hasil panen, diselenggarakan langsung di huma
(ladang). Sementara upacara ketiga, aruh namanya, atau "potong
tahun", biasanya diadakan di balai, rumah ibadah agama Balian
yang sekaligus merupakan pusat pertemuan bagi seluruh kampung.
Nah, yang diselenggarakan secara beramai-ramai di ladang di kaki
Gunung Batu Barani, 1 Januari lalu, adalah upacara membuka musim
tanam.
Di sana doa dan kerja berjalan bergandengan, saling terpadu.
Para lelaki sibuk melubangi tanah dengan tugal, sebuah tongkat
berujung lancip dari kayu. Sementara kaum wanita dan anak-anak,
menguntiti para penugal sambil menaburkan 7-9 biji benih padi ke
dalam lubang-lubang hasil tugalan. Para penabur itu membawa
persediaan benihnya dalam sebuah keranjang kecil, bakul, yang
sudah disucikan seisinya di dalam balai di waktu upacara aruh.
Aturan main itu sendiri -- lelaki menugal, perempuan menabur
benih ada makna rituilnya, yang boleh dikata hampir sama di
antara semua suku Da yak di Kalimantan. Tugal merupakan lambang
kelamin lelaki, sementara bakul merupakan lambang kelamin
wanita. Kerjasama antara keduanya menghasilkan kesuburan. Itu
sebabnya, cara menanam benih begitu tak boleh dibalik. Bisa-bisa
benih tak akan tumbuh, sebab melanggar hukum alam.
Darah Ayam
Gotong royong menugal itu juga merupakan acara gembira bagi para
remaja. Sebab jodoh yang terjalin di ladang saat menugal itu,
dianggap merupakan ikatan perkawinan yang suci. Makanya tahap
pekerjaan ini, di tengah tekanan ekonomi kota dan modernisasi,
tak boleh diborongkan kepada orang luar kampung. Sementara
banyak tahap pekerjaan lain sebelum menugal -- seperti memotong
bambu, memotong kayu, membakar bambu dan kayu serta membersihkan
rumput -- kini sudah biasa diserahkan kepada orang-orang luar
(Banjar atau Jawa) dengan upah harian atau borongan.
Di kaki bukit yang sedang ditugal, si empunya huma sejak sehari
sebelumnya telah mendirikan bangunan tempat sesajian berkerangka
tebu. Didekatnya telah ditanam kembang kuning dan kembang merah,
yang punya makna religius tertentu. Sementara komponen sesajian
itu sendiri, sungguh rumit ragamnya. Ada belasan buluh berisi
lamang (nasi ketan) merah dan putih, benih padi dari balai, ikan
asin, kelapa muda, telur, benang perlambang komunikasi antara
dunia fana dan dunia baka, serta tiga ekor ayam. Dua yang jantan
dipotong di tengah-tengah upacara doa buka tahun baru tersebut,
sementara ayam betina putih hanya merupakan syarat. Darah ayam
jago berbulu berbintik-bintik kelabu, yang dipotong di
tengah-tengah upacara, diteteskan dan dipoleskan ke kerangka
bangunan tebu dan seluruh komponen sesajian.
"Darah ayam ini pengganti darah kita. Sebab ayam ini kan sama
juga seperti kita -- punya daging, punya darah, dan punya nafas.
Maksudnya agar sepanjang tahun ini kita semua selamat, tak ada
yang sampai harus tertumpah darahnya," tutur Dana lagi yang
biasa dipanggil Pan Rina (ayahnya Rina). Sudah tersirat di situ
hakekat agamanya, yang menghormati keempat unsur alam: besi,
tanah (daging), air (darah), dan udara (nafas). Padahal, ketika
menyembelih ayam tadi, Pan Rina tak lupa mengucapkan
"Bismillah".
Tentu saja, ini hasil perbauran kebudayaan orang-orang Dayak
Kal-Sel ini dengan orang Banjar Hulu Sungai yang menguasai
pasar-pasar hasil bumi mereka Sama juga seperti kebiasaan
berpakalan sarung dan peci, walaupun tata cara kehidupan mereka
yang pokok tetap berakar pada pemujaan keempat unsur alam tadi.
Bukan sebagai sasaran akhir, tapi sekedar sebagai perujudan
fisik dari Nining Batara, atau Yang Maha Esa.
Menarik juga melihat betapa kuatnya suku-suku bangsa yang hanya
13 ribu jiwa jumlahnya itu mempertahankan kebudayaan, agama dan
adat istiadat mereka di tengah-tengah sejuta lebih penduduk
Kal-Sel yang mayoritas Melayu dan Muslim. Rupanya, lembah dan
celah Pegunungan Meratus telah menjadi benteng pertahanan
kebudayaan orang orang Dayak Kal-Sel selama ratusan tahun.
Pengaruh kebudayaan Banjar-lslam ada juga terlihat di Anak
Kampung Ajung yang tingginya sekitar 750 meter dari muka laut.
Permukiman Dayak Pitap yang tinggi itu, sama sekali bersih dari
babi. Walaupun di permukiman Dayak Pitap yang lebih rendah, babi
masih bebas berkeliaran. Menurut cerita, binatang ini sudah
digusur dari Ajung -- juga kampung tetangganya, Nanai -- sejak
zaman Belanda.
"Karena babi hanya bikin kotor saja. Apalagi di musim hujan.
Pekarangan jadi becek dan jadi sarang nyamuk," tutur Pan Cuma,
Ketua RT Ajung yang juga Kepala Balai (rumah ibadah Balian).
Tapi jangan sangka mereka tak doyan makan daging babi. Sebab
pada saat-saat aruh yang bisa menelan waktu satu-dua minggu, ada
juga disembelih babi di samping ayam dan kambing. Hanya saja,
babi itu dibeli dari kampung lain. Di samping itu, lelaki Dayak
Pitap adalah pemburu yang lincah, yang paling doyan makan daging
kijang dan babi hutan korban tombak dan parangnya.
Boleh jadi, hilangnya babi kampung darl Ajung dan Nanai ada
hubungannya dengan munculnya pedagang-pedagang Banjar Hulu
Sungai ke atas sana pada masa panen. Pada saat itu,
peladang-peladang Dayak tak sempat menghilir lewat Sungai Pitap
dengan lanting (rakit bambu) mereka. Sementara pedagang yang mau
berpayah-payah naik gunung, bisa membeli padi atau beras huma
dengan harga murah sekali. Malah ada juga satu keluarga Banjar
yang telah menetap di Ajung, ikut berladang sambil dagang
sedikit-sedikit di tengah orang-orang Dayak.
Selain itu, pada minggu-minggu arub, seperti yang diadakan
Oktober 1978 yang lalu di Ajung, tak sedikit orang Banjar yang
mendaki gunung untuk ikut menyabung ayam dan main judi kartu.
Yang berwajib tak dapat melarang, sebab acara hiburan itu
--seperti juga tarian bagintur yang diambil oper dari orang
Dayak Maanyan di Barito Timur, Kalimantan Tengah -- merupakan
bagian dari upacara agama Dayak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini