Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sekarang, warna apa adanya.

Dulu, warna yang dipakai, diperoleh dari alam-daun, akar atau kayu tertentu. sekarang bahan tradisionil mulai tak digunakan karena tidak praktis, sehingga hasilnya juga lain. (ils).

3 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANYAK orang terkejut, melihat pameran kain tenun Sumba (dan daerah sekitarnya) di Galeri Baru TIM, 17-28 Januari lalu. Karena selembar hasil tenunan tangan ada yang berharga $ 2.000. Dari 79 lembar tenunan yang dipamerkan, sebagian besar harganya berkisar antara $ 200 sampai $ 600. Memang pantas diakui kebagusan hasil tellun Sumba ini. Dengan menggunakan warna-warna yang diperoleh dari alam -- daun, akar atau kayu tertentu-warna itu bisa tahan zaman. Juga lebih cemerlang, tanpa ada kesan murah. Di samping motif-motifnya yang sudah mempunyai pola tertentu itu memang juga pantas dikagumi. Biasanya warna-warna tenunan Sumba adalah hitam, biru tua, merah dan putih kapas. Kadang-kadang ada juga diselingi kuning. Soalnya memang ada maksudnya. Konon hitam adalah lambang alam semesta. Merah simbul keberanian. Biru lambang lautan. Dan putih kesucian. Adapun warna kuning yang jarang itu, ternyata khusus ditambahkan pada tenunan yang nantinya untuk menyelimuti orang yang meninggal. Seperti halnya batik dan pakaian tradisionil daerah lainnya, warna dan motif menunjukkan tingkat kedudukan si pemakai dalam masyarakat. Ma1amba, kaum bangsawan Sumba, biasanya memakai tenunan dengan warna lengkap: merah, biru, hitam dan putih. Dan motif tenunannya biasanya: bagian tengah berisi motif berbentuk bintallg. Ini melambangkan para kelas atas itu berasal dari langit -- keturunan para dewa. Bentuk bintang itu mempunyai dasar hitam. Artinya kaum atasan itulah yang menguaai bumi ini. Lalu agak ke pinggir dasar tenunan adalah merah dengan motif binatang. Kebanyakan binatang kuda, sesuai dengan lingkungan mereka yang subur dengan kuda. Bagian agak pinggir ini menyimbulkan kelas kedua, ialah para pemimpin suku dan pembantu-pembantu kaum bangsawan. Mereka memang harus berani dan perwira untuk membela atasannya. Keberanian ini disimbulkan dengan merah, keperkasaan dilambangkan dengan kuda. Lebih ke pinggir lagi adalah simbul rakyat biasa, yang digambarkan dengan binatang laut. Biasanya merupakan bentuk udang. Yang paling tepi di kedua sisi tenunan adalah kelas keempat. Aturan letak motif itu ternyata menjadi klop kalau kain tenun itu dipakai. Yang dipakai dengan cara menyampirkan di pundak: bagian tengah akan terletak di pundak, yang lain di bawah. Kalau dipakai dengan cara menyarungkannya sekitar pinggang bagian tengah diletakkan di bagian depan, dari perut sampai lutut -- bagian tubuh yang dianggap terpenting. Sintetis Menurut cerita Verra Darwiko, kolektor yang mengadakan pameran ini, bahan tradisionil mulai tak digunakan. Kecuali tak praktis lagi sekarang banyak digunakan benang-benang sintetis. Tentu saja hasilnya lain. Warna-warna yang dulu dicari sampai pas dengan yang dikehendaki, sekarang apa adanya sala Mungkin hal ini yang menyebabkan tenunan lama itu menjadi mahal. Cara memintal benang, mencelup warna sampai menenunnya dulu memang membutuhkan waktu. Konon sebuah kain tenun dari pemintalan benang sampai selesai bisa makan waktu kurang lebih setahun. Bisa dimengerti, sebab semuanya dikerjakan dengan tangan. Dan yang lebih penting, pencelupan warna bisa sampai berkali-kali untuk mendapatkan warna yang memang sudah tertentu. Kalau kita amati tenunan Sumba yang dipamerkan ini, memang warnawarna di tiap kain persis sama merah di satu kain sama persis dengan di kain lainnya. Seni tenun ini memang hampir punah. Generasi muda Sumba ternyata tak tertarik lagi menciptakannya kembali. Memang pentingkah dipertahankan? Dan kalau orang tak lagi punya waktu untuk hanya membuat selembar tenunan yang makan waktu setahun, mungkin memang bukan salah mereka. Toh sekarang di Jakarta sudah ada museum tekstil, tempat melihat kembali karya tekstil moyang kita. Sayangnya, memang sebagaian besar karya-karva itu pergi menyeberangi lautan, pindah ke Amerika atau Eropa sana. Seperti juga pameran kali ini yang sebagian besar pembelinya ternyata orang barat. Akan halnya si kolektor sendiri, yang sudah bersusah payah keluar desa masuk desa, imbalannya cukup lumayan: koleksinya laku keras. Berapa untungnya, kita tak tahu persis. Tapi bisa dibayangkan seorang desa yang sedang berjalan. Jalan tak tahu mau kerja apa, lantas ada seorang asing yang bersedia menukar kain yang sedang dipakainya dengan beberapa lembar uang -- tentulah tak akan lama tawar-menawar itu berlangsung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus