BANYAK orang terkejut, melihat pameran kain tenun Sumba (dan
daerah sekitarnya) di Galeri Baru TIM, 17-28 Januari lalu.
Karena selembar hasil tenunan tangan ada yang berharga $ 2.000.
Dari 79 lembar tenunan yang dipamerkan, sebagian besar harganya
berkisar antara $ 200 sampai $ 600.
Memang pantas diakui kebagusan hasil tellun Sumba ini. Dengan
menggunakan warna-warna yang diperoleh dari alam -- daun, akar
atau kayu tertentu-warna itu bisa tahan zaman. Juga lebih
cemerlang, tanpa ada kesan murah. Di samping motif-motifnya yang
sudah mempunyai pola tertentu itu memang juga pantas dikagumi.
Biasanya warna-warna tenunan Sumba adalah hitam, biru tua, merah
dan putih kapas. Kadang-kadang ada juga diselingi kuning.
Soalnya memang ada maksudnya. Konon hitam adalah lambang alam
semesta. Merah simbul keberanian. Biru lambang lautan. Dan putih
kesucian. Adapun warna kuning yang jarang itu, ternyata khusus
ditambahkan pada tenunan yang nantinya untuk menyelimuti orang
yang meninggal.
Seperti halnya batik dan pakaian tradisionil daerah lainnya,
warna dan motif menunjukkan tingkat kedudukan si pemakai dalam
masyarakat. Ma1amba, kaum bangsawan Sumba, biasanya memakai
tenunan dengan warna lengkap: merah, biru, hitam dan putih. Dan
motif tenunannya biasanya: bagian tengah berisi motif berbentuk
bintallg. Ini melambangkan para kelas atas itu berasal dari
langit -- keturunan para dewa. Bentuk bintang itu mempunyai
dasar hitam. Artinya kaum atasan itulah yang menguaai bumi ini.
Lalu agak ke pinggir dasar tenunan adalah merah dengan motif
binatang. Kebanyakan binatang kuda, sesuai dengan lingkungan
mereka yang subur dengan kuda. Bagian agak pinggir ini
menyimbulkan kelas kedua, ialah para pemimpin suku dan
pembantu-pembantu kaum bangsawan. Mereka memang harus berani dan
perwira untuk membela atasannya. Keberanian ini disimbulkan
dengan merah, keperkasaan dilambangkan dengan kuda. Lebih ke
pinggir lagi adalah simbul rakyat biasa, yang digambarkan dengan
binatang laut. Biasanya merupakan bentuk udang. Yang paling tepi
di kedua sisi tenunan adalah kelas keempat.
Aturan letak motif itu ternyata menjadi klop kalau kain tenun
itu dipakai. Yang dipakai dengan cara menyampirkan di pundak:
bagian tengah akan terletak di pundak, yang lain di bawah. Kalau
dipakai dengan cara menyarungkannya sekitar pinggang bagian
tengah diletakkan di bagian depan, dari perut sampai lutut --
bagian tubuh yang dianggap terpenting.
Sintetis
Menurut cerita Verra Darwiko, kolektor yang mengadakan pameran
ini, bahan tradisionil mulai tak digunakan. Kecuali tak praktis
lagi sekarang banyak digunakan benang-benang sintetis. Tentu
saja hasilnya lain. Warna-warna yang dulu dicari sampai pas
dengan yang dikehendaki, sekarang apa adanya sala Mungkin hal
ini yang menyebabkan tenunan lama itu menjadi mahal.
Cara memintal benang, mencelup warna sampai menenunnya dulu
memang membutuhkan waktu. Konon sebuah kain tenun dari
pemintalan benang sampai selesai bisa makan waktu kurang lebih
setahun. Bisa dimengerti, sebab semuanya dikerjakan dengan
tangan. Dan yang lebih penting, pencelupan warna bisa sampai
berkali-kali untuk mendapatkan warna yang memang sudah tertentu.
Kalau kita amati tenunan Sumba yang dipamerkan ini, memang
warnawarna di tiap kain persis sama merah di satu kain sama
persis dengan di kain lainnya.
Seni tenun ini memang hampir punah. Generasi muda Sumba ternyata
tak tertarik lagi menciptakannya kembali. Memang pentingkah
dipertahankan? Dan kalau orang tak lagi punya waktu untuk hanya
membuat selembar tenunan yang makan waktu setahun, mungkin
memang bukan salah mereka. Toh sekarang di Jakarta sudah ada
museum tekstil, tempat melihat kembali karya tekstil moyang
kita. Sayangnya, memang sebagaian besar karya-karva itu pergi
menyeberangi lautan, pindah ke Amerika atau Eropa sana. Seperti
juga pameran kali ini yang sebagian besar pembelinya ternyata
orang barat.
Akan halnya si kolektor sendiri, yang sudah bersusah payah
keluar desa masuk desa, imbalannya cukup lumayan: koleksinya
laku keras. Berapa untungnya, kita tak tahu persis. Tapi bisa
dibayangkan seorang desa yang sedang berjalan. Jalan tak tahu
mau kerja apa, lantas ada seorang asing yang bersedia menukar
kain yang sedang dipakainya dengan beberapa lembar uang --
tentulah tak akan lama tawar-menawar itu berlangsung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini