Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Tapak cina di batu kuburan

Di gresik ada kompelks pemakaman kuno dan bekas peninggalan masyarakat islam cina, a.l: ibu susuan sunan giri (nyi ageng pinatih). makam-makam tersebut dianggap keramat dan banyak dikunjungi.

30 Agustus 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKITAR 200 m dari pelabuhan Gresik (20 km di sebelah utara Surabaya), ada sebuah kompleks pemakarnan kuno. Sebuah makam di situ dianggap keramat. Beratap 4 x 6 m, berubin kembang indah, berkelambu putih bersih, itulah makam Nyi Ageng Pinatih. Dan 12 Syawal bulan ini, 23 Agustus, adalah tanggal wafatnya Nyi Ageng -- tahun ini yang ke-512. Sekitar tanggal ini peziarah bertambah jumlahnya. Haji Ma Huan Menurut Sejarah Dakwah Sunan Giri, terbitan IAIN Sunan Ampel Surabaya, Nyi Ageng Pinatih adalah "ibu susuan yang membesarkan Sunan Giri". Sinolog Tan Yeok Seong dalam bukunya Chinese elements in the Islamization of Southeast Asia menyebut pula bahwa Pinatih seorang Cina totok. Dia nak Shih Chin Ching, yang berseteru dngan bajak laut Chen Chu Yi dalam merebut kota Palembang. Chin Ching dibantu Cheng Ho, dan menang. Dan setelah Chin Ching meninggal, 1421, perebutan kekuasaan di antara anakanaknya mendorong Pi Na Ti (Nyi Ageng Pinatih) pergi ke Jawa. Di sini dia mendapat kepercayaan Raja Majapahit (Rajasawardhana) untuk menguasai pelabuhan Gresik. Kemungkinan Pi Na Ti adalah tokoh yang sama yang dalam Babad Tanah Djawi (edisi J.J. Meinsma) disebut Nyai Janda Semboja, janda penguasa Gresik Semboja yang kaya-raya. Sementara itu tersebutlah raja Blambangan yang punya menantu bernama Syeh Wali Lanang. Gagak mengislamkan mertuanya, Syeh Wali Lanang pergi meninggalkan Blambangan, sementara isirinya hamil tua. Ketika kerajaan pecahan Majapahit ini dilanda penyakit, bayi Syeh Wali Lanang dimasukkan kedalam peti, dihanyutkan ke laut--dan ditemukan serta iangkat anak oleh Nyai Janda Semboj yang kemungkinan sama dengan Pi Na Ti tadi. Tidak jelas hapan Pi Na Ti sendiri masuk Islam, tapi janda yang juga terkenal sebagai uru mengaji ini kemudian mengirim anak angkatnya ke Sunan Ampel Denta. Dia kemudian disebut Sunan Giri, dan selanjutnya Sunan Giri. Karena itu, para peziarah makam Sunan Giri yang letaknya 1 km dari makam Nyi Ageng Pinatih, tidak pernah melewatkan makam ibu angkat yang seru ini. Keterangan tentamg Nyi Ageng Pinatih sebagai orang Cina ditulis pula oleh Ma Huan yang menjabat sebagai sekretaris dan penterjemah Cheng Ho. Paham bahasa Arab, Haji Ma Huan menulis perjalanan Cheng Ho dalam buku berjudul Yingyai Sheng-lan (Catatan Umum dari Pantai Lautan). Dalam perjalanan muhibahnya yang ke-4. Ma Huan mencatat: di Gresik (alias Ts'ts-'un) banyak terdapat orang Cina yang telah mereluk Islam. Mereka adalah par pedagang dari dinasti Tang yang melarikan diri dari negerinya dan menetap di situ. Fatimah Hwu Hubungan kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan negeri Tiongkok akrab sekali di zaman dinasti Ming (1368-1643). Amen Budiman dalam bukunya masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia menguraikan para pendiri kerajaan Demak yang sebagian berasal dari Tiongkok. Amen tidak melulu mengambil dari buku Prof. Slametmuljan (Runtuhnja Keradjaan Hindu Djawa dan Timbulnja, Negara-negara Islam di Nusantara) yang banyak mendapat kritik itu. Dia mengutip pula ceramah almarhum Kanjen Gusti Pangeran Hario Hadiwidjaja, yang di tahun 1959 menyatakan kira-kira bah "pencinaan" itu kadang-kadang terlalu dipukulratakan. Tapi dalam Babad Tana Djavi memang disebut bahwa Raden Patah sebagai pendiri kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa, adalah peranakan Cina -- putra Raja Kertabumi dari Kerajaan Brawijaya dari ibu putri Cina. Anehnya, makam Nyi Ageng rupanya tak begitu populer bagi masyarakat keturunan Cina -- seperti juga makam Raden Patah di kompleks Masjid Demak. Beda dengan makam Haji Abdul Kadir di Pasar Ikan, Jakarta Kota. "Pada hulan Maulud, banyak sekali orang Cina berziarah," kata Hussain, jurukunci. Abdul Kadir ada1ah oran Cina van iadi juru bahasa Habib Husain bin Abu Bakar Alaydrus Al Alawy, yang makamnya juga dikeramatkan. Makam itu berperkiraan tahun sekitar 1754. Ada lagi makam Cina Muslim di kompleks masjid Kebon Jeruk, yang kiniberada di bibir alan Hayam Wuruk, Jakarta. Masjidnya sendiri telah banyak kali dirombak -- tinggal selembar lubang angin dari kayu berukiran, yang dianggap asli. Pada halaman masjid, ada sehuah makam berrahun dengan huruf Arab (1792 M) dan terukir pula di situ huruf Cina: Hsien pi Chai men tse mou. Majalah Intisari pernah menyebut arti tulisan tersebut "Ini makam wanita dari Keluarga Chai." Makam berornamen kepala naga dan hiasan lain khas Tiongkok ini menurut sumber lain adalah kubur istri Kapten Tamien Dosol Secng, yang mendirikan masjid tersebut. Sedang penduduk sekitar mesjid mengatakan: itu makam Fatimah Hwu, istri musafir Chan Tsien Hwu. Tuan dan nyonya itulah pendiri masjid di situ. Hingga kini masih ada masjid-masjid kuno yang sebagiannya mendapat pengaruh arsitektur Cina. Masjid Angke di Kampung Bebek, Jakarta, konon didirikan oleh Gouw Tjay tahun 1625. Demikian pula masjid Sumenep, Madura. Didirikan pada 1741, kabarnya hasil buatan orang-orang Cina yang melarikan diri dari Semarang ketika mereka memberontak kepada VOC. Bagaimana lestarinya hubungan keturunan Cina (muslim) dengan keluarga kraton, bisa dilihat pada makam di Wendan, Kelurahan Makamhaji, K. sura, Surakarta. Di sini terdapat antara lain makam Prof. Dr. Tjan Tjoe Si ahli kebudayaan Jawa. "Yang dikubur di sini semua Cina Santri," kata mBah Mangun, jurukunci. Makam ini tampak terawat baik, dan terutama di buat Ruwah menjelang puasa, dibersihkan total karena banyak keluarga berziarah. Di sinilah berkubur keluarga menggung Setjodiningrat. Menu Babad Pacinan dan juga C. Poensen dalam Amengku Boewana II (Sepoe Ngajogyokarto's Tweede Sultan, menggung ini nama aslinya Tan Jin Jin Sing yang juga jadi kapten Cina berjasa besar pada Sultan ketika Yogyakarta berperang melawan Inggris tahun 1812 (disebut juga Geger Sepei). Tapi berikutnya Jin Sing diangkat jadi ratumenggung. Dari keturunannya, tinggal Ny, Tjondronugroho (Tjan Hwan Tjwa yang kini berusia 61 tahun yang gampang ditemui. Keturunan yang lain banyak tersebar di kota-kota besar di luar negeri. Menurut Nyonya Tjond keluarga Cina Islam di Surakarta akan membentuk sebuah yayasan untuk mengurus makam tersebut. Dia mengakui, bahwa sembahyang atau puasa, belum tentu dilakukan sanak keluarganya. "Tapi yang pasti, kami ini semuanya Islam, lho."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus