ADA pemandangan baru di beberapa masjid di Jakarta. Hari Jumat
kemarin, dan Jumat sebelumnya, orang melakukan aksi mengumpulkan
dana untuk Sekolah Muhammadiyah -- berwujud peletakan kotak
sumbangan di masjid waktu ibadah Jumat. Ini tentu sehubungan
dengan masalah subsidi bagi sekolah Muhammadiyah yang
diperbincangkan orang sehubungan dengan kebijaksanaan baru
Departemen P & K.
Pertama, 15 Agustus, dimulai oleh 6 masjid: Al Azhar di
Kebayoran Baru, Al Furqon di Kramat Raya, antara lain. Berapa
yang berhasil dikumpulkan Rp 250 ribu. Minggu berikutnya,
seperti dihimbaukan kalangan Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia
(DDII)--pemrakarsa aksi ini--meluas ke hampir seluruh masjid
yang tergabung dalam Ikatan Masjid DKI. Jumlah masjid dalam
organisasi tersebut 1.800 buah.
Namun hasilnya belum dihitung seluruhnya. Dari yang telah
sempat dilaporlian kepada DDII, menurut Yunan, "untuk sementara
ada Rp 661 ribu. "
Di masjid Al Azhar tak tanggung tanggung dipasang 5 kotak,
masing-masing di dekat pintu masjid yang memang lima itu (bawah
dua, atas tiga). Ternyata tanggapan sepi. Munkin karena tulisan
pada kotak telah mengelupas dan kabur tertiup angin. Menurut
Sukarso Zakaria, pegawai tata usaha masjid tersebut aksi
pertama, 15 Agustus, dari kelima kotak hanya terkumpul Rp 37
ribu. Aksi kedua malah merosot: hanya Rp 17.500. "Mungkin
letaknya kurang tepat," kata Sukarso lagi.
Tapi mungkin juga karcna para jamaah sebenarnya tak begitu
digugah Tak digencarkan dalam khotbah, misalnya.
Direncanakan DDIII aksi solidarits ini hanya empat Jumat saja.
"Masih banyak persoalan lain," kata Yunan Nasution--meskipun ada
juga rencana meluaskannya ke luar Jakarta, bila diperlukan.
Muhammadiyah sendiri, sementara itu, tidak mengadakan aksi
apa-apa. Jumat pagi pekan lalu empat Pengurus Pusat (PP)
Muhammadiyah datang ke DPR Wakil Sekjen Ramli Toha, Ketua Majlis
Pendidikan dan Kebudayaan Prodjokusumo, dan dua anggota PP
Lukman Harun dan lahmi Chotib. Bukan apa-apa -- "hanya
bersilaturahmi, dan rindu bertemu sesama alumni perguruan
Muhammadiyah," kata Prodjokusumo. Toh ada juga pembicaraan
tentang masalah yang dihadapi Muhammadiyah kini dan yang menurut
Daryatmo, Ketua DPR-RI, akan menjadi bahan dalam berhagai
pembicaraan dengan pemerintah. Hendaknya pemerintah, seperti
diulangi Prodjo kepada TEMPO dari yang diharapkan Muhammadiyah
di DPR, tetap menjalankan kebijaksanaan kepada Muhammadiyah
seperti yang sudah-sudah "dan tetap membolehkan kami libur
puasa." Dan hendaknya masalah liburan sekolah, termasuk libur
puasa, "tidak dikaitkan dengan santunan, bantuan atau subsidi."
Sebetulnya ini masalah setahun lalu. Waktu itu ada pembicaraan
antara Majelis Ulama Indonesia dengan Menteri P & K.
Ceritanya bermula dengan dikeluarkannya SK Menteri P & K
No.0211/ U/1978, tentang ditetapkannya Sistem Pendidikan
Nasional yang antara lain menetapkan "bulan puasa adalah waktu
belajar" (Pasal 6, ayat 1). Ini mengundang berbagai tanggapan.
Maklum ketentuan seperti itu sangat menyalahi kebiasaan selama
ini, meskipun tak semua sekolah libur penuh di bulan puasa. Buya
Hamka, Ketua MUI, lantas menemui Menteri Daoed Joesoef, minta
agar keputusan tersebut ditinjau kembali. "Menteri sangat keras
sekali dengan pendapatnya," cerita Hamka kepada TEMPO ketika
itu.
Dan kemudian Kasman Singodimedjo, anggota MUI dan salah seorang
Ketua PP Muhammadiyah yang menyertai Hamka, dan dikenal berwatak
teuh atau keras, mengatakan akan tetap meliburkan sekolah
Muhammadiyah. Menurut Buya, waktu itu Daoed pun menanggapi
dengan keras "Silakan, tapi saya akan meninjau kembali subsidi
untuk sekolah-sekolah Muhammadiyah (TEMPO, 12 Mei 1979).
Toh, kemudian hingga puasa 1979 lewat belum ada kabar apa pun
mengenai subsidi. Meski waktu itu PP Muhammadiyah tetap
memutuskan sekolahnya libur. Dan bersama sekolah Muhammadiyah
juga hampir semua sekolah islam dari semua sekolah swasta
milik Muhammadiyahlah yang paling banyak mendapat subsidi P&K,
selain Departemen Agama. Selain Muhammadiyah, lembaga swasta
yang sekolahnya menerima subsidi P&K hanyalah lembaga kecil
Muhammadiyah memang Swasa terbesar.
SEKITAR dua bulan sebelum puasa 1980, masalah yang waktu itu
hampir dilupakan muncul lagi. Musyawarah Nasional ke-2 MUI akhir
Mei lalu kembali menghimbau Departemen P&K untuk meninjau libur
puasa.
Bagai menjawab himbauan itu, sewaktu mengadakan rapat kerja
dengan komisi IX DPR, Menteri P & K kembali pula menegaskan
bahwa di bulan puasa sekolah tetap harus dibuka.
Di akhir Juni, seusai membuka POPSI (Pekan olahraga Pelajar
Seluruh Indonesia) kepada surat kabar Terbit, Jakarta, Daoed
Joesoef membenarkan bahwa departemennya telah menahan subsidi
beberapa sekolah Muhammadiyah karena tidak menaati peraturan
pemerinrah. Seminggu sebelumnya, surat kabar itu pun memuat
wawancara dengan anggota PP Muhammadiyah, Lukman Harun, yang
mengatakan subsidi untuk sekolah Muhammadiyah ditahan.
Tapi secara resmi sebetulnya pihak Muhamlnadiyah belum memberi
tanggapan. Beberapa sebabnya dikatakan oleh Prodokusumo.
Organisasi perguruan Muhammadiyah memakai sistem
desentralisasi, dan tak ada kewajiban Pengurus Wilayah untuk
selalu membuat laporan ke pusat. "Pusat hanya mengurus masalah
akademisnya. Soal penyelenggaraan administrasi, sarana dan
keuangan diurus masing-masing," kata Prodjo pula.
Kemudian terbctik kabar. Dalam rapat kerja Kepala Kanwil P & K
seluruh Indonesia di Jakarta, 11 Juli lalu, Menteri P & K
menginstruksikan kepada semua Kepala Kanwil P & K untuk
mengawasi penyelenggaraan pendidikan selama bulan puasa, dan
kalau perlu menahan subsidi bagi sekolah swasta yang tidak
menaati praturan pemerintah. Ini dibenarkan paling tidak oleh
Amir Ali, Kakanwil P & K Sum-Bar, dan J.W. Sulandra, Kakanwil
DKI.
Kemudian mulai santerlah tanggapan terhadap kebijaksanaan
Menteri P & K itu. Harian Pelita edisi I Agustus bahkan
memunculkan berita dua kolom pendek. Isinya Menteri P & K
menghentikan bantuan dalam bentuk apa pun kepada sekolah
Muhammadiyah seluruh Indonesia. Dan sejak itu ramailah
tanggapan.
Beberapa hari sesudah harian itu terbit beberapa anggota DPR
memberikan komentar. Ridwan Saidi, Sufri Helmy, Tanjung dan
Chalik Ali dari Fraksi PP mengatakan bahwa kebijaksanaan
mcncabut subsidi karena sekolah Muhammadiyah libur di bulan
puasa, tidak wajar. "Mestinya kebijaksanaan itu hans dalam
bentuk undang-undang," kata Kidwan Saidi.
Dan Dep. P & K pun, empat hari sebelum Lebaran, menjawab dengan
sebuah siaran pers, yang membantah adanya pencabutan subsidi
"Tidak benar Menteri P & K hentikan bantuan sekolah
Muhammadiyah."
Ridwan Saidi, ditemui TEMPO minggu ini membenarkan, bahwa
tanggapannya tentang malah subsidi berdasar berita surat kabar.
"Lho, itu kan menurut pihak Departemen P & K sendiri yang
diberitakan koran-koran?"
Pihak P & K sendiri membantah. "Itu hanya isu yang dikarang
surat kabar saja," kata Ir. Sudarmadi, Direktur SekIah Swasta,
Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Dari beberapa Kanwil P & K, antara lain Sumatera Utara. Sumatera
Barar Jawa Barat, Jawa Timur, Riau dan DKI Jakarta memang
sejumlah sekolah Muhammadiyah yang mendapat subsidi
lancar-lancar saja subsidinya untuk tahun 1979/80. Hanya dari
Kanwil P & K Jawa Tengah memang ada ketidak-beresan. Menurut
Drs. Suhartono, Kepala Bagian Perencanaan Kanwil P & K
Ja-Teng sejumlah sekolah swasta tak menaati peraturan
pemerintah, tentang libur puasa.
Toh, pejabat itu pun mengatakan ia agak mengalami kesulitan
untuk menilai sekolah-sekolah Muhammadiyah sebut. "Mereka tidak
libur sepenuhnya tapi masuk dengan pelajaran tidak seperti
biasanya. Murid-murid hanya diberi pelajaran mengaji." Karena
itu, satu sekolah di Purwokerto dan satu di Semarang, tertahan
subsidinya.
Sementara dari pihak Pengurus Wilayah Muhammadiyah di provinsi
yang telah disebutkan, pun diperoleh keterangan yang sama
subsidi lancar saja. Hanya dari Sum-Bar, pengurus wilayah tak
berani mengatakan apa pun, karena ada "kami dilarang memberi
keterangan atas instruksi DPP," kata H. Idris salah seorang
pengurus wilayah Sum-Bar.
Beberapa laporan kemudian masuk ke PP. Dan memang ada
ketidakberesan. Menurut Prodjo, sebuah SMA-nya di Purwokerto dan
sebuah sekolah di Semarang subsidinya tertahan. Seharusnya
subsidi untuk SMA itu, dan perawatan laboratorium untuk sekolah
di Semarang, sudah turun karena termasuk dalam subsidi tahun
1979/80. Kemudian dari Sum-Bar datang laporan belum turunnya
juga subsidi untuk sekolah Muhammadiyah di Silungkang. Menurut
catatan wartawan TEMPO di Padang, di Silungkang memang ada
sebuah SMP Muhammadiyah bersubsidi.
Pihak Dep. P & K tak bersedia memberi penjelasan secukupnya.
Hanya khusus SMA di Purwokerto itu, kata Ir. Sudarmadi,
masalahnya "sedang diproses". Bantuan sekolah itu tak dicabut,
hanya menunggu surat keterangan tidak lalu bulan puasa tahun
lalu yang dibuatkan Kepala Kanwil P&K Ja-Teng."
Tapi memberikan samburannya pada ulang tahun, ke-65 Sekolah
Adabiah di Padang pekan lalu, Menteri Daoed Joesoef kembali
menegaskan. Keliru, kata Daoed, kalau ada sekolah swasta yang
mengharapkan bantuan pemerintah tapi tak menaati peraturan
pemerintah.
Pihak Muhammadiyah tentu saja tak merasa keliru. Berdasar
instruksi PP, sekolah Muhammadiyah puasa tahun ini sebenarnya
bersekolah 8 hari. Dan itulah agaknya yang disebut orang P & K
di Semarang sebagai "anak-anak diajar mengaji". Sebab seperti
dibilang Prodjo, libur puasa memang bukan libur penuh yang
santai." Melainkan untuk pnghayatan keagamaan.
Lebih lagi UU No. 4 Tahun 1950 tentang dasar pendidikan dan
pengajaran di sekolah, Bab XV Pasal 26 Ayat 3, berbunyi "Sekolah
partikelir dapat mengatur hari liburnya sendiri dengan mengingat
yang termakrub dalam ayat 1 dan 2 pasal ini."
Apa sambut Sudarmadi? "Betul tapi harus diingat bunyi ayat 1
dan 2 . . . " Ayat itu menyebut-nyebut "mengingat kepentingan
pendidikan, faktor musim, kepentingan agama dan hari raya
kebangsaan." Darmadi ingin memegang tafsiran, bahwa "dengan
mengingat kepentingan pendidikan" artinya harus pula diingat SK
Menteri P & K No. 0211/1/1978, tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini